Menilik hukuman mati

Antonia Timmerman

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menilik hukuman mati

EPA

Menurut jurnalis ini, fokus ke solusi nyata akar masalah harus menjadi lebih penting daripada sensasi hukuman mati.

Sebagai seseorang yang bekerja di industri media, saya melihat dengan putus asa bahwa pers saat ini belum memberikan edukasi dan informasi yang dibutuhkan masyarakat, terutama seputar isu hukuman mati.

Saya tidak ingin menyerang siapa-siapa, baik secara individu maupun institusi. Namun, sebagai jurnalis, adalah kewajiban saya untuk menyajikan informasi atau pandangan yang berimbang, terutama terkait suatu perdebatan penting tentang kemanusiaan.

Pandangan dan informasi ini mungkin sedikit berbeda dengan apa yang selama ini tersedia di media massa pada umumnya.

Untuk mempermudah, isu hukuman mati saya bagi menjadi 4 bagian atau sudut pandang. 

Pertama, dari sudut pandang korban (demand). Kedua, dari sudut pandang bandar (supply). Ketiga, dari sudut pandang sistem hukum itu sendiri. Keempat, dari sudut pandang hubungan internasional.

Korban (demand) 

“Tidakkah kamu kasihan dengan korban narkoba yang ribuan jumlahnya?Setiap hari 50 anak mati karena narkoba,” begitu jawaban orang-orang yang mendukung hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba.

Pertama, jika hukuman mati adalah untuk membalas dendam mereka yang sudah meninggal dunia, maka hukuman itu bertujuan sekedar menghukum, bukan mencegah. Dalam hal ini, hukuman mati tidak ada gunanya (karena korbannya sudah terlanjur meninggal).

Kedua, jika hukuman mati adalah untuk mencegah jatuhnya korban, hukuman ini juga menjadi sia-sia karena faktanya hukuman mati tidak dapat mencegah jatuhnya korban narkoba (dari berbagai studi global untuk narkoba dan pembunuhan di Hong Kong, Singapura, Amerika Serikat). 

Kalau begitu, apa solusi untuk mencegah jatuhnya korban? 

1. Ketersediaan layanan kesehatan untuk rehab tanggung jawab pemerintah

2. Perbaikan lingkungan keluarga peran orang tua

3. Perbaikan pendidikan institusi pendidikan, guru, pemerintah

4. Peningkatan kesejahteraan hidup pemerintah

5. Penghapusan stigma sosial, dekriminalisasi peran masyarakat

Jika semua ini dijalankan dengan baik, angka 50 kematian per hari dapat ditekan secara signifikan. Portugal sudah melakukannya dengan sukses selama 15 tahun. 

Bandar (supply)

“Bukankah hukuman mati dapat memberi warning pada bandar internasional lainnya? Memberi efek jera? Menakut-nakuti?”

Nyatanya, bandar internasional masih beroperasi termasuk di negara-negara yang menerapkan hukuman mati. Tidak ada kepastian efek jera atau kesan takut yang ditimbulkan oleh hukuman mati dari berbagai studi global sejak 1900an. 

Nyatanya juga, sebagian dari terpidana mati di Indonesia dan Singapura “cuma” kurir, bukan si bos besar.

Sebagai alternatif, efek jera bisa diajari melalui proses rehabilitasi. Sedangkan lingkaran suplai bisa ditekan dengan: 

1. Menggagalkan distribusi internasional petugas imigrasi, kerja sama antar negara

2. Penyitaan aset/barang bukti bandar penegak hukum

3. Merehab para bandar terpidana petugas LP, NGO, pemerintah

4. Mewajibkan para bandar terpidana melakukan layanan sosial petugas lembaga pemasyarakatan (LP), pemerintah

5. Memastikan para bandar terpidana tidak bisa melanjutkan bisnisnya dalam penjara (pengawasan) petugas LP, pemerintah

6. Meminimalisir demand akan dengan sendirinya mengurangi supply kembali ke penanganan demand/korban. 

Akan lebih menguntungkan untuk mempekerjakan mantan bandar di lembaga-lembaga sosial atau pusat rehabilitasi. Artinya, bandar yang sudah “bertobat” bisa membantu para napi lainnya dalam proses rehab.

Hal ini akan memperkuat sistem rehabilitasi dan penyembuhan dari tingkat pengguna sampai bandar. Dengan kata lain, mantan bandar pun bisa ikut berpartisipasi menekan angka 50 kematian per hari.

Hukuman mati hanya akan merusak sistem rehabilitasi tersebut, karena tidak memberikan kesempatan bagi mantan bandar untuk ikut menyuburkan/membesarkan proses penyembuhan dalam penjara. 

Sistem hukum

Batu nisan Zainal Abidin. Foto oleh EPA

“Tapi bukankah ini adalah sistem hukum Indonesia yang tidak boleh diganggu gugat, apalagi oleh negara lain?” 

“Mereka secara sengaja melanggar hukum dan paham konsekuensinya.”

Saya sepakat bahwa kejahatan sebagian besar para terpidana sangat berat dan harus dihukum. Tapi jenis hukuman yang bagaimana?

Nyatanya, sistem hukum di semua negara itu berevolusi dan bisa direvisi/diubah/ditambah/dikurangi sesuai dengan zamannya. Jika memang hukuman mati tidak dapat menyelesaikan masalah, kenapa harus dipertahankan?

Mempertahankan sebuah hukum usang demi membuktikan “kedaulatan” bangsa adalah nasionalisme sempit. Kadang, ini akan terdengar seperti membela kepentingan negara lain, namun secara jernih ini adalah tentang kritik kepada sistem hukum Indonesia. 

Terdapat sejumlah kecacatan/kejanggalan sistem hukum dalam kasus eksekusi kali ini. Yang paling menonjol adalah: 

1. Kasus perdagangan manusia seperti Mary Jane Veloso yang belum diusut tuntas.

2. Peninjauan Kembali (PK) Zainal Abidin yang diajukan pada 2005 “terselip”, sedangkan yang diajukan pada 2015 diputuskan hanya dalam waktu beberapa hari saja.

3. Duo Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang diduga diperas oleh hakim untuk meringankan hukuman mereka. 

Karena sifat jenis hukuman mati yang absolut (sempurna), maka sistem hukum yang menjalankannya juga harus sempurna terlebih dahulu. Tidak masuk akal jika masyarakat memercayakan hukuman sejenis hukuman mati dilaksanakan oleh institusi atau sistem yang masih banyak kekurangan ini. 

Hubungan internasional

Seperti yang diramalkan banyak pengamat, hubungan internasional Indonesia mungkin tidak akan terkena dampak terlalu besar (secara ekonomi). Lagipula, memang terlihat arah politik luar negeri Presiden Joko “Jokowi” Widodo sedikit berbeda dengan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Penarikan duta besar-duta besar asing dari Jakarta juga tidak menjadi masalah. Banyak yang meramalkan, mereka akan kembali dengan sendirinya.

Yang akan menjadi masalah adalah ketika warga negara Indonesia terancam hukuman mati di luar negeri. Indonesia telah kehilangan alasan untuk memohon ampun kepada negara-negara ini. Contohnya, kasus TKI Siti Zaenab.

Pemerintah Indonesia hanya memprotes fakta bahwa tidak ada notifikasi eksekusi dari Saudi Arabia. Notifikasi yang dipermasalahkan! Fakta bahwa Siti Zaenab tetap dieksekusi dengan atau tanpa notifikasi, tidak dibahas oleh pemerintah Indonesia.

Kesimpulan

Melihat berbagai pertimbangan di atas, saya menyimpulkan beberapa hal seperti di bawah ini:

1. Hukuman mati adalah jalan pintas. Dia tidak berpengaruh kepada tingkat kriminalitas/narkoba di sebuah negara. Ini telah menjadi pandangan umum para ahli kriminolog ataupun badan pengawasan narkoba di dunia.

2. Penentang hukuman mati punya segudang alasan yang tidak diberi tempat di media massa. Bukan hanya membela hak asasi manusia, mereka lebih berusaha mengarahkan pemerintah Indonesia ke akar masalah yang sebenarnya, yaitu kesejahteraan dan layanan kesehatan.

3. Porsi pemberitaan media massa seharusnya lebih fokus pada akar masalah. Media seharusnya merongrong pemerintah dengan pertanyaan: Setelah hukuman mati, berapa pusat rehab yang akan dibangun? Berapa rumah sakit? Strategi meningkatkan kesejahteraan? Berapa dana yang dibutuhkan? Hingga ke angka berapa kematian per hari akan ditekan? Bagaimana progres program dekriminalisasi?

Fokus ke solusi nyata akar masalah harus menjadi lebih penting daripada sensasi hukuman mati.

Saya berusaha untuk tidak merasa kasihan ataupun simpatik terhadap para terpidana narkoba. Sebagai jurnalis, tugas saya adalah menelusuri sebuah kasus seobyektif mungkin, serta mengacu pada prinsip-prinsip yang kita sama-sama akui.

Berdasarkan penelusuran terhadap data dan statistik yang tersedia, saya menyimpulkan bahwa kurang bijaksana apabila kita serta merta mencap penentangan hukuman mati (atau setidaknya moratorium) sebagai agenda asing/barat.

Prinsip keadilan dan kemanusian bagi saya adalah lintas negara, lintas bangsa. Sebuah bangsa yang besar tidak menutup diri dalam keangkuhan (“Ini kedaulatan kami”), tapi juga mau membuka wawasan. —Rappler.com

Antonia Timmerman adalah seorang jurnalis di sebuah surat kabar harian di Jakarta. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!