Permasalahan guru honorer yang tak kunjung selesai

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Permasalahan guru honorer yang tak kunjung selesai
Gaji terlambat, pengangkatan status jadi PNS yang tak kunjung datang, dan berbagai masalah lainnya. Apakah akan ada perbaikan?

JAKARTA, Indonesia — Permasalahan guru honorer masih jadi momok bagi pendidikan Indonesia. Apa solusi dari pemerintah?

Sudah sejak lama permasalahan guru honorer membayangi wajah pendidikan Indonesia. Mereka yang bertugas mendidik siswa merasa tidak diperhatikan pemerintah. Gaji yang tidak memadai, pengelolaan yang amburadul, hingga pengangkatan status yang tak kunjung jadi. 

Di Purwakarta, Jawa Barat, misalnya, 6.000 guru honorer dipastikan tidak akan diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan alasan tidak ada dana untuk menggaji mereka.

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) harus menyediakan Rp 60 miliar per bulan bila semua guru honorer diangkat jadi PNS.

“Terus terang, itu akan sangat membebani APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” ucap Dedi, Selasa, pada Tempo. Padahal, Pemkab masih harus membangun infrastruktur, menyediakan pelayanan kesehatan, dan lain-lain.  

Dedi berkata pihaknya mungkin hanya bisa mengangkat sekitar 500 guru honorer menjadi guru honorer tetap daerah dengan upah maksimal Rp 1,5 juta per bulan.

Jumlah tersebut ternyata masih lebih rendah daripada upah buruh, dan ini tidak hanya terjadi di Purwakarta.

“Sebulan honor dari uang sertifikasi itu hanya Rp 1,5 juta. Nilai ini jauh lebih sedikit dari gaji buruh di Makassar yang sesuai UMK (upah minimum kabupaten) sebesar Rp 2,075 juta,” kata Dahlan Sulaiman, guru honorer sekaligus Kepala Sekolah Madrasah Aliah Mukminin Muhammadiyah, Makassar, pada Okezone.

Gaji tersebut pun terkadang masih sering terlambat turun, 

Tunjangan profesi guru (TPG) pun menjadi permasalahan lain. Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo mengatakan guru-guru non-PNS di sekolah negeri terancam tidak mendapatkan tunjangan tersebut. Pedoman pencairan TPG dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengatur hanya guru PNS dan guru tetap yayasan yang bisa mendapatkannya.

“Guru swasta di sekolah negeri posisinya tidak jelas. Kita tidak sepakat dengan kriteria Kemendikbud itu,” kata Sulistyo, Selasa, pada JPNN.

“Pemerintah jangan menyia-nyiakan guru honorer. Apalagi jumlahnya mencapai 1,4 juta orang. Ada yang gajinya hanya Rp 200 ribu per bulan. Itu tidak manusiawi.”

‘Diberikan harapan, bukan perubahan nasib’

Dalam wawancara dengan Rappler, Sabtu, 2 Mei 2015, Anies mengatakan bahwa permasalahannya tidak sesederhana itu. Semua ribut-ribut ini bermula dari tata kelola dan sistem perekrutan yang tidak sinkron antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat.

“Sesudah otonomi daerah, otoritas pendidikan itu ditransfer ke kabupaten. Mulai tahun depan, provinsi mengelola SMA dan SMK. Itu termasuk pengelolaan gurunya. Jadi guru honorer, guru tetap, itu semua diaturnya lewat Pemda. Tapi kalau ada masalah, guru pasti merujuknya ke Kemendikbud. Ada satu kabupaten yang merekrut ribuan guru honorer, sebagian cuma mengajar 1-2 mata pelajaran,” kata Anies. 

“Ketika ada masalah, semuanya nanyanya ke kita. Pak, gimana? Aduh, nah, di sini letak yang harus kita bereskan, jadi kita ingin ada penataan,” lanjutnya.

Menurut Anies, saat ini Kemendikbud sedang melakukan sebuah proses sinergi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan untuk mengatur PNS Daerah, utamanya guru-guru.

“Kita ingin jangan sampai rekrutmen guru honorer itu dilakukan tanpa ada kontrol. Kasihan sekali guru-gurunya. Mereka diberikan harapan, tapi tak pernah diberikan perubahan nasib. Jadi ini memang harus kita bereskan,” kata Anies.

Distribusi guru yang tidak merata juga akan diperhatikan oleh Kemendikbud.

“Di sisi lain, distribusi guru nggak merata. Jadi, yang disebut kelebihan guru itu di banyak tempat, yang kekurangan juga banyak. Mengatur itu juga membutuhkan guru untuk mau berada dimana mana,” katanya.

“Jadi kami ada keinginan untuk memperbaiki tata kelolanya. Kalau tata kelolanya baik, Insya Allah hasilnya juga baik,”  pungkasnya.—Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!