Ahok tak sependapat dengan Jokowi soal hukuman mati

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ahok tak sependapat dengan Jokowi soal hukuman mati

AFP

Pernah berpasangan dengan Jokowi memimpin Jakarta, Ahok tak selalu sependapat dengan Jokowi. Di kasus hukuman mati, Ahok tidak menyetujuinya.

 

JAKARTA, Indonesia — Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama tak sependapat dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo soal hukuman mati. Jokowi mendukung dukungan mati untuk efek jera bagi mereka yang terjerat kasus narkoba, sementara Ahok tak setuju. 

“Saya tidak setuju dengan hukuman mati, mereka punya kesempatan menjadi manusia yang lebih baik,” kata Ahok di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, Sabtu, 28 Februari 2015. 

Menurut Ahok, hukuman mati hanya pantas diberikan kepada terpidana narkoba yang kedapatan mengkonsumsi narkoba di rumah tahanan. 

“Dalam kasus itu, saya setuju agar mereka langsung dieksekusi,” ujar dia.

Sedangkan hukuman normal bagi terpidana narkoba menurutnya adalah penjara seumur hidup tanpa hak remisi. Mereka juga harus diawasi dengan ketat selama ditahan. 

 

Apa kata Jokowi?

Presiden Jokowi menolak memberikan grasi bagi terpidana mati kasus narkoba. Foto oleh EPA 

Ahok mengatakan dia pernah mengungkapkan pendapatnya ke Jokowi, Namun ia yakin Jokowi punya pertimbangan berbeda terkait penolakan grasi para terpidana mati.

“Pak Jokowi itu teliti,” kata Ahok.

Jokowi sendiri minggu lalu tetap bersikukuh bahwa tidak akan ada penundaan pelaksanaan hukuman mati. 

“Saya harus mengatakan dengan tegas bahwa tidak boleh ada intervensi terhadap hukuman mati karena ini merupakan hak kita sebagai negara yang berdaulat untuk menjalankan hukum yang berlaku,” kata Jokowi sebagaimana dikutip media, Selasa, 24 Februari.  

Ia telah menerima telepon dari beberapa negara yang menginginkan pembatalan hukuman mati terhadap warga negara mereka, namun Jokowi menolak. 

 

 

NU dan MPR pun dukung Jokowi

 

Dalam pertemuan dengan Jokowi, organisasi Islam besar Nahdlatul Ulama menyatakan dukungan terhadap pelaksanaan hukuman mati. 

“Ya, kalau itu, NU dibelakang beliau (mendukung) penolakan permohonan grasi dari narapidana narkoba yang sudah divonis hukuman mati,” kata Ketua Umum PBNU Said Aqil, 26 Februari 2015. 

Menyikapi penolakan terhadap hukuman mati yang dikaitkan dengan kemanusian, Said mengatakan bahwa kalau dibiarkan narkoba akan menghancurkan Indonesia. 

“Kalau ini dibiarkan, korbannya justru ratusan juta orang, terutama kaum muda. Al Quran sendiri menegaskan begitu. Barang siapa yang membikin, menghancurkan tatanan kehidupan di muka bumi ini maka hukumnya harus dibunuh,” kata Said. “Tidak layak diberi kesempatan hidup.”

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan juga mendukung Jokowi, karena Indonesia dalam keadaan darurat narkoba, di mana banyak orang dewasa dan anak-anak menggunakan narkoba. 

“Langkah pemerintah bagus, saya mendukung sepenuhnya,” kata Zulkifli sebagaimana dikutip media, Rabu, 25 Februari. 

“Tidak hanya masyarakat sipil, tapi TNI, Polri, ustadz bahkan pendeta, tidak pandang bulu sudah terkena (narkoba) sekarang.”

 

10 orang akan menjalani eksekusi tahap dua tahun ini

 

Kejaksaan Agung telah mengumumkan bahwa sepuluh terpidana mati akan dieksekusi di tahap kedua pelaksanaan hukuman mati di Nusa Kambangan tahun ini. 

Di antara mereka yang sedang menanti eksekusi adalah dua warga Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, warga Filipina Mary Jane Fiesta Veloso, warga Prancis Serge Areski, warga Brazil Rodrigo Gularte dan warga Nigeria Raheem Agbaje Salami. Jokowi menolak memberikan grasi. 

Lepas dari permintaan dari berbagai negara untuk menunda, persiapan-persiapan terus dilakukan. Di Bali, misalnya, sudah dilakukan persiapan untuk memindahkan Chan dan Sukumaran. Pesawat Sukhoi disiapkan untuk membawa mereka ke Nusa Kambangan dari Bandara Ngurah Rai. 

Mary Jane, yang dipenjara di Yogyakarta, masih berusaha untuk mengubah nasibnya dengan mengajukan peninjauan kembali atas kasusnya. Dia menyelundupkan heroin seberat 2,6 kilogram melalui Bandara Adi Sutjipto, 25 April 2010. Kasusnya akan disidangkan di Pengadilan Negeri Sleman, Selasa, 3 Maret 2015.  

“Ya tanggal 3 terbuka untuk umum. Kalau ditolak ya selesai, hak hukum dia sudah habis. PK itu hak hukum dan harus dilalui. Sidang bisa 1 hari tapi monggo dilihat prosesnya, nggak mau berandai-andai,” kata Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta Tri Subardiman sebagaimana dikutip media, Jump, 27 Februari.

Meski tidak ada bukti baru, pengajuan PK diterima karena Mary Jane belum pernah ajukan PK sebelumnya. — Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!