SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
KUALA LANGSA, Indonesia — Somida Hatul bukan remaja lagi meski umurnya baru 15 tahun. Gadis seusianya seharusnya sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah bersama teman sekelas.
Tapi, pengungsi asal Myanmar yang terdampar di tempat pengungsian Kuala Langsa, Aceh, ini justru sedang sibuk menimang bayinya, Muhammad Mahi, yang baru berumur 4 bulan.
“Saya ingin bertemu suami,” katanya melalui penerjemah pada Rappler, Sabtu, 16 Mei.
Ia menuturkan bahwa suaminya saat ini berada di Malaysia. Itulah alasan perempuan beretnis Rohingya ini nekat menyeberang ke Malaysia meski dengan risiko kelaparan di tengah laut.
“No food, no drink (Tidak ada makanan, tidak ada minuman),” katanya.
Nasib yang sama juga dialami para pengungsi perempuan lainnya asal Myanmar. Seperti Thoyyiba, 20 tahun, bersama anaknya yang masih balita. Ia juga mengaku nekat berlayar ke Malaysia karena ingin bersatu dengan keluarganya yang sudah lebih dahulu hijrah.
Masih banyak lagi pengungsi Rohingya lainnya yang beralasan ingin bersatu dengan keluarga mereka di Malaysia. Mereka pun rela mengarungi lautan selama 3 bulan.
Seperti Nurul Jannah (13 tahun), Sahinur Begom (20 tahun), Nurhabbah (16 tahun), dan Shakkara Bibi, (14 tahun).
“Brother, brother, brother, Malaysia,” kata Shahakkara Bibi pada Rappler. Rupanya ia ingin bertemu dengan kakaknya di Malaysia.
Menempuh maut demi suami
Rukiyah Hatul, 20 tahun, pengungsi Rohingya asal Myanmar, adalah seorang pengungsi yang bisa menjelaskan lebih lengkap tentang upaya mereka menyeberang lautan demi bertemu sanak keluarganya di Malaysia.
Rukiyah menuturkan dalam bahasa Melayu yang terbata-bata bahwa di dalam rombongan maut tersebut sebenarnya ia tak sendiri. Ia menyeberangi lautan bersama ayah dan kakak laki-lakinya. Tapi keduanya tak bisa bertahan karena kelaparan.
“Ayah saya mati, abang mati, semua orang mati, semua orang. Tak ada makan, tak ada minum,” kata Rukiyah.
Keadaan itu, katanya, berlangsung selama 3 bulan. Lalu nasib rombongan semakin naas ketika mesin perahu mati, dan kapten kapal malah melarikan diri. “Kapten pergi. Makanan dan minuman dibuang,” katanya.
Rombongan perahu itu kemudian berjumpa dengan anggota TNI AL di laut. “Indo, tolonglah,” katanya terisak. Tapi TNI AL yang sedang berpatroli tersebut tak memberikan tumpangan.
Ia hanya bisa menangis sambil memeluk kedua putranya yang masih berumur 7 tahun dan 4 bulan. “Orang mati,” katanya sambil mengulang kata “mati”.
Mimpi reuni keluarga
Penuturan para pengungsi Rohingya Myanmar ini berbeda dengan pengungsi Bangladesh. Sebelumnya pengungsi Bangladesh yang terdiri dari para pemuda yang ingin mencari pekerjaan.
(BACA: Pengungsi Bangladesh: No job in my country)
Tapi di barak pengungsi Rohingya akan banyak dijumpai perempuan-perempuan, yang juga masih muda, sedang menimang anak-anak mereka.
Mereka adalah para istri yang ingin bertemu suaminya, atau seorang adik yang ingin bertemu dengan kakaknya.
Rinku Islam, seorang pengungsi Bangladesh, membenarkan hal ini. “Myanmar is kids, women, and men (Rombongan Myanmar dipenuhi oleh anak-anak, wanita, dan pria),” katanya dalam bahasa Inggris seadanya. “Bangladesh no kids. All is men (Tak ada balita di rombongan Bangladesh, semua laki-laki).”
Kondisi para perempuan dan anak-anak ini pun lebih rentan dari para pengungsi Bangladesh. “Anak-anak dehidrasi,” kata Kepala Puskesmas Langsa Barat Ayu Arlinta pada Rappler.
Hingga berita ini dibuat, para pengungsi perempuan masih menunggu kesempatan dan jalan untuk bertemu dengan keluarga mereka di Malaysia. Akankah pemerintah Malaysia membuka jalan untuk mereka? —Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.