Operasi lewat tengah malam untuk Novel Baswedan

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Operasi lewat tengah malam untuk Novel Baswedan
Perjalanan penyidik KPK Novel Baswedan ditangkap di tengah malam, hingga kemudian dibawa ke Mako Brimob Depok.

JAKARTA, Indonesia — Muji Kartika Rahayu alias Kanti, anggota Konsorsium Reformasi Hukum Nasional ini sedang setengah tertidur di rumahnya di kawasan Citayam, Depok, Jumat, 1 Mei 2015. 

Ia terbangun saat ponselnya bergetar tepat pukul 00:30 dini hari. Awalnya Kanti tidak mau mengangkat karena tidak mengenal nomor tersebut. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut. 

“Ini Novel (Baswedan) ditangkap di Bareskrim,” kata suara yang cukup ia kenal. “Siapa?” kata Kanti bertanya balik.

“Ini Taufik,” kata seseorang dari ujung telepon yang belakangan diketahui adalah kakak Novel, Taufik Baswedan. 

(BACA: Penyidik KPK Novel Baswedan dijemput paksa Kepolisian)

Kanti langsung terperanjat dan segera menghubungi istri Novel, Rina Emilda. Setelah menghubungi Rina via WhatsApp, ternyata benar, Novel memang sudah dibawa oleh polisi ke Trunojoyo, sebutan untuk gedung Markas Besar Polisi RI (Mabes Polri)

Malam itu juga Rina langsung menyusun kronologi. 

Berdasarkan kronologi yang dibuat istri Novel, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sedang tidur saat polisi bertandang ke rumahnya di kawasan Kelapa Gading. 

Lalu ia dibangunkan oleh istrinya sekitar pukul 00:00 tengah malam. Rina mengatakan ada tamu dari Kepolisian. Novel langsung turun ke ruang tamu. 

Ia menerima sang tamu dan langsung mengetahui maksud kedatangan pasukan berseragam cokelat tersebut. Apalagi kalau bukan menjemput paksa dirinya. 

Dengan membawa surat perintah penangkapan nomor SP.Kap/19/IV/2015/Dittipidum, Polisi meminta Novel untuk ikut dengannya ke Bareskrim saat itu juga. 

Surat penangkapan yang dikeluarkan pada 24 April 2015 itu ditandatangani Direktur Tindak Pidana Umum selaku penyidik Brigadir Jenderal Herry Prastowo.

Setelah membaca surat tersebut, Novel izin untuk kembali ke kamar menemui istrinya. Tanpa sepengetahuan Novel, penyidik mengikutinya sampai kamar. 

Novel langsung protes. “Anda harus turun, istri saya tidak pakai jilbab,” katanya. Akhirnya Novel pun bergegas memakai baju koko berwarna putih dan berangkat bersama 12 personel kepolisian menumpang mobil mereka. 

Mencari jejak Novel di Bareskrim

 

Setelah mendapat kepastian dan kronologi dari sang istri, Kanti pun berkoordinasi dengan para pengacara lainnya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, termasuk aktivis hak asasi manusia (HAM), Usman Hamid. 

Mereka tanpa dikomando langsung menuju ke Bareskrim. Tepat pukul 3 pagi, mereka tiba dan saling bertatap muka. “Di mana Novel?” serentak bertanya. 

Kanti, Bahrain, Usman, Tomi, Ikhsan, dan Eko, lima sekawan pembela HAM dan aktivis gerakan anti-korupsi ini bertanya-tanya, di manakah sang penyidik? 

Pandangan mereka tertuju pada petugas piket di ruangan Bareskrim. Usman yang pertama kali berinisiatif bertanya pada petugas piket bernama Mahendra tersebut. Tak diketahui pangkat sang polisi. 

“Di mana Novel Baswedan?” tanya Usman. Mahendra langsung menawari diri untuk berkeliling gedung mencari sang penyidik. Ia lalu kembali dalam sekejap. 

“Saya sudah keliling gedung, tapi Novel tidak ketemu,” katanya. Usman tak puas dengan jawaban Mahendra dan memintanya kembali mencari kembali Novel. Mahendra pun menuruti kemauan Usman. 

Tapi lagi-lagi pencarian itu nihil. Novel tak ada. Mahendra pun mengeluh pada Usman, “Saya sudah capek. Kalau saya marah, saya bisa marah,” katanya. 

“Lho, seharusnya saya yang marah. Klien saya ini tidak ketemu,” timpal Usman. 

Perdebatan sengit antara Usman dan Mahendra tidak terhindarkan. Hingga Mahendra menyerah dan setuju untuk kembali berputar di ruangan gedung, mencari Novel. 

Lalu dia kembali dan membawa setitik harapan, kabar tentang Novel. “Tadi saya ketemu dengan Novel di musholla. Setelah itu saya tidak tahu di mana Novel. Ruangan dikunci, lampu mati,” katanya. 

“Ya sudah, ditelepon saja ruangannya, kan bisa?” cecar Usman. Mahendra mengatakan, itu tidak bisa dilakukan.

“Datang besok saja lagi,” katanya. 

“Tidak bisa,” jawab Usman. 

“Saya hanya menjalankan perintah. Datang saja besok pagi,” katanya. 

“Siapa yang menyuruh? Siapa atasannya?” kata Usman, aktivis lain termasuk Kanti ikut mendesak. 

“Penyidik,” jawab Mahendra singkat. 

“Siapa namanya?” tanya Usman lagi. 

“Saya ralat. Bukan penyidik, tapi yang menangkap Novel,” kata Mahendra. 

“Siapa?” Usman mendesak. Tapi Mahendra diam saja. 

“Sudah kamu jangan babak belur sendiri. Antar kami,” kata Usman lagi. 

Mahendra menolak, dan menimpali Usman, “Saya tidak punya mandat mengantarkan tapi menyuruh datang lagi besok,” katanya.  

Pernyataan Mahendra itu sempat disaksikan wartawan yang meliput di Bareskrim Polri.  

Usman naik darah, tapi ia memilih diam. Lima sekawan ini kemudian memutuskan untuk sholat shubuh terlebih dahulu di Masjid Mabes Polri. 

Hingga pukul 08:30, Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso hadir memberikan keterangan pers pada awak media. 

Usman pun memanfaatkan momen ini. Ia mendekat pada Budi, dan menyatakan keinginannya bertemu dengan Novel. 

Ternyata upaya Usman untuk menangkap basah Budi membuahkan hasil. Usman dan empat kawannya diperbolehkan bertemu dengan Novel. LBH Jakarta pun segera menyiapkan surat kuasa hukum. 

Novel: Tersenyum, muram, lalu dikecewakan

 

“Pertama kali yang kami lihat adalah jidat Novel. Oke, berarti dia masih hidup,” kata Kanti. 

Novel pun tersenyum. Itu reaksi penyidik KPK tersebut. “Saya baik-baik saja,” kata Novel. 

Novel malah bercanda, “Penyidik ini ustadz, saya ditangkap di sini untuk disuruh sholat tahajud,” katanya. 

“Memang kamu kenal?” tanya Usman. 

“Enggak. Bercanda saja,” kata Novel. 

Selama beberapa menit, obrolan antara Novel, penyidik, dan Usman berjalan lancar. Bahkan diselingi dengan humor. 

Hingga seorang penyidik mengabarkan pada Novel. “Kita lanjutkan pemeriksaan di Mako Brimob,” katanya. 

Bola mata Novel langsung memerah. Reaksinya tak biasa. Ia langsung bertanya pada penyidik itu, “Alasanya apa? Kenapa pemeriksaan harus dilanjutkan di sana? Saya menolak,” tegas Novel. 

Pertama secara normatif di surat penangkapan hanya disebutkan bahwa ia hanya akan dibawa ke Bareskrim. “Kalau mau menahan, ditahan saja,” katanya. 

Kedua, Novel curiga polisi tak punya itikad baik. “Kalau kamu terusin begini, saya marah, dan saya nggak mau memberikan keterangan. Saya tadinya mau memberi keterangan tapi saya nggak mau sekarang,” katanya. 

“Ini perintah atasan,” kata polisi tersebut. 

Novel mengatakan pada si penyidik, proses ini sudah tidak masuk akal. Masalahnya, Novel tak pernah mendapati seorang yang diperiksa dan tak pernah ditahan langsung dibawa ke Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.

Penyidik kemudian keluar dan kembali ke ruangan dengan membawa surat penahanan. Novel langsung menolak.  

Lalu polisi langsung menyiapkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Penolakan. Novel setuju menandatangani surat tersebut.  

Polisi lalu memberikan Novel jaket tahanan berwarna oranye dan mengikat tangannya. Saat itu pukul 11:30 siang, tiga puluh menit menuju sholat Jumat. 

Novel pun bertanya, “Saya sholat Jumat di mana?” 

“Berangkat dulu. Kalau di jalan bertemu Masjid, kita berhenti,” kata si polisi. Mereka pun berlalu. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!