Apa kabar ASEAN pasca Soeharto dan Lee Kuan Yew?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apa kabar ASEAN pasca Soeharto dan Lee Kuan Yew?
Sentimen siapa yang bakal menang, siapa kalah mewarnai jelang berlakunya MEA 2015. Pertumbuhan ekonomi berhadapan dengan isu hak asasi manusia dan lingkungan hidup.

 

Bulan Oktober 1978, Australia berencana mengubah aturan penerbangan sipilnya, yang mengatur hanya Qantas dan British Airways yang bisa membawa penumpang dari satu titik keberangkatan ke titik tujuan di antara Australia dan Inggris, dan dengan harga tiket yang sangat murah.

Maskapai lain dari negara yang dilewati sebagai lokasi transit, seperti Singapura dan ibukota negeri lain di lingkungan ASEAN, dikecualikan. Aturan Australia itu membuat penumpang yang ingin menikmati harga tiket murah, tidak transit atau berangkat dari bandar udara di ibukota negara ASEAN.

Negara ASEAN saat itu secara kompak menolak aturan baru yang diterapkan otoritas penerbangan sipil Australia. Yang terkena langsung aturan Australia jika diterapkan adalah Singapura dan Thailand, karena Singapore Airlines dan Thai Airways terancam tidak bisa mengangkut lebih banyak penumpang dari Singapura dan Bangkok ke Australia.  

Indonesia menunjukkan solidaritas dengan mengancam maskapai Australia tidak boleh melewati wilayah udara Indonesia. Wakil Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhamad juga menunjukkan kemarahan atas rencana Australia. Sikap keras Malaysia juga dipicu oleh demonstrasi yang terjadi saat Mahathir dan PM Tun Razak berkunjung ke Australia.

Perang diplomasi yang sengit, diwarnai kata-kata yang tajam terjadi antara petinggi ASEAN dan Australia, dan memaksa Menteri Luar Negeri Australia saat itu, Andrew Peacock, turun tangan melobi pemimpin ASEAN.  

Singkat kata, Australia membatalkan rencana perubahan aturan penerbangan sipil yang membatasi peluang maskapai di negara ASEAN untuk mengangkut penumpang dari dan ke Australia. “Itu salah satu pelajaran dari solidaritas ASEAN,” demikian kata Lee Kuan Yew.  

Perdana Menteri pertama Singapura yang juga bapak pendiri Singapura modern itu menceritakan hal ini dalam buku memoar From Third World To First, The Singapore Story 1965-2000, di halaman 372-373. 

Lee Kuan Yew, yang memimpin Singapura selama 31 tahun sejak 1959 itu, meninggal dunia 23 Maret 2015 dalam usia 91 tahun. Dia menuliskan soal ASEAN, Perhimpunan Bangsa-Bangsa di kawasan Asia Tenggara, dalam bab berjudul ASEAN, Unpromising Start, Promising Future.  

ASEAN berdiri pada Agustus 1967. Tahun ini akan memasuki usia ke-48 tahun. Awalnya beranggotakan lima negara, kini berkembang menjadi 10 negara, dan akan bertambah satu negara baru, yakni Timor Leste. Akhir tahun ini, ASEAN akan menandai babak baru sebagai komunitas yang terintegrasi dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Dari awal, ASEAN berdiri dengan bertumpu pada tiga pilar, yakni pilar ekonomi, sosial, dan budaya.  

Dalam perkembangannya, solidaritas ASEAN ditunjukkan dalam proses bernuansa politik, seperti mendorong demokrasi di Myanmar, sengketa wilayah perbatasan, juga berbagai negosiasi tarif dan non-tarif terkait perdagangan di antara negara anggota. 

Petinggi negara ASEAN menggunakan pertemuan sambil olahraga di lapangan golf sebagai sarana efektif lobi, bahkan forum rileks menyanyi bersama. Petinggi negara ASEAN menghadapi masalah dengan mencari konsensus. Jika tidak tercapai, setidaknya berjanji untuk mencari solusi lain.

Peran Indonesia di ASEAN 

Lee Kuan Yew mengenang Soeharto, yang memimpin negara terbesar di ASEAN, menunjukkan itikad baik dengan tidak bersikap bossy, alias memaksakan kehendak. Ini membuat Indonesia dengan mudah diterima sebagai pemimpin di ASEAN. 

Begitupun, perjalanan ASEAN juga diwarnai onak dan duri, terutama dalam hubungan di antara negara anggota. Malaysia dan Indonesia selalu dihantui kontroversi terkait dengan perlakuan perusahaan dan aparat Malaysia atas pekerja migran dari Indonesia, sampai soal asap dari kebakaran hutan di wilayah Indonesia.  

(BACA: Lee Kuan Yew, Soeharto dan krismon 1997 – 1998)

Hubungan Indonesia dan Singapura sewaktu-waktu diganggu oleh isu perjanjian ekstradisi yang tidak kunjung disepakati, dan persepsi bahwa negeri jiran ini menjadi surga bagi orang kaya Indonesia yang tersangkut perkara pidana untuk menyimpan kekayaannya. Ketika suhu politik memanas, hubungan dalam kerangka ASEAN menjadi penurun panas hubungan itu.

Kerjasama di masa sulit menjadi ujian pula. Manakala terjadi bencana alam di kawasan ini, termasuk di Indonesia, tawaran bantuan datang pertama kali dari ngara tetangga. Ketika Indonesia dan Thailand dilanda krisis moneter tahun 1997-1998, Singapura yang menjadi pusat keuangan di kawasan ini turun-tangan.  

Ada banyak kisah lain, dan semua dimungkinkan karena interaksi di antara pemimpin ASEAN.

Pasca Soeharto dan LKY

Pemimpin negara-negara ASEAN bergandengan tangan di Myanmar bulan Mei 2014. Foto oleh Ryan Lim/Malacañang Photo Bureau

Soeharto dan Lee Kuan Yew sudah pergi. Tokoh senior di awal berdirinya ASEAN yang menonjol dan masih hidup adalah Mahathir Mohamad, yang tak lagi memiliki pengaruh kuat di pusat kekuasaan di Malaysia, meskipun masih dihormati sebagai tokoh senior UMNO, partai politik yang berkuasa di Malaysia.  

Sebagian kepala negara di ASEAN kini juga dalam posisi yang tidak begitu popular dan disibukkan dengan problem domestik di dalam negaranya. Kondisi ini dialami oleh Presiden Filipina Benigno Aquino, juga pemerintah Thailand yang kini dikuasai militer.  PM Malaysia Nadjib Razak juga hadapi situasi sulit, popularitas menurun. Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang baru memerintah selama lima bulan, juga dikepung beragam persoalan.

Isu lain adalah kompetisi dari Trans Pacific Partnership yang diinisiasi AS dan mendapat minat dari sebagian negara anggota, seperti Vietnam. Indonesia di era Susilo Bambang Yudhoyono begitu bangga dengan status sebagai negara anggota kelompok G-20.  

Bagaimana masa depan ASEAN dan implementasi MEA 2015? Itu pertanyaan yang mengemuka. Sesi diskusi dalam acara Media Forum Reporting ASEAN yang berlangsung tiga hari ini (31 Maret – 2 April) di Bangkok menyajikan perkembangan terbaru mengenai ASEAN dengan titik berat pada MEA 2015.   

(BACA: Apakah isu perbudakan nelayan menggugah petinggi dan publik ASEAN?)

“Problem politik dalam negeri memang dikhawatirkan menganggu fokus dan komitmen pemimpin negara untuk mengejar target 100% implementasi cetak biru MEA. Menurut saya, 80% yang sudah dicapai saat ini sudah bagus. Sisanya adalah bagian paling berat. Dan mungkin baru akan tercapai beberapa tahun kemudian,” kata Jayant Menon, ekonom dari kantor integrasi ekonomi regional Bank Pembangunan Asia.  

Negosiasi paling alot misalnya menyangkut soal aturan tarif.  

COMPETITIVE? An Indonesian rides a motorbike past containers at the Tanjung Priok Port in Jakarta, Indonesia, in this 2012 file photo. Photo by Bagus Indahono/EPA

Sentimen mengenai siapa yang bakal menjadi pemenang dan siapa yang bakal kalah dalam memanfaatkan integrasi ekonomi menghantui publik dan pemerintah di negara anggota. Ma Alcestis Mangahas, Deputi Direktur ILO, organisasi buruh internasional untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan bahwa jika MEA berlaku, hanya 1% dari tenaga kerja yang terpengaruh, dari total angkatan kerja yang ada. 

Angka ini lumayan menenangkan, karena sebelumnya ada kekhawatiran bahwa negara yang kurang menyiapkan diri bakal kebanjiran tenaga kerja asing, karena pintu arus tenaga kerja dibuka.

MEA 2015 akan menjadikan kawasan dengan 630-an juta penduduk ini sebagai basis produksi, yang kedua terbesar setelah Tiongkok. Integrasi ekonomi diprediksi akan menurunkan ongkos produksi 10-20%. Siapa yang bakal mendapat manfaat lebih besar, bisa dilihat dari keseriusan pemerintahnya menyiapkan sektor-sektor yang kompetitif, baik barang maupun jasa, juga sumber daya manusia.

Moe Thuzar, Kepala Periset di ASEAN Studies Center yang berbasis di Singapura memaparkan, data bahwa selama ini semakin terbuka ekonomi negara anggota ASEAN, semakin besar mereka mendapatkan manfaat, termasuk dari investasi asing secara langsung (foreign direct investment).  

Posisi kemajuan indeks pembangunan manusia di kawasan ini juga meningkat, yang ditunjukkan dengan tabel di bawah ini (Presentasi Moe Thuzar):

Meningkatnya HDI, pertumbuhan ekonomi yang pesat, industrialisasi, dan perubahan agrarian adalah indikator transformasi ASEAN.  Ada catatannya. Menurut Carl Middleton, dosen di Universitas Chulalongkorn, Bangkok, prestasi negara ASEAN itu dibayangi ketimpangan yang terjadi di dalam masing-masing negara, juga antar negara. Kita tahu bahwa situasi politik, ekonomi dan sosial di antara 10 negara ASEAN juga berbeda-beda.

Tantangan MEA 2015

Media Forum Reporting ASEAN 2015 di Bangkok,Thailand. Foto oleh Uni Lubis

Memasuki usia 48 tahun, dan akan berlakunya MEA 2015, tantangan bagi ASEAN adalah: Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan kian inklusif, melibatkan semua tingkatan masyarakat.  

Tantangan lain adalah kesejahteraan sosial bagi semua penduduk di kawasan ASEAN dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Seringkali ekspansi ekonomi dan bisnis korporasi lintas batas di kawasan ini mengorbankan nasib rakyat kecil. Carl Middleton memberikan contoh pembukaan sebuah industri gula yang melibatkan dua negara anggota.

Tantangan lain adalah pembangunan lingkungan yang berkelanjutan. Juga transformasi dari industri berbasis ekstraksi dari kekayaan alam dan mengandalkan upah tenaga kerja murah, menuju industri berbasis inovasi dan pengetahuan.  

Ada sejumlah tantangan lain termasuk akses ke keadilan yang berbeda derajatnya di kalangan negara anggota. Tantangan paling besar tentunya bagi para pemimpin di negara ASEAN, meyakinkan para pemangku kepentingan di negara masing-masing, mengenai manfaat integrasi ASEAN. Kalangan pebisnis, yang berkepentingan terhadap kelangsungan usahanya, merespons lebih serius.    

Sektor informal? Ini yang meninggalkan pekerjaan rumah besar. Menurut Bram Press, direktur MAP Foundation yang meneliti kondisi pekerja migran di ASEAN, ada 8 juta pekerja migran yang tidak memiliki keahlian khusus. Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sebanyak 43% adalah perempuan. Mereka dalam kondisi rentan, kurang terlindungi karena beda regulasi di antara negara anggota.

Ada banyak pencapaian, juga sejumlah catatan besar. ASEAN yang dimulai dengan ragu-ragu, unpromising start, telah menjelma menjadi kekuatan bersama yang dipandang serius oleh kekuatan lain.  

Masa depan yang menjanjikan, promising future, bergantung kepada bagaimana pihak berkepentingan menangkap peluang yang ada. Jangan bergantung kepada pemerintah, itu juga kuncinya. —Rappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!