Lee Kuan Yew, Soeharto dan krismon 1997 – 1998

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Lee Kuan Yew, Soeharto dan krismon 1997 – 1998
Dalam buku memoarnya, mantan PM Singapura Lee Kuan Yew yang meninggal dunia awal pekan ini membuka kisah keterlibatannya dalam solusi krisis moneter Indonesia jelang kejatuhan Soeharto.

 

Tak ada yang menduga mata uang rupiah bakal terimbas krisis. Ketika Bank of Thailand sebagai bank sentral berhenti menjaga melorotnya nilai bath pada 2 Juli 1997, dampaknya menular ke seluruh mata uang di kawasan ini. Aksi jual saham dan uang dilakukan para manajer keuangan yang dilanda kepanikan.  

Untungnya, menteri keuangan Indonesia saat itu meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Sebelum membuat kesepakatan dengan IMF pada akhir 1997, mantan Presiden Soeharto melalui utusannya meminta dukungan Perdana Menteri Goh Chok Tong agar posisi tawar Indonesia di mata IMF meningkat.  

Cerita di balik layar penanganan krisis keuangan yang memicu krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997-1998 itu dipaparkan Lee, dalam memoarnya, From Third World To First, The Singapore Story: 1965-2000.  Pak Lee, demikian saya menyebut perdana menteri pertama Singapura itu, menuliskan dalam bab berjudul Indonesia, From Foe to Friend.  

Senin, 23 Maret 2015, pendiri Singapura yang telah memerintah negeri singa selama 31 tahun itu meninggal dunia dalam usia 91 tahun. 

 

Bantuan Singapura, Jepang dan IMF kala krisis

Menurut Lee, Goh (yang menggantikannya sebagai PM periode 1999-2004), membahas permintaan Soeharto dengan Menteri Keuangan Singapura Richard Hu dan dirinya sendiri yang setelah lengser dari jabatan PM, tetap ada di pemerintahan sebagai menteri senior.  Kemudian, Goh membawa isu itu ke sidang kabinet.  

“Kami cukup yakin akan situasi Indonesia. Tidak ada defisit besar baik pada transaksi berjalan maupun anggaran. Utang luar negeri sedang dan inflasi cukup rendah,” kata Lee. 

Pada situasi itu, Singapura setuju untuk membantu Indonesia sampai angka US$ 5 miliar, dengan catatan Indonesia sudah menggunakan pinjaman dari IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia senilai US$ 20 miliar dolar, juga menggunakan cadangan devisanya sendiri untuk menjaga  nilai tukar rupiah agar tidak terpuruk lebih jauh. 

Kepada Soeharto, Singapura juga berjanji akan membantu intervensi pasar uang jika Indonesia berhasil mencapai kesepakatan dengan IMF. Paket bantuan IMF yang disiapkan untuk Indonesia mencapai US$ 40 miliar. Jepang juga sepakat untuk mendukung upaya meredam melorotnya nilai Rupiah senilai dengan dana senilai US$ 5 miliar.  

Lee menjelaskan bahwa segera setelah Indonesia meneken kesepakatan dengan IMF pada 31 Oktober 1997, yang kita kenal dengan Letter of Intent (LoI) jilid 1, Bank Indonesia, Bank of Japan dan Monetary Authority of Singapore yang adalah bank sentral di Singapura saling berkonsultasi dalam  melakukan intervensi pasar untuk menguatkan nilai tukar rupiah dari Rp 3.600 ke Rp 3.200 per dolar Amerika.  Sebelum krisis keuangan yang dipicu krisis politik Juli 1997, nilai tukar rupiah adalah Rp 2.500. Puncak krisis politik Juli 1997 adalah Tragedi 27 Juli

 

Soeharto tolak hentikan pembangunan proyek infrastruktur

LoI dengan IMF yang diteken antara mantan Presiden Soeharto dengan  Direktur Michael Camdessus juga mewajibkan Indonesia menunda 14 proyek infrastruktur termasuk yang dikendalikan oleh putri tertuanya,  Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). Indonesia juga diminta untuk menutup 16 bank yang dianggap tidak sehat, salah satunya dimiliki oleh putra Soeharto.  

Di luar itu, lebih dari 200 bank dalam keadaan kurang sehat.  Selain bermodal kecil, lemah manajerial, pengawasan bank juga lemah. Ketika LoI dengan IMF ini dilanggar, dan Soeharto bersikeras melanjutkan proyek-proyek besar itu, pasar uang bereaksi negatif dengan aksi jual.  Rupiah terus melorot.   

Dalam bukunya, Lee mencatat bahwa kepercayaan pasar kian lemah ketika ketua kamar dagang Indonesia saat itu mengumumkan bahwa dana jaga-jaga dari Singapura sebesar US$ 5 miliar akan digunakan untuk menyalurkan pinjaman bagi usaha pribumi yang kesulitan karena kredit macet.  

Kondisi kesehatan Soeharto menurun pada Desember 1997, setelah perjalanan ke luar negeri. Lee membaca situasi krisis, dan meminta bertemu Tutut Soeharto. Pada Hari Natal 1997, Tutut menemui Lee dan Goh di Istana Villa, di Singapura. Ini adalah kantor dan kediaman resmi presiden Singapura. 

 

Lee bujuk Tutut untuk patuhi syarat IMF

Siti Hardiyanti "Tutut" Rukmana. Foto oleh EPA

Lee membujuk Tutut agar dirinya dan anak Soeharto lainnya mematuhi LoI dengan IMF, membatalkan sejumlah proyek terkait mereka dan untuk sementara menjaga jarak tidak terkait dengan kegiatan bisnis.  Menurut Lee, para manajer keuangan internasional tengah menyoroti bisnis anak-anak Soeharto yang dianggap berjalan dengan fasilitas khusus.  

Menurut Lee, Tutut menjawab akan menyampaikan pesan itu kepada saudara-saudaranya, tapi dia secara jujur mengakui belum tentu bisa meyakinkan mereka.  Untuk meyakinkan Tutut, Lee Kuan Yew melalui kedutaan besar Singapura mengirimkan detil laporan situasi saat itu.  “Lebih baik jika kalian menarik diri sepenuhnya dari pasar dan tidak terkait dengan proyek baru mana pun,” ujar Lee secara blak-blakan kepada Tutut. 

“Dari tindakan yang diambil anak-anak Soeharto, saya tahu bahwa upaya saya sia-sia,” tulis Lee.

 

 

Nilai Tukar Rupiah Anjlok 

 Pada 6 Januari 1998, Presiden Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan pengantar nota keuangan Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN). Isinya beda dengan kesepakatan dengan IMF, dan tidak dibicarakan dengan lembaga multilateral itu.   

Dua hari kemudian rupiah anjlok dari Rp 7.500 ke Rp 10.000, melemah empat kali dibanding sebelum krisis. APBN Indonesia dikritik oleh wakil direktur pengelola IMF Stanley Fischer dan wakil menteri keuangan AS Lawrence Summers, karena tidak memperhatikan kesepakatan dengan IMF. 

“Dari siaran radio pada pukul 9 malam, 8 Januari 1998, saya mendengar laporan bahwa masyarakat di Indonesia panik, dan menyerbu toko-toko membeli barang kebutuhan pokok sebelum harganya kian mahal karena melorotnya nilai rupiah. Saya menelpon duta besar kami di Jakarta yang mengkonfirmasi berita ini dan menceritakan sebuah supermarket dibakar. Di jalanan, rupiah diperdagangkan pada nilai tukar Rp 11.500 per dolar AS.” 

Lee mengingatkan Goh agar waspadai situasi memburuk di Indonesia. Goh segera mengontak ke departemen luar negeri AS dan IMF agar menerbitkan pernyataan untuk meredakan kepanikan pasar maupun risiko ikutan yang mungkin terjadi keesokan hari, 9 Januari 1998. 

Beberapa jam kemudian, pukul 07.00 pagi waktu Singapura, Presiden AS Bill Clinton menelpon Goh mendiskusikan situasi.  Presiden Clinton kemudian menelpon Presiden Soeharto. Clinton mengumumkan bahwa dia akan mengirim Lawrence Summers untuk membantu mencarikan solusi bagi Indonesia. Stanley Fischer dari IMF juga mengingatkan reaksi pasar berlebihan.  

Menurut Lee, tindakan dan pernyataan dari pemimpin AS dan IMF membantu memercikkan sentimen positif bagi pasar dan mencegah kerusuhan lebih parah di Januari 1998. 

Pada 15 Januari 1998, mantan Presiden Soeharto meneken LoI kedua dengan IMF, yang isinya sejumlah paket reformasi ekonomi.  LoI IMF dengan Indonesia bisa dibaca di sini.

 

Singapura di balik melemahnya rupiah?

Pada 9 Januari 1998, sebelum LoI kedua, putri kedua Soeharto, Siti Hedijati Hariyadi Prabowo (Titiek, menikah dengan Mayor Jendral Prabowo Subianto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal Kopassus), menemui Lee di Singapura. Titiek mengaku tindakannya diketahui ayahnya.  

Titiek meminta bantuan Singapura untuk mendapatkan obligasi dolar Amerika di pasar Singapura. Menurut Titiek, seorang bankir internasional memberi advis bahwa mendapatkan dolar AS akan membantu stabilitasi rupiah.

Lee mengatakan kepada Titiek bahwa dalam situasi di mana kepercayaan pasar terhadap rupiah begitu rendah, risiko gagal dalam menerbitkan obligasi dolar bakal memperburuk keadaaan.  

Titiek menanyakan rumor bahwa Singapura ikut membantu melemahkan rupiah. Bankir di Singapura dikabarkan mendorong orang Indonesia memarkir duit dolarnya di Singapura. 

Keluhan Titiek atas rumor Singapura di belakang melemahnya rupiah dijawab Lee dengan menunjukkan bahwa orang Indonesia bisa memindahkan duitnya ke mana saja hanya dengan menekan papan tombol komputer.  

“Rumor tidak akan berdampak ke rupiah kalau situasi fundamental kuat,” kata Lee.  

Dia menyarankan agar Soeharto menjalankan resep IMF dan jika perlu penasihat keuangan, mengundang Paul Volcker, mantan ketua bank sentral AS, Federal Reserve. IMF pasti akan mendengar apa kata Volcker.  

Pesan Lee dilaksanakan. Lee mendapat info dari seorang bankir bahwa Volcker kemudian ke Jakarta, bertemu Soeharto, tapi tidak mendapat posisi penasihat.

Buku memoar Lee membahas bagaimana kepemimpinan Soeharto diganggu oleh masuknya anak-anak presiden ke bisnis yang sangat menjanjikan dan bersifat monopoli. Ini menjadi sorotan para manajer keuangan dunia, meskipun Soeharto bersikeras tak mau diintervensi siapapun terkait bagaimana dia mengelola ekonomi dan mengurus anak-anaknya.

Amerika, sebagaimana disampaikan Summers kepada Goh dan Lee pada 11 Januari 1998 dalam perjalanan ke Jakarta, menginginkan praktik bisnis yang memberikan keistimewaan  kepada keluarga dan teman dekat Soeharto harus diakhiri.  

“Yang diperlukan adalah diskontinuitas cara Soeharto mengelola pemerintahannya saat ini,” kata Summers, sebagaimana dikutip dalam buku memoar Lee.

Semua pihak  perlu mendapat kesempatan yang sama.

 

Antara Marcos dan Soeharto

Lee menyampaikan perlunya memiliki pemimpin penerus yang tidak sekuat Soeharto, tapi mampu mengimplementasikan syarat ketat dari IMF. Soeharto diharapkan memilih wakil presiden yang bisa membangkitkan kepercayaan pasar pasca Soeharto.  

Dua bulan kemudian, pada Maret 1998, mantan Wakil Presiden AS Walter Mondale membawa pesan dari Clinton ke Soeharto. Dalam perjalanan balik ke AS, Mondale mampir ke Singapura, bertemu Lee dan Goh. Mereka membandingkan sejumlah catatan, respon Soeharto atas tuntutan reformasi. Mondale mencetuskan pertanyaan kepada Lee.

“Anda tahu (Ferdinand) Marcos. Apakah dia seorang pahlawan atau penjahat? Bagaimana Soeharto dibandingkan dengan Marcos? Apakah Soeharto seorang patriot atau penjahat?”  

Marcos adalah presiden Filipina yang dikenang sebagai diktator dan dijatuhkan melalui people power Februari 1986.

Lee merasa bahwa Mondale tengah mempertanyakan motivasi Soeharto, sebelum dia memberikan rekomendasi kepada presiden AS.  

“Saya menjawab bahwa Marcos mungkin memulai sebagai seorang pahlawan, tapi berakhir sebagai penjahat. Soeharto berbeda. Bagi Soeharto, pahlawan bukanlah Washington, Jefferson atau Madison, tetapi para sultan di Solo, Jawa Tengah.”  

Lebih lanjut Lee menjelaskan kepada Mondale bahwa istri Soeharto, Tien, masih terhitung putri di lingkungan kesultanan Solo.  

“Sebagai presiden Indonesia, Soeharto adalah mega sultan dari mega country.”

Dalam persepsi seperti itu, menurut Lee, Soeharto percaya bahwa anak-anaknya berhak mendapat perlakuan sebagaimana pangeran dan putri sultan Solo.  

“Soeharto tidak merasa malu memberikan keistimewaan bagi putra-putrinya, karena dirinya adalah mega sultan. Dia melihat dirinya sebagai patriot. Saya tidak akan mengklasifisikasikan Soeharto sebagai penjahat,” jawab Lee.

Goh mengunjungi Soeharto tiga kali, Oktober 1997, Januari 1998 dan Februari 1998.  Setelah pertemuan terakhir di bulan Februari, Goh menyampaikan kepada Lee bahwa Soeharto merasa dalam “sandera”, dan percaya bahwa pihak barat ingin menjatuhkan dia dari kekuasaan.

Goh mengingatkan Soeharto bahwa kondisi ekonomi bisa memburuk. Kelangkaan dan naiknya harga pangan bisa memicu kerusuhan sosial. 

Respon Soeharto percaya diri, bahwa militer ada di tangannya dan akan membela presiden. Maret 1998, pihak Singapura mendapat info dari seorang jendral ABRI yang disampaikan kepada pihak kedubes AS, bahwa “jika demo mahasiswa ada seribu orang, ABRI akan bubarkan paksa jika perlu dengan kekerasan. Jika demo mahasiswa mencapai 10.000, ABRI akan mencoba mengendalikan demo. Jika jumlahnya mencapai 100.000, ABRI akan bergabung dengan mahasiswa.”

 

Menolak pencalonan wapres Habibie 

Mantan Presiden Indonesia B.J. Habibie. Foto oleh Bagus Indahono/EPA

Krisis ekonomi dan gunjang-ganjing politik memburuk meski LoI kedua diteken. Soeharto mengumumkan kriteria calon wakil presiden yang dipercayai merujuk kepada figur Baharuddin Jusuf Habibie.   

Lee menulis dalam bukunya, Habibie dikenal dengan proyek teknologi tinggi berbiaya mahal, seperti membangun industri pesawat terbang.  

Dia mengaku bahwa sejumlah pemimpin negara asing khawatir, pemilihan Habibie sebagai wakil presiden tak akan mampu memulihkan kepercayaan pasar. Para pemimpin yang menemui Soeharto untuk menyampaikan kekuatiran ini antara lain mantan PM Australia Paul Keating yang dianggap teman dekat Soeharto, Goh dan Wakil PM Malaysia Datuk Anwar Ibrahim.  

Akhir Januari 1998 Daim Zainuddin, penasihat ekonomi PM Malaysia menulis surat kepada Lee agar menemui Soeharto  dan membujuknya untuk tidak memilih Habibie sebagai wakil presiden.  

Menurut surat itu, para menteri di lingkungan kabinet Soeharto menyarankan agar negara tetangga memberikan advis kepada Soeharto.  

“Saya tidak bisa pergi ke Jakarta dan mengatakan hal itu kepada Soeharto, karena akan dianggap sebagai intervensi,” kenang Lee.

Bapak pendiri Singapura itu akhirnya memilih jalur yang cukup berisiko.  Dalam pidato di Singapura, pada 7 Februari 1998, Lee mengatakan, “Pasar terganggu dengan pengumuman kriteria calon wakil presiden yang disampaikan Soeharto, yang merujuk pada sosok yang mumpuni di bidang sains dan teknologi, yang diumumkan sesaat setelah LoI kedua dengan IMF. Jika pasar tidak nyaman dengan pilihan itu, rupiah pasti akan melemah,” kata Lee. 

Dia tidak merujuk ke nama tertentu, tapi, pendukung Habibie jelas marah atas pernyataan ini.

Ketika Soeharto mengumumkan Habibie sebagai wakil presiden RI, rupiah melorot ke titik nadir, Rp 17.000 per dolar AS, dan menyeret mata uang lain di kawasan ini, juga menghempaskan harga saham. — Rappler.com 

 

 Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!