Benarkah TNI promosikan isu ‘Proxy Wars’?

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Benarkah TNI promosikan isu ‘Proxy Wars’?
Analisis asing menduga jenderal-jenderal Indonesia tengah munculkan ancaman baru, mirip pola Orde Baru yang jadikan komunisme sebagai ancaman. Baca tanggapan KSAD Gatot Nurmantyo, ekslusif untuk Rappler Indonesia

Ketika saya kontak via pesan singkat, pekan lalu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Gatot Nurmantyo tengah berada di New Delhi, India.  Saya sampaikan bahwa saya ingin bertanya soal jenderal-jenderal Indonesia tengah mengembangkan isu “proxy wars”, sebagai ancaman masa kini bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  

Analisis ini saya baca di artikel yang diterbitkan Rappler berjudul Proxy wars? Indonesia’s generals invest a shadowy new threat.

Gatot antusias dengan pertanyaan saya.  Kami sempat berbicara lewat telepon, mengenai isu proxy wars ini, sebelum akhirnya berjanji untuk bertemu Senin, 13 April 2015, di kantornya di Markas Besar Angkatan Darat, di Kawasan Jl Veteran, Jakarta Pusat. 

Siang tadi saya ditemani jurnalis Rappler, Febriana Firdaus, mewawancarai Jenderal Gatot, lulusan Akademi Militer Angkatan 1982, yang diangkat menjadi KSAD oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 16 hari sesudah Pemilu Presiden 9 Juli 2014.  Sebelumnya Gatot menjabat Panglima Komando Strategis TNI AD.

Dari ketertarikan personal sampai diskusi keliling kampus

“Awalnya, adalah ketertarikan personal saya, terhadap berbagai hasil riset.  Baik itu soal energi maupun pangan.  Ini dua komoditas yang paling penting dan menjadi rebutan dunia, yang populasi penduduknya kian bertambah secara cepat,” ujar Gatot.  

Dalam sebuah kesempatan berbicara dengan mahasiswa di Universitas Indonesia (UI) awal tahun lalu, saat masih menjabat Pangkostrad, Gatot mengaku melemparkan pertanyaan kepada ribuan mahasiswa yang hadir.  “Jika saat ini kalian jadi presiden, pemimpin, dengan tantangan yang ada termasuk krisis pangan dan energi, dan melihat apa yang kita alami saat ini, apa yang kalian lakukan?”

Mahasiswa (dan tentunya mahasiswi) memberikan beberapa jawaban.  Diantaranya kekuatiran bermainnya kepentingan terkait dengan penguasaan sumber daya alam, termasuk energi.  Penguasaan pangan.  “Bahkan ada yang bilang, konflik antara KPK dan Polri, adalah bagian dari upaya mengganggu stabilitas.  Ada yang memainkan.  Kita lantas bicara soal proxy wars,” kata Gatot. 

Sambutan hangat dari peserta diskusi di UI, April 2014, membuat Gatot bersemangat menerima undangan berdiskusi dengan mahasiswa di kampus lainnya. Dia berkeliling dari kampus ke kampus di Jawa, Sulawesi, sampai Papua. Mendiskusikan soal ancaman proxy wars masa kini.

Di Aula Barat Institut Teknologi Bandung, pada tanggal 30 April 2014, Pangkostrad Letjen TNI Gatot Nurmantyo memberikan kuliah umum bertema “Peran Pemuda dalam Menghadapi Proxy Wars”.  Gatot mengingatkan proxy war bisa memanfaatkan semua komponen sebagai pintu masuknya. 

Apa itu proxy war? 

Proxy war adalah kekuatan besar yang memainkan perannya secara tidak langsung melalui pihak ketiga.  Di kesempatan lain Gatot menyebutkan proxy wars adalah perang antara dua kekuatan dengan menggunakan pemain pengganti.

“Melalui perang proxy, tidak dapat dikenali dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan karena musuh mengendalikan dari jauh,” kata dia. 

Gatot menjelaskan, negara musuh akan membiayai semua kebutuhan yang diperlukan dengan imbalan kekuatan lawan terpecah-belah. Pihak ketiga itu yakni non state actors bisa berupa LSM, Ormas, kelompok masyarakat, atau perorangan.

Proxy war di Indonesia

Di Indonesia, kata Gatot, proxy war sudah berlangsung dalam beragam bentuk. Selain gerakan separatis, upaya tersebut dilakukan melalui sejumlah jurus. Di antaranya demonstrasi massa, sistem regulasi yang merugikan, maupun bentrok antarkelompok.

“Demonstrasi yang membawa tuntutan tidak masuk akal dan bersifat memaksa misalnya patut dicurigai sebagai indikasinya proxy war di Indonesia,” jelasnya. 

Dalam wawancara yang saya lakukan Senin siang, Gatot secara spesifik menyebutkan bahwa demonstrasi yang dia maksudkan adalah demo buruh yang memaksa buruh untuk mogok bekerja, menyebabkan 13 perusahaan di Jabodetabek terganggu operasinya, karena buruh dipaksa oleh kelompok buruh untuk ikut berdemo.  “Mereka mendatangi perusahaan-perusahaan itu,” ujar Gatot.

TNI kembangkan ketakutan terhadap ancaman luar negeri? 

Penulis di laman Asia Sentinel menyebutkan bahwa ada tendensi, diskusi dan kuliah umum bertema proxy wars yang dilakukan oleh Gatot, menunjukkan tengah mengembangkan rasa ketakutan terhadap ancaman dari luar negeri. “Fear of foreign proxies”.  Penulis menganalisis, mengemukakan beragam bentuk ancaman baru yang bersumber antara lain dari asing itu, mirip pola yang dilakukan di era Orde Baru, ketika rezim Presiden Soeharto yang kebetulan berasal dari militer, menjadikan paham komunisme sebagai ancaman.

“Bagi saya, kita punya Pancasila, yang dirumuskan oleh founding father.  Itu kan bagus.  Belakangan mulai terlupakan,” jawab Jendral Gatot, saat saya bertanya, apakah benar, TNI menciptakan ancaman baru, mirip yang dilakukan Soeharto dengan paham komunis.  

Kami berdiskusi cukup panjang mengenai analisa KSAD soal kelangkaan beras yang menyebabkan harga naik belum lama ini, kelangkaan energi dunia, penyebaran narkotika yang meluas dan seolah tak memiliki efek jera pada pengedarnya meskipun ada ancaman hukuman mati dan sudah ada yang dieksekusi, juga ancaman terorisme dan ISIS.

Wawancara lengkap dan rekaman videonya akan diterbitkan oleh Rappler Indonesia secara bertahap pekan ini.

Kritik media terhadap “promosi proxy wars” TNI

Saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh pandangan Gatot ini, karena kegiatan ke kampus yang dilakukannya justru tidak terlalu mendapatkan perhatian dari media nasional.  Artikel yang ditulis Asia Sentinel mengamati dengan seksama setiap ucapan Gatot di sejumlah kampus dan acara.  Kegiatan Gatot berlangsung sampai tahun ini.

Artikel itu juga menyebutkan bahwa “nuansa promosi” terjadinya proxy wars itu menguat setelah pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Konflik antara KPK dan Polri, yang menurut Gatot disebut oleh mahasiswa sebagai contoh ancaman proxy wars, terjadi di era Jokowi, dan sebenarnya pernah terjadi juga di era Presiden SBY.  Konflik kali ini dipicu oleh pengenaan status tersangka oleh KPK terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri yang disodorkan Presiden Jokowi.

Asia Sentinel menyebutkan, pada akhirnya, ketika sejumlah lembaga negara di Indonesia dilemahkan dengan kasus bernuansa korupsi dan konflik, tinggal dua pihak yang masih dalam posisi bisa mengkritisi penguasa: Lembaga Swadaya Masyarakat dan Masyarakat Sipil.  Kedua pihak inipun pelan-pelan akan dipersulit untuk mengkritisi penguasa.

Itu bisa dilakukan dengan UU yang membatasi upaya kritik kepada oligarki.

Proxy War mulai puluhan tahun lalu

Proxy wars bukan hal baru. Contoh paling nyata adalah perang dingin. AS dan Uni Sovyet berseteru, tapi menggunakan pihak lain, tidak berperang secara langsung.  Konflik di Indonesia tahun 1965, juga bisa dikategorikan sebagai proxy wars, begitu pula masuknya Indonesia ke Timor Timur pada 1975 yang didukung oleh AS, dan sebetulnya juga Australia.  

Dua negara ini yang kemudian paling gencar berkampanye secara internasional, mengkritisi militer Indonesia di propinsi ke-27 itu, sampai kemudian jajak pendapat di sana membuka jalan Timtim menjadi negara yang merdeka, Timor Leste.  

Gatot menganggap lepasnya Timor Timur di era Presiden BJ Habibie adalah bagian dari proxy wars. Dia mengutip konfirmasi dari Xanana Gusmao bahwa Australia berada dibalik lepasnya Timor Timur.

Menurut informasi yang saya baca, Asia Sentinel adalah media siber yang bermarkas di Hongkong.  Laman ini memuat analisis terkait situasi politik dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik.  Didirikan oleh empat jurnalis senior yang berpengalaman di kawasan ini, termasuk editornya, John Berthelsen mantan koresponden Wall Street Journal Asia yang juga redaktur pelaksana The Standar, Hongkong.

Mungkin karena sensitifitas isu, penulisnya menggunakan nama alias, Warren Doull, yang mengaku pernah bekerja di UNTAET di Timor Leste pada 2001-2002, dan pernah tinggal dan berkegiatan di Indonesia cukup lama. UNTAET adalah lembaga yang didirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengelola transisi pemerintahan saat Timor Timur beralih dari propinsi Indonesia menjadi negara merdeka, Timor Leste.

Saya menangkap kesan bahwa setelah diskusi pertama di UI, lantas keliling Indonesia, ditambah beragam bacaan dan riset mengenai perkembangan ekonomi dan politik di dunia, Gatot menganggap, perlunya mencermati ancaman proxy wars itu.  

“Kalau ada pihak lain ingin menganggu Indonesia, tidak bisa kita salahkan.  Yang masalah adalah kalau kita tidak waspada dan lengah.  Itu sebabnya saya senang mengajak mahasiswa dan dosen-dosen di kampus untuk berdiskusi soal ini.  Saya ingin tahu pendapat mereka.  Dan ternyata mereka sangat peduli akan bangsa ini, dan ancaman yang ada,” kata Gatot.  

Bagaimana dengan Anda, pembaca?  Setujukah bahwa kita tengah diancam proxy warsRappler.com

Uni Lubis adalah mantan pemimpin redaksi ANTV. Follow Twitter-nya @unilubis dan baca blog pribadinya di unilubis.com.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!