Menpora vs PSSI: Imam Nahrawi melawan belut-belut sepakbola

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menpora vs PSSI: Imam Nahrawi melawan belut-belut sepakbola

EPA

Kementerian Pemuda dan Olahraga menolak bersikap lunak pada klub-klub di Indonesia untuk segera menyelenggarakan Indonesian Super League, mengapa?

Kick-off kompetisi teratas sepakbola Indonesia, Indonesian Super League (ISL), molor dari jadwal. Yang sedianya digelar 21 Februari lalu, mundur.

Penyebabnya, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tidak menurunkan rekomendasi penyelenggaraan kompetisi. Gebrakan pertama Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) mereformasi bobroknya federasi sepakbola Indonesia. 

Di permukaan, yang kentara adalah jadwal kompetisi yang molor. Dan si kambing hitam, kelihatannya, adalah Kemenpora dan BOPI yang merupakan satu kubu (melawan kubu lainnya, tentu saja, PSSI). Penyebabnya, 2 lembaga itu rewel dengan segala persyaratan penyelenggaraan. Jika syarat-syarat itu tak terpenuhi, rekomendasi tak bakal turun. 

Syaratnya apa saja? Syarat tersebut mencakup soal legalitas, keuangan, pembinaan, fasilitas pemain muda, dan kegiatan sosial. 

Sejumlah suporter sudah siap menyerbu Kemenpora karena sepakbola, hiburan utama mereka, molor dari jadwal. Komisi X DPR RI sebagai komisi olahraga ikut-ikutan menyalahkan PSSI dan BOPI. “Syarat-syarat itu tidak tepat untuk dipaksakan,” kata Ketua Komisi X Teuku Riefky Harsya dalam tulisannya yang dimuat di Tribunnews.com.

Jangan selalu percaya suporter karena mereka bisa saja digerakkan klub. Begitu juga jangan selalu percaya anggota dewan karena kebanyakan mereka hanya memburu popularitas. Percaya saja pada fakta-fakta bagaimana tarik ulur kick-off itu bermula. Dan ibarat belut, bagaimana rezim di PSSI selalu licin berkelit dari gerakan revitalisasi dari luar organisasi.

Belajarlah dari Mendieta

Pemain Martin Caceres berhadap-hadapan dengan pemain Indonesia's Super League (ISL) Stars Esteban Vizcarra dalam sebuah pertandingan persahabatan di Jakarta, 6 Agustus 2014. Foto oleh Bagus Indahono/EPA.

Pernah dengar pemain asing meninggal gara-gara tidak digaji klub? Dia adalah Diego Mendieta, pemain asing asal Paraguay yang meninggal di rumah sakit tanpa mampu membayar biaya perawatan pada 2012 lalu. Gaji dari klubnya, Persis Solo, menunggak, Mendieta tak bisa makan. Dia pun meninggal setelah terkena penyakit tipus, penyakit pencernaan. 

Ya, kasus itu terjadi 3 tahun lalu. Barangkali itu adalah kali terakhir Anda membaca berita sepakbola dalam negeri. Setelah itu, bisa jadi Anda bersumpah tak akan mengikutinya lagi karena kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk. Nyeri di hati tak kunjung bisa diobati. Lagi pula, dengan gampang kita bisa menyalurkan syahwat bola ke Premier League, La Liga, dan Serie A Italia yang lebih gemerlap, teratur, dan profesional. 

Tapi, saat Anda meninggalkan berita sepakbola 3 tahun lalu itu, kasus yang sama tetap saja terjadi. Masih banyak lagi perkara tunggakan gaji pemain yang tak kunjung dibayar bahkan hingga bertahun-tahun oleh pihak klub. Hingga 2015, masih banyak pemain yang tak gajian. Sebagian besar lebih dari satu musim kompetisi. Namun, justru sebagian besar pemain tak mau mengungkap. Penyebabnya, mereka takut kepada klub yang mempekerjakan mereka. 

“Pengurus bilang, kamu masih mau main di sini? Kalau masih mau main, ya sudah. Jangan protes,” kata salah seorang pemain menirukan kata-kata pengurus. “Padahal, gaji saya di klub masih Rp 200 juta-an,” imbuhnya. Klub mengemplang gaji dia hingga tiga musim lebih.

Bagi kita yang melihat dari luar, mengapa para pemain tidak mogok bermain saja? Atau mengapa mereka tidak ramai-ramai memboikot kompetisi? Masalahnya, relasi antara klub dan pemain serupa relasi buruh dan perusahaan. Pilihannya, terima kondisi atau kamu menganggur dan tidak punya pekerjaan. Dan seperti buruh, pemain tak berdaya dengan kondisi itu.

Gebrakan Menteri Nahrawi dan Tim 9

Suporter Indonesia Super League dalam pertandingan persahabatan klub nasional itu dengan Juventus di Jakarta, Indonesia, 6 Agustus 2014. Foto oleh Bagus Indahono/EPA.

Memasuki 2015, kegairahan baru di sepakbola Indonesia muncul dengan janji Menpora Imam Nahrawi untuk mereformasi PSSI. Dibentuklah Tim Sembilan. Anggotanya mulai dari akademisi seperti sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo hingga mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno.

Tujuannya, borok-borok klub dibenahi. Dan salah satunya adalah menegakkan aturan main persyaratan klub yang sudah dijelaskan dalam regulasi lisensi federasi sepakbola Asia (AFC).

Poin-poin dalam regulasi tersebut, antara lain, membahas 5 aspek yang wajib dipenuhi klub untuk bisa tampil dalam kompetisi resmi. Yakni, pembinaan usia muda, infrastruktur, administrasi, legal atau hukum, dan aspek finansial. Dengan persyaratan tersebut, prahara seperti Mendieta bisa terhindarkan. Tak ada lagi kisah pemain-pemain yang merana karena klub mengemplang gaji mereka. 

Selain itu, yang lebih penting adalah, dasar hukum klub. Klub-klub sepak bola wajib berbadan hukum. Bentuknya bisa macam-macam. Mau perseroan terbatas (PT) atau koperasi. Sebagian besar klub di Indonesia latah mengadopsi format PT—soal ini bisa dibahas di artikel lain.

Padahal, bahkan klub sekelas Real Madrid dan Barcelona pun berbadan hukum koperasi. Dengan klub memiliki badan hukum, hubungan mereka dengan pemain dan segala konsekuensi yang mengikutinya (gaji, kontrak, dan ikatan kerjasama lainnya) bisa lebih jelas dan akuntabel. Nyatanya, banyak klub ISL yang tak berbadan hukum.

Kemenpora dan BOPI pun sepakat: Tak ada kompetisi tanpa terpenuhinya syarat tersebut. Kick-off yang dijadwalkan 21 Februari lalu pun urung digelar karena tak mengantongi izin keamanan. Klub berontak. Sebanyak 18 klub memproklamasikan Deklarasi Bandung pada 20 Februari lalu. Isinya, menolak keputusan Menpora dan BOPI. Alasan yang dipakai adalah “kaset lama” yang diputar berulang-ulang: FIFA melarang intervensi pemerintah dalam sepakbola dan ancamannya sanksi berat. 

Komisi X DPR RI yang berusaha menengahi justru berat ke kubu klub. “Syarat itu bisa dipenuhi sambil berjalan,” kata Ketua Komisi Teuku Riefky Harsya. Masalahnya, seperti yang Anda juga tahu, bahkan sejak kematian Mendieta pun pihak klub sudah mengumbar janji itu sejak lama. Dan tak pernah selesai.

Kemenpora sadar akan hal itu. Gatot S. Dewa Broto, Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan sekaligus anggota Tim Sembilan tak terbujuk dengan rayuan “Kita jalani aja dulu”.

Sebab, sebagaimana saat saya hubungi,  dia bilang, “Kalau kami permisif, begitu izin dikeluarkan, semua akan loss, tak bisa dibendung. Siapa yang bisa menahan kompetisi di tengah jalan? Ini arus massa tinggi banget di sepakbola. Kalau tidak sejak awal dibenahi, tidak akan pernah bisa bahkan sampai kompetisi berakhir.”

Kemenpora juga siap dengan alibi kubu-klub dan PSSI yang berlindung di balik kata “intervensi”. FIFA memang sudah mengirimkan surat dan mengancam akan memberi sanksi jika pemerintah mengintervensi terlalu jauh. Tapi, itu karena informasi yang diterima federasi pimpinan Sepp Blatter itu setengah-setengah. “Kami akan kirimkan surat juga ke FIFA untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Justru yang kami lakukan untuk menegakkan aturan dalam FIFA clubs licensing regulation,” katanya. 

Dalam aturan tersebut, justru klub harus taat kepada hukum negara. Salah satu pasal menyebutkan bahwa klub dan PSSI harus tunduk kepada national law

“Di regulasi tersebut FIFA mewajibkan klub untuk patuh terhadap hukum nasional. Masalah pajak, kontrak pemain, status keimigrasian pemain, semuanya harus mengikuti national law. Penggunaan stadion juga terikat national law. Apa kemudian harus mengikuti badan hukum internasional? Ini soal kepatuhan hukum, bukan soal intervensi pemerintah. Jika ini disebut intervensi, lantas apakah mereka berdiri di atas hukum?” katanya. —Rappler.com


Agung Putu Iskandar, atau Aga Agung, adalah mantan wartawan Jawa Pos. Ia pernah meliput Piala Dunia di Sao Paolo, Brasil, pada 2014 lalu. Aga yang kini berdomisili di Jakarta, memilih untuk menjadi penulis lepas sembari mengamati dunia sepak bola. Selain menulis soal olahraga, ia juga peduli pada isu sosial dan hukum. Follow twitter di @agaagung dan blog pribadinya agungputu.wordpress.com.
 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!