Indonesia, negeri pecinta mati

Rafki Hidayat

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Indonesia, negeri pecinta mati

EPA

Pengedar narkoba bukan orang suci, tapi layakkah mereka dihukum mati?

Beberapa minggu terakhir saya tidak bisa tidur nyenyak karena ternyata banyak masyarakat kita yang seakan melihat mati sebagai perkara sepele, yang tidak menakutkan. Mereka mendorong agar eksekusi mati narapidana, 2 di antaranya terpidana kasus narkoba asal Australia — duo Bali Nine — sesegera mungkin dilaksanakan.

Mengapa kita begitu mudah mendukung kematian? Penasaran, saya coba bertanya kepada beberapa rekan. Hampir semua jawabannya seperti ini:

Tanya: Setuju nggak dengan eksekusi mati duo Bali Nine?

Jawab: Setuju

T: Kenapa?

J: Kalau nggak mereka yang mati, ya jutaan masyarakat Indonesia yang mati.

T: Kenapa?

J: Kasus narkoba kan?

T: Narkoba apa yang mereka bawa?

J: Nggak tahu

T: Berapa berat narkobanya?

J: Nggak tahu

T: Mereka mau bawa narkoba ke mana?

J: Ke Indonesia lah, ke Bali

Sedih mengetahui bahwa argumen tersebut dibangun dengan informasi yang tidak lengkap. Dukungan untuk eksekusi mati pun hanya atas pemahaman yang terlalu sederhana bahwa “narapidana yang merupakan warga negara asing, akan menghancurkan hidup masyarakat Indonesia karena membawa narkoba ke tanah air.” Dan yang lebih miris lagi, pemahaman itu pun untuk kasus ini, salah.

Banyak yang tidak tahu duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, tidaklah berencana membawa 8,2 kg heroin dari Australia masuk ke tanah air. Namun sebaliknya, mereka ditangkap di Bandara Ngurah Rai, 2005 silam, saat akan membawa narkoba tersebut dari Bali keluar menuju Australia. Mungkin ini hanya hal kecil. Namun, kesalahan besar jika kita mendukung seorang manusia untuk dieksekusi mati, tetapi dengan alasan yang salah.

Nyaris membabi-butanya dukungan masyarakat terhadap eksekusi mati adalah buah dari pemberitaan media, yang merupakan sumber informasi utama. Lihat saja judul-judul berita: 

“Pemerintah Jangan Plin-plan Hukum Mati Bandar Narkoba” 

“Hukuman Mati untuk Pengedar Narkoba Sesuai Syariat Islam” 

“Hukuman Mati Terpidana Narkoba Merupakan Harga Mati” 

“Hukuman Mati Penjahat Narkoba Justru Lindungi HAM Orang Lain”

Namun, yang jarang diketahui adalah apa yang kita baca, dengar, atau tonton lewat media, bukanlah gambaran utuh dari apa yang terjadi. Kebijakan redaksi dan pilihan angle berita membatasi apa yang kemudian disajikan kepada masyarakat. 

Selain soal detail narkoba yang dibawa Andrew dan Myuran, inilah yang mebuat kita jarang mendengar berita bahwa hampir 10 tahun dipenjara, duo Bali Nine telah menjadi sosok yang berjasa bagi sesama narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali. Ini pula lah yang membuat kita tidak akrab dengan ketentuan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), bahwa hukuman mati hanya untuk “kejahatan paling serius”, seperti pembunuhan terencana atau disengaja. PBB telah melakukan moratorium untuk negara-negara di dunia sejak 2007.

Dan konsep ber-media ini pula lah yang membuat kita jarang membaca berita, ada tokoh negeri yang menolak hukuman mati terpidana narkoba. Padahal akhir Februari lalu, Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama mendatangi Presiden Joko “Jokowi” Widodo, meminta menghapus hukuman mati untuk kasus narkoba. Namun, yang diangkat media hanyalah soal kisruh Sang Gubernur dengan DPRD DKI Jakarta.

Perlu dipertanyakan mengapa media lokal nyaris menutup akses bagi masyarakat untuk bersimpati kepada para narapidana, menolak hukuman mati terpidana narkoba. Bukankah lebih bijak melihat situasi yang menyangkut hidup-mati seseorang dengan lebih sensitif, memberitakannya dari kedua sisi seperti bagaimana seharusnya sebuah berita? Apakah ini hanya karena para praktisi media kurang sensitif? 

Atau mungkin ini karena terafiliasinya sejumlah media dengan penguasa negeri, sehingga apapun yang keluar dari mulut penguasa, angle itulah yang diangkat? 

Padahal, dengan peran vitalnya, media atas nama masyarakat, secara tidak langsung, bisa memengaruhi pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan. Namun, dengan apa yang terjadi sekarang, yang tampaknya bisa memuaskan masyarakat, membuat mereka bersorak-sorai, seakan hanyalah kematian. 

Layakkah pengedar narkoba dihukum mati?

Sebuah potret Presiden Jokowi yang dilukis oleh terpidana mati asal Australia Myuran Sukumaran. Foto oleh EPA

Mengedarkan narkoba adalah tindakan kriminal. Namun, apakah hukuman mati layak sebagai ganjaran bagi para pelakunya? 

Presiden Jokowi telah berkali-kali mengimplikasikan, penggunaan narkoba di Indonesia adalah masalah serius. Indonesia disebutnya “darurat narkoba”. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), 50 orang Indonesia meninggal setiap harinya karena narkoba. Ini berarti 18.000 orang tewas setiap tahunnya akibat penyalahgunaan narkoba.

Namun, apakah dengan data ini berarti pengedar narkoba layak dihukum mati? 

Mari kita coba lihat dari sisi yang berbeda. Menggunakan atau tidak menggunakan narkoba adalah pilihan pribadi penggunanya. Terlepas pada awalnya dia mengonsumsi narkoba secara sukarela, coba-coba atau karena bujuk rayu teman dan pengedar, keputusan untuk menggunakan narkoba dilakukan si pengguna dengan kesadarannya. Pengedar dalam hal ini berfungsi sebagai penyedia supplai atas kebutuhan tersebut.

Jika kita tengok lebih dalam lagi, banyak hal yang menyebabkan seseorang menggunakan narkoba. Ada yang hanya ikut-ikutan untuk bisa diterima di suatu lingkungan sosial. Ada yang menggunakannya sebagai pelarian dari berbagai masalah; keluarga, percintaan, ekonomi dan lain sebagainya. Ada yang menggunakannya untuk mendulang inspirasi atau menambah stamina kerja. Ada pula yang mengonsumsi narkoba hanya untuk bersenang-senang, merasakan sensasinya.

Berpijak dari ini, kita sering lupa bahwa penggunaan narkoba, yang dalam akibat terburuk bisa berujung kematian karena kecanduan, overdosis, HIV, kecelakaan, dan lain sebagainya, bukan hanya karena adanya barang, tetapi juga karena berbagai langkah dan banyak pilihan yang diambil sendiri oleh pengguna narkoba dalam hidupnya. 

Menggunakan atau tidak menggunakan narkoba adalah pilihan pribadi penggunanya. Pengedar dalam hal ini berfungsi sebagai penyedia supplai atas kebutuhan tersebut.

Mengapa kita jarang melihat masalah narkoba secara holistik? Bahwa mungkin saja keadaan pribadi, keluarga yang tidak peka, aparat yang gagal menangani pengedaran narkoba, atau pemerintah yang belum berhasil menghilangkan jurang masalah ekonomi, ikut menjadi penyebab tewasnya pengguna narkoba? 

Mengapa kita tidak bisa turut menjadikan mereka sebagai penyebab “darurat narkoba”, tidak hanya pengedar narkoba itu sendiri? Apakah ini bentuk pelarian dari tanggung jawab? Apakah ini hanya fenomena sosial belaka, ketika ketakutan dan perasaan bersalah membuat alam bawah sadar yang tidak ingin dipersalahkan, mencari sasaran lain untuk dipersalahkan; pengedar narkoba?

Kita lihat analogi terkait kondisi ini. Misalnya ada dua kasus. Kasus pertama, A yang menghadapi berbagai masalah keluarga, cinta, ekonomi, atau lain sebagainya, membeli senapan ilegal dari B. A bunuh diri dengan menggunakan senapan tersebut. 

Atau Kasus Kedua, A yang hidup bahagia, membeli senapan ilegal untuk berburu, dari B. Namun, saat melaksanakan hobi berburunya, dia tidak sengaja tertembak pelurunya sendiri hingga tewas. 

Untuk kedua kasus, apakah wajar kita mengeksekusi mati B karena menjual senapan ilegal?

Tentu, pengedar narkoba bukanlah makhluk suci. Mereka telah melakukan tindak kriminal merusak. Peredaran narkoba pun harus diberantas. Namun, apakah hukuman mati layak bagi pengedar? Jika kita bisa memaklumi pengguna narkoba sebagai korban, dan memperkenankan mereka diberi hukuman “hanya rehabilitasi”, mengapa kita tidak bisa melihat pengedar narkoba juga sebagai korban, korban dari tingginya permintaan pengguna, dan mengurangi hukumannya menjadi “hanya seumur hidup”?

Namun, kita tak bisa berbuat apa-apa karena Presiden telah menorehkan keyakinan bahwa menghukum mati pengedar narkoba adalah cara ampuh untuk menghentikan “darurat narkoba”. 

Ironis, jika angka 18.000 orang tewas setiap tahun karena narkoba lah yang digunakan sebagai senjata untuk mengeksekusi mati para tervonis. Sangat ironis, karena jika ukurannya adalah angka. Ada 43.000 orang Indonesia tewas akibat kecelakaan lalu-lintas setiap tahunnya. Mengapa tidak ada “darurat lalu-lintas”? 

Dan lebih ironis lagi, di saat satu-persatu hidup terpidana diakhiri, belum pernah ada statistik yang menunjukkan, hukuman mati bisa mengurangi pengedaran dan penggunaan narkoba.

Nikmatnya mati

Foto dari Shutterstock

Jika sehat dan tidak menghadapi masalah yang benar-benar berat, semua manusia pasti tidak ingin mati, bahkan takut mati. Mengapa mati begitu menakutkan? 

Pertama, karena kita tidak tahu pasti apa yang terjadi setelahnya, sampai mati itu benar-benar datang.

Kedua, mati begitu menakutkan karena tidak ada yang tahu rasanya mati, kecuali yang telah mati. 

Ketiga, dan seluruh ketakutan akibat ketidaktahuan itu, mungkin tidak bisa menandingi ketakutan akan fakta bahwa apapun yang pernah kita rasakan; kesadaran, mimpi dan cita-cita, pertemanan, keluarga, nafas ini, nikmatnya mencium wewangian, makan, tertawa, menangis, sakit hati, terluka, bahagia, memori akan orang-orang yang kita sayangi, perasaan cinta, semuanya akan berakhir. Apapun yang pernah kita ketahui, itu kita ketahui hanya di saat hidup. Dan ketika mati datang, itu berakhir. Selesai.

Mati, bagi kebanyakan orang, amatlah menakutkan. Dan tidak ada yang lebih menakutkan dibanding mengetahui kapan kita akan mati dan bagaimana cara kita akan mati. Itu mungkin adalah perasaan terpedih yang bisa dirasakan manusia, yang kini sedang dirasakan para terpidana mati yang tengah menghirup pahitnya udara Nusakambangan.

Dan membuat orang menunggu hari kematiannya selama bertahun-tahun adalah hukuman tersendiri yang tidak kalah beratnya, tidak hanya bagi terpidana, tetapi juga bagi orang yang mencintai mereka.

Andrew Chan dan Myuran Sukumaran telah divonis mati hampir sepuluh tahun lalu. Terpidana mati asal Nigeria Raheem Agbajee Salami bahkan telah ditahan sejak 1998. Setiap hari dalam beribu-ribu hari, keluarga tidak bisa benar-benar berduka karena orang yang mereka cintai masih hidup. Namun, mereka juga tidak pernah bisa lega karena mungkin setiap pertemuan, adalah perpisahan.

Tahun-tahun telah membuat para terpidana ini menjadi orang yang berbeda. Berusia masih di awal 20an ketika melakukan tindak kriminal, Chan dan Sukumaran kini telah mengakui dan malu atas kesalahannya. Selama bertahun-tahun di lapas, mereka telah menjadi mentor Bahasa Inggris, kelas komputer, memberi workshop melukis, berbagi yang mereka bisa bagi kepada para penghuni lapas lainnya. 

Salami bahkan meminta kornea mata dan ginjalnya disumbangkan bagi orang yang memerlukan, seandainya eksekusi mati jadi dilaksanakan.

Jika kejahatan dianggap mengurangi nilai kemanusiaan, mereka telah berusaha menjadi manusia yang lebih bernilai. Dan ini mungkin saja terjadi pada terpidana mati lain yang kurang beruntung, yang jarang diliput media. Mengeksekusi mati mereka saat ini, hanya akan membunuh orang lain, bukan kriminal yang melakukan kejahatan bertahun-tahun lalu.

Negeri pecinta mati

Dua peti jenazah tiba di Kedutaan Besar Australia di Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin, 9 Maret 2015. Gatta Dewabrata/Rappler

“Jangan ada yang coba-coba untuk intervensi kedaulatan hukum kita, masalah eksekusi mati narkoba. Ini adalah kedaulatan hukum kita,” kata Jokowi.

Entah mengapa pernyataan di atas membuat saya teringat aksi pembakaran seorang begal hingga tewas, beberapa waktu lalu. Banyak pihak yang mengatakan ini terjadi karena masyarakat kecewa dan tidak lagi percaya pada penegakan hukum, sehingga penyelesaian “rimba” seakan menjadi satu-satunya solusi untuk membuat jera pelaku dan menghilangkan ketakutan masyarakat.

Namun, di sisi lain, ini menimbulkan pertanyaan. Jika ketidakpercayaan pada hukum menjadi alasan orang-orang membakar begal, bukankah ini menegasikan harapan mereka sendiri atas penegakan hukum? 

Mungkinkah sebenarnya ini tidak ada kaitannya dengan ketidakpercayaan kita terhadap hukum? Mungkinkah ini karena masyarakat kita saja yang begitu gampang melihat mati sebagai solusi setiap kejahatan? Karena hanya dengan menghukum mati seseorang lah, hukum baru tampak ditegakkan? 

Lalu di mana penegakan hukum yang sebenarnya? Mengapa tidak ada aparat yang memproses secara hukum para pembakar begal yang jelas-jelas membunuh manusia?

Itulah potret hukum negeri ini. Banyak yang dipertanyakan, tetapi sedikit sekali jawaban. 

Bagaimana kita bisa menerima sebuah hukuman mati, untuk kasus apapun, dari lembaga-lembaga yang kejujurannya saja masih dipertanyakan? Bagaimana jika terjadi kesalahan? Bisakah mengembalikan hidup yang telah mati?

Namun, hampir dalam setiap kesempatan, Presiden lagi dan lagi menegaskan, ini adalah masalah kedaulatan hukum Indonesia. Ironis. Eksekusi mati digunakan pemerintahan baru sebagai alat untuk memperlihatkan, kepada masyarakat tanah air dan dunia internasional, betapa Indonesia saat ini gagah menegakkan hukum. Digunakan untuk memperingatkan siapapun untuk jangan main-main dengan negeri ini. Tampang sangar itu tanpa didahului refleksi dan koreksi terhadap sistem hukum Indonesia sendiri yang masih rapuh.

Ketika tulisan ini dibaca, mungkin para terpidana mati sedang melewati saat-saat terburuk dalam hidup mereka. Setiap detik yang hanya berlalu begitu biasa bagi kita, adalah segalanya bagi para terpidana. Dan di sebuah detik di lewat tengah malam Nusakambangan, waktu pun akan berakhir bagi mereka.

Ironis. Eksekusi mati digunakan pemerintahan baru sebagai alat untuk memperlihatkan, kepada masyarakat tanah air dan dunia internasional, betapa Indonesia saat ini gagah menegakkan hukum.

Tangan diikat. Mata ditutup. Tubuh mereka dibalut baju putih dengan tulisan X di bagian jantung. Perlahan, mereka dibawa ke sebuah lapangan. Bau pagi kala itu sangat menyengat. Rimbun pepohonan bergemerisik. Segar. Namun, mereka tak sempat menikmatinya. Berbagai pikiran melesak membayangi otak. Atau mungkin kosong, tak ada lagi yang mereka bisa pikirkan.

Berdiri, duduk, atau berlutut, mereka diikat ke sebuah tiang, menghadap 12 anggota regu tembak. Tiga di antara eksekutor memiliki senapan berpeluru tajam.

Terpidana menghela nafas. Mungkin mereka telah mengetahui, jika tembakan tepat sasaran menembus jantung, mereka akan langsung mati. Mungkin juga mereka telah tahu, jika tidak langsung mati, kepala regu tembak akan menembak kepala mereka dari jarak dekat hingga mati.

Nafas kembali mereka hela. Ingin menangis, tak bisa. Ingin berteriak, percuma. Mungkin mereka hanya bisa diam, pasrah. 

Mungkin, seperti itulah ekspresi kita ketika tahu pasti kapan kita akan mati. Tidak histeris. Hanya pasrah.

Namun, di saat kepasrahan itulah, ketakutan terburuk menjelang. Ketakutan yang telah mereka waspadai selama bertahun-tahun dipenjara. Ketika laras senapan berdentang, diarahkan menghadap jantung narapidana, nafas kembali dihela. 

Itulah puncak segalanya. Puncak hidup mereka. Puncak ketakutan mereka. Ketakutan akan mati, yang ironisnya hanya bisa berakhir dengan mati itu sendiri. Mati, di negeri yang seakan mencintai mati. —Rappler.com

Rafki Hidayat adalah seorang jurnalis untuk sebuah stasiun televisi swasta. Tulisan ini sebelumnya diterbitkan di blog pribadinya. Follow Twitter-nya, @RafkiHidayat.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!