Hari Kebebasan Pers, jurnalis tuntut kebebasan berekspresi

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hari Kebebasan Pers, jurnalis tuntut kebebasan berekspresi
Jurnalis mengutuk 8 kasus pembunuhan yang tak terungkap, 80 kasus kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di Internet, serta pembatasan akses di Papua.

MALANG, Indonesia — Badan dunia The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyerukan peringatan World Press Freedom  Day (WPFD), atau Hari Kebebasan Pers Dunia yang jatuh setiap tanggal 3 Mei. Pada tahun ini, UNESCO menetapkan tema “Let Journalism Thrive! Towards Better Reporting, Gender Equality, & Media Safety in the Digital Age”, atau menuju proses reportase yang lebih baik, kesetaraan gender, dan keselamatan media di era digital. 

Di berbagai daerah di Indonesia, kelompok jurnalis dari berbagai media nasional dan media lokal, mendukung peringatan ini, Minggu, 3 Mei 2015. Di Malang, Jawa Timur, contohnya, mereka mengutuk berbagai kriminalisasi pada pekerja pers, 8 kasus pembunuhan pada jurnalis yang tak terungkap, 80 kasus kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di Internet, serta pembatasan akses jurnalis di Papua.

“Kami sangat prihatin, di era pers digital dan kebebasan pers yang dirayakan seluruh dunia, masih ada bentuk pengekangan kebebasan baik di lingkungan kampus hingga di Papua,” kata Muhammad Zulfikar Akbar, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, yang ikut dalam aksi. 

Zulfikar adalah salah satu mahasiswa yang merasakan mudahnya menjadi jurnalis di era digital seperti saat ini. Dia dan sekitar 13 temannya mendirikan situs independen bernama mediamahasiswa.com. Meskipun dikelola oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Malang, namun media ini menyebut diri sebagai media independen yang membiayai operasional dari berbagai pemasukan di luar bantuan dana dari kampus ataupun organisasi milik pemerintah. 

“Kami sudah tiga tahun berdiri, total ada 50 orang, 13 di antaranya adalah pengurus. Pemasukan utama kami adalah iuran bulanan dengan besaran Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu per bulan,” kata Zulfikar yang menjabat sebagai Direktur Utama di Media Mahasiswa.

Pengekangan kebebasan berekspresi dalam kampus

Di sisi lain, pengekangan berekspresi juga masih banyak terjadi di wilayah kampus. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dianns di Fakultas Ilmu Administrasi terus mendapat perlawanan dari pihak kampus Universitas Brawijaya ketika memutar dua film independen beberapa waktu lalu, Samin vs Semen dan Alkinemokiye

Kegiatan pemutaran film dibubarkan paksa oleh pihak keamanan setempat ketika LPM tersebut melakukan bedah film tepat pada perayaan Hari Buruh, 1 Mei 2015 silam.

“Acara kami dibubarkan dengan paksa oleh petugas keamanan, sebelum pukul 21:00 malam, saat itu kami belum sempat memutar dua film itu hingga tuntas,” kata Incan, panitia acara bedah film Samin vs Semen dan Alkinemokiye.

(BACA: Universitas Brawijaya larang pemutaran dokumenter ‘Samin vs Semen’, ‘Alkinemokiye’)

Sebelumnya, mahasiswa sempat berencana untuk melaporkan oknum fakultas pada Komnas HAM dan Ombudsman RI, setelah mendapatkan kesulitan dan initimidasi saat mengajukan acara bedah film pada April. Namun rencana melaporkan itu urung dilakukan.

Soal pembubaran itu, juru bicara Universitas Brawijaya Anang Sujoko menyebut terjadi kesalahan waktu pelaksanaan. Mahasiswa, menurutnya, telah melakukan kegiatan di luar jadwal yang sudah disepakati. “Sebelumnya sudah sepakat pemutaran tanggal 5 Mei, tapi tiba-tiba mereka mengajukan lagi,” kata Anang, Minggu, 3 Mei.

80 kasus kriminalisasi

Aksi Hari Pers Internasional di kota Malang, Jawa Timur, Minggu 3 Mei 2015. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Aliansi Jurnalis Indepen (AJI) Malang menambahkan, berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform sejak tahun 2008, sudah ada sekitar 80 kasus kriminalisasi atas warga negara yang mengeluarkan pendapat atau ekspresi di ranah Internet. Korban kriminalisasi itu datang dari berbagai latar belakang profesi, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, aktivis, wartawan, dan pengacara. “Sudah ada ketakutan dari narasumber ketika diwawancara media online karena ‘pasal karet’ UU ITE itu,” kata Ketua AJI Malang, Eko Widianto, Minggu.

Selain kriminalisasi lewat Internet, upaya kriminalisasi dari aparat kepolisian masih banyak menimpa pekerja media. Misalnya, kasus penetapan tersangka atas Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat pada awal Desember 2014 atas penayangan karikatur. Meskipun kasus sudah ditangani oleh Dewan Pers, namun status tersangka tak pernah dicabut meskipun Dewan Pers sudah melayangkan surat bahwa kasus itu merupakan ranah Undang-Undang Pers. 

(BACA: Jakarta Post chief editor named blasphemy suspect)

Perlakuan buruk polisi juga menimpa jurnalis Tribun Lampung, Ridwan Hardianyah. Ridwan yang juga Sekretaris AJI Bandar Lampung tiba-tiba ditangkap dan digeledah rumahnya pada Rabu, 4 Maret 2015, lalu tanpa ada surat perintah penangkapan. Belakangan diketahui, polisi salah orang. Namun peristiwa ini terlanjur membuat korban trauma bertemu polisi sehingga mengganggu kerja-kerja jurnalistik Ridwan. 

“Belum lagi kasus Udin, sudah 18 tahun kasus terbunuhnya jurnalis harian Bernas Yogyakarta, tidak terungkap sampai saat ini,” lanjut Eko. 

Total, sampai hari ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis ada delapan kasus pembunuhan jurnalis tanpa ada pengusutan terhadap pelaku. 

Tujuh jurnalis lainnya adalah:

  1. Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997)
  2. Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999)
  3. Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003)
  4. Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003)
  5. Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006)
  6. Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010)
  7. Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).

Polisi musuh kebebasan pers 2015

Dengan demikian, AJI juga menetapkan Kepolisian sebagai musuh kebebasan pers 2015. Bertumpuknya berbagai kasus pembunuhan pada jurnalis yang tak terungkap dan kriminilisasi yang terus terjadi menjadi salah satu indikator polisi telah gagal mereformasi diri sebagai sebagai pelayan dan pengayom publik. 

“Ini adalah kali ke empat Polisi menjadi musuh kebebasan pers sejak tahun 2007 lalu. Presiden Joko Widodo harus melakukan reformasi besar-besaran kepolisian untuk berubah,” kata Eko.

(BACA: Kekerasan terhadap jurnalis semakin parah di 2014)

Selain itu, kebebasan pers tahun ini juga belum berlangsung di seluruh nusantara. Di Papua misalnya, kebebasan pers masih terkekang. Lembaga clearing house telah dipakai untuk membatasi akses setiap jurnalis asing yang ingin meliput di Papua. Setiap jurnalis asing yang berhasil mendapat akses liputan ke Papua, kerap dikuntit atau dikawal dalam melakukan pekerjaannya sehingga jurnalis tidak leluasa dalam menjalankan tugas publiknya. 

Jurnalis lokal pun kerap mendapatkan intimidasi dan bahkan terdapat beberapa kasus pembunuhan atas jurnalis. “Keterbukaan akses jurnalis di Papua justru akan memberikan informasi yang lebih kredibel dan dapat dipercaya, dapat pula menjadi mata dan telinga terpercaya bagi pemerintahan Indonesia,” ujar Eko. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!