Pembangunan infrastruktur dan logika hidup kelas menengah

Kokok Herdhianto Dirgantoro

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pembangunan infrastruktur dan logika hidup kelas menengah
Belajar dari membangun infrastruktur yang baik untuk hidup kita sendiri. Apa saja tipsnya?

Sama dengan rezim sebelumnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo pun mengedepankan pembangunan infrastruktur sebagai the name of the game di periode beliau berkuasa. Sudah banyak diberitakan bakal ada 35 ribu MW pembangkit listrik, percepatan pembangunan jalan, tol Sumatera, 40-an waduk besar, 10 pelabuhan baru dan perluasan, dan masih banyak lagi.

Tapi nasib pembangunan infrastruktur hari ini sungguh seperti pacaran jarak jauh (long distance relationship/LDR): Serba salah. Apapun yang dilakukan salah saja pokoknya. 

Untuk membangun pembangkit listrik, per 1 MW butuh 1 juta hingga 1,5 juta dolar Amerika Serikat. Berarti sedikitnya butuh US$35 miliar untuk mengerjakan pembangkit listrik saja. Modal membangun 30 persen, sisanya pinjaman. Untuk buat satu waduk besar bisa berbiaya Rp 3 triliun – 7 triliun. Pendek kata, untuk membangun infrastruktur butuh ribuan triliun rupiah. Tantangan tersendiri untuk mencukupinya. Apalagi dengan ruang gerak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sungguh terbatas.

Tapi upaya untuk mencukupinya selalu banyak dicerca. Misal, menyuntik modal badan usaha milik negara (BUMN) agar punya ekuitas lebih kuat, lebih mudah mencari dana murah untuk mengerjakan proyek infrastruktur. Dicerca sebagai bentuk subsidi kepada perusahaan, mengapa uangnya tidak untuk rakyat saja. 

Berikutnya mengundang investor asing. Sama juga dipersalahkan. Mengapa semua diberikan ke Tiongkok? Indonesia negara kaya, kita bisa bangun dengan kekuatan sendiri. Demikian kata para aktivis jempol yang marak di linimasa Twitter maupun Facebook saya. Iya, pendekar jempol perkasa yang sama yang sudah omong gede kemana-mana bahwa Jokowi bakal diturunkan tanggal 20 Mei. Ternyata benar Jokowi turun — turun dari mobil.

Jadi suntik modal ke BUMN tidak boleh, undang investor yang tertarik membangun infrastruktur tidak boleh, membangun menggunakan APBN ruang fiskalnya terbatas. Sama kan dengan nasib LDR. Kangen mau ketemu berat di ongkos, telepon/BBM/mention tidak buru-buru dijawab langsung cemburu buta, mau putus tidak tahan di-bully sebagai jomblo. Sungguh infrastruktur dan LDR sama rumitnya.

Apakah saya sepakat pembangunan infrastruktur? Jelas saya sepakat. Banget. Apakah saya sepakat LDR? Itu tidak usah dibahas.

Pembangunan infrastruktur dapat menurunkan biaya logistik dari 24% hingga 27% ke level yang lebih rendah. Dengan demikian, distribusi barang dapat lebih merata dengan deviasi harga yang tidak terlalu tajam. Ekonomi dapat berjalan lebih efisien. Biaya logistik yang makin efisien membuat ekonomi tumbuh makin sehat dan beban masyarakat berkurang. 

Omong-omong, ada loh yang nanya ke saya. “Mas, kita kok ribut biaya logistik. Kan sudah ada Bulog. Itu kan badan urusan logistik. Mengapa harus bangun infrastruktur demi logistik yang seharusnya sudah jadi tanggung jawab Bulog?” 

Sumpah, kawan saya nanya dengan muka serius dan menatap saya seolah mengesankan saya tidak mengerti urusan logistik. Entah siapa yang kurang waras.

Pembangunan infrastruktur juga memberikan dampak multiplier (pengganda ekonomi) yang besar. Kemarin sempat bertemu pelaku bisnis yang mengaku pernah menghitung dampak awal ketika pembangunan infrastruktur saja sudah besar. Misal membangun jalan Trans Sumatera. Per tahapan jalanan misalnya 25km-30km bisa melibatkan 50 puluh ribu pekerja. Berarti belanja makanan-minuman pekerja selama masa proyek dibangun akan meningkatkan ekonomi sekitar. Quarry batu split, tanah urugan di dekat lokasi proyek juga akan terjual. Demikian juga penjualan semen, baja, dan lain-lain untuk kebutuhan konstruksi. Itu semua belum termasuk dampak langsung saat infrastruktur terbangun. Saya manggut-manggut mendengar penjelasan beliau.

Sama juga dengan era mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), masa Jokowi juga dipenuhi kegiatan peletakan batu pertama alias groundbreaking. Bukan suatu hal salah jika rezim menunjukkan ini lho yang ingin kita bangun, walau baru seremonial belaka. Setelah itu baru dikebut pembangunannya. Eh, kemudian molor atau malah dibatalkan.

Kita acap kali terpana dengan gelegar slogan pembangunan infrastruktur, tapi lupa melihat-lihat lagi lebih rinci. Misal, membangun jalan tol dibutuhkan 1% jaminan pelaksanaan dan 5% jaminan tanah. Setelah itu dibutuhkan bukti sudah Financial Close (FC) dengan pihak perbankan/institusi keuangan lainnya. 

Last but not least, pengucuran modal bertahap sesuai progress proyek. Ada yang tahu pembangunan Trans Jawa terhambat dimana? FC terjadi 2006-2007 ternyata sampai hari ini tak terbangun juga itu jalan tol. Para pendukung Jokowi biasanya akan berkilah: itu kan dulu mas. Sekarang kan presidennya beda. Yo wes sak karepmu.

Sama juga dengan waduk. Dilakukan pembangunan waduk untuk pengairan sawah. Kondisi pengairan tersier 52% rusak parah. Tapi produksi padi Indonesia bisa bagus sekali. Mencapai 70-an juta gabah kering giling per tahun atau di atas 30 juta ton per tahun. Padahal irigasinya rusak parah. Kadang saya bertanya apakah 40-an lebih waduk itu sungguh-sungguh diperuntukkan petani atau sebuah proyek infrastruktur besar yang kemudian mubazir.

Juga sama dengan pembangunan listrik. Jika benar 35 ribu MW terbangun, berarti mendekati pertumbuhan 80% selama 5 tahun. Almost double our capacity today. Benarkah kebutuhannya sebanyak itu? Moga banyak orang yang pintar manajemen risiko di sekitar presiden untuk mengawal hal ini.

OK, cukup nyinyirnya. Mari kita kembali ke diri kita sendiri sebagai kelas menengah yang harusnya sadar diri. Mari belajar dari membangun infrastruktur yang baik untuk hidup kita sendiri. Tentunya ini bukan sindiran kepada rezim atau bahkan ajakan demo menurunkan rezim.

Mata uang rupiah mencapai titik terendah, hampir Rp 13,000 per dolar AS, terburuk sejak krisis moneter 1998. File photo by AFP

Tahu diri

Mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri adalah hal penting dalam membangun ‘infrastruktur’ di sekitar kita. Tahu diri membuat kita sadar posisi, berapa pendapatan kita, berapa pengeluaran kita, berapa yang harus disisihkan untuk masa depan, apa yang harus dihemat.

Tahu diri membuat kita tidak memaksakan diri mengikuti lifestyle yang belum tentu cocok dengan diri kita sendiri. Agak susah menjelaskannya. Begini deh sederhananya. Saya punya 2 teman, sebut saja biar tidak fitnah, @suwandiahmad dan @paringwaluyo. 

Wandi memiliki mertua kaya yang memberinya keleluasaan liburan ke luar negeri sementara Paring memiliki warisan kebun yang luas dari kakek dan ayahnya. Paring membangun rumah kos 50 pintu di 4 kota yang berbeda secara berbarengan. Saya tahu diri. Walau saya sudah berteman 20 tahun dengan mereka, tak mungkin saya ikuti gaya hidup mereka. Saya harus kerja keras memenuhi kebutuhan hidup saya dan keluarga.

Dengan tahu diri, kita jadi mampu mengelola hidup kita lebih woles. Tak perlu punya impian terlalu tinggi. Hati-hati dengan mimpi dan bicara terlalu tinggi, nanti kita bisa tertabrak pesawat atau tercabik balik-baling helikopter. 

‘First things first’

Selalu pikirkan ini dalam setiap langkah anda. Terutama saat masuk tempat belanja. Dahulukan belanja produk yang sungguh-sungguh anda butuhkan. Setelah itu secepatnya pulang. Jangan pakai cuci mata di tempat belanja. Apalagi yang lagi carmuk sama gebetan. Itu adalah kesalahan besar.

Pikirkan saja kebutuhan pokok anda. Sandang, pangan, papan. Banyak pemborosan sandang, pangan terjadi. Kapan terjadinya? Bisa kapan saja, dimana saja dan dimulai dengan hal tak tertuda misalnya: Ih, coklatnya lucu banget bentuknya, baju itu keren pasti kalau aku pakai, sepatu warna pink ini pasti bikin cewek tergila-gila kepadaku, dll. Btw, tentang sepatu pink itu diucapkan @arman_dhani.

Berpikir first things first ini membuat kita bersiasat setiap bulan saat belanja. Catat kebutuhan Anda yang urgent dan important. Jangan pernah belanja bulanan tanpa membawa catatan. Bisa malah yang penting tidak terbeli, eh yang dibeli barang diskonan yang ternyata sampai rumah baru kita sadar kalau kita tak membutuhkannya.

Dengan selalu mengedepankan first things first, isi hidup kita adalah sederhana: Dahulukan yang penting, yang penting didahulukan. Kunci semua pengeluaran hanya pada yang penting. Sisanya tabungkan untuk kepentingan strategis jangka panjang anda. Misalnya menabung untuk asuransi pendidikan anak, membeli rumah yang lebih luas, berangkat haji, bahkan poligami. #plak #digamparistri

Hindari mubazir atau berpikir terlalu jauh

Siapa yang tidak ingin punya infrastruktur yang meringankan hidup kita, membuat kita lebih nyaman menjalani hidup, serta berentet kebahagiaan lainnya. Semua pasti ingin. Ini perlu dipikirkan tapi jangan berlebihan karena malah menjadi beban di masa depan.

Misal pasangan muda dengan pendapatan rata-rata bersama Rp 15-20 juta  yang masih tinggal bersama orang tua di satelit ibukota. Mereka ingin punya rumah luas 200 meter persegi di kompleks yang dibangun developer ternama. Rumah harus punya 5 kamar tidur dan ada taman bermainnya. Keinginan memiliki rumah dipicu oleh cita-cita mereka memiliki tiga anak dimana hari itu belum punya.

Apakah keinginan ini salah?  Menurut mereka tidak. Karena keinginan mereka demi masa depan yang akan dijalani. Harga rumah dengan luas 200 meter persegi hari ini di satelit Jakarta sudah Rp 2 miliar bahkan lebih. Untuk mengumpulkan uang muka 30% saja — sekitar Rp 600 juta — mereka butuh 30 bulan menabungkan seluruh pendapatan mereka hanya untuk uang muka, di mana sangat tidak mungkin terjadi karena sebagian pendapatan pasti diperuntukkan kebutuhan sehari-hari.

Jikapun dibantu orang tua untuk memenuhi uang muka — dari lahir sampai menikah bahkan punya anak, terus-terusan merepotkan orang tua rasanya sudah menjadi budaya kelas menengah yang tak tahu malu — cicilan rumahnya juga tidak murah. Bisa jadi di atas Rp 25 juta per bulan. Lebih tinggi dari income pasangan tersebut.

Harusnya berpikir jangka menengah saja dulu. Bertahap dengan mendahulukan yang penting. Memilah rumah yang pantas dan sesuai keuangan. Yang penting menunjang keperluan mendasar untuk istirahat, aman, nyaman, dekat dengan transportasi publik, dekat orang tua mungkin (jaga-jaga kalau belum gajian duit sudah habis), dan alasan lainnya. Tidak usah besar. Ukuran 60m persegi pun cukup. Nanti saat ekonomi bertahap meningkat dan anak sudah lahir mulai berpikir pindah rumah yang lebih besar, dekat dengan sekolah, rumah sakit dan fasilitas publik lainnya.

Sama dengan membangun infrastruktur, mengelola hidup kita pun sama. Dasarnya adalah kebutuhan yang mendesak, memilih prioritas, dan benar-benar memahami kemampuan kita. Tanpa dasar yang tepat yang diperoleh justru beban untuk negeri ini.

Misal membangun tol. Semua dipercepat. Pembebasan lahan didukung pemerintah,  bank kasih pinjaman bunga khusus, pendek kata semua dilakukan secepat kilat. Tapi semua disusun atas kepentingan proyek terbangun. Tidak dilengkapi informasi yang memadai mengenai lalu lintas harian rata-rata (LHR. Sekali lagi LHR. Bukan LDR). Apa yang terjadi saat jalan tol yang dibangun dengan utang memiliki LHR jauh di bawah prediksi? Pendapatan yang tidak sesuai. Apa rentetan berikutnya? Cicilan bunga dan pokok ke kreditur bisa terancam. Jika pinjaman macet maka sektor keuangan mengalami lonjakan NPL yang besar. Jalan mubazir itu akan menjadi beban daripada solusi penurunan biaya logistik.

Sama juga dengan membangun rel kereta, listrik, pipanisasi, pengairan dan sebagainya. Semua dibangun dengan uang ribuan triliun secara bersamaan. Benarkah semua urgent dilakukan bersamaan? Apakah tidak perlu dibuat kajian lagi mana yang benar-benar dibutuhkan?

Indonesia ladang mencari uang dengan selembar surat penunjukan. Hanya dengan menunjukkan selembar penunjukan seseorang sudah bisa gede omong kemana-mana: saya akan bangun tol, waduk, jalan, bandara, pelabuhan dan lain-lain. Ternyata dia tak punya modal. Dijuallah surat penunjukan itu ke yang punya modal. Tanpa susah payah dapat uang. Sudah sering terjadi. Jangan sampai maraknya pembangunan infrastruktur menjadi ajang berebut surat penunjukan lalu ramai-ramai menjualnya. —Rappler.com

Kokok Herdhianto Dirgantoro adalah mantan wartawan, mantan karyawan bank. Kini ia mengelola kantor konsultan di bidang komunikasi strategis. Meski demikian, Kokok sangat berminat belajar seputar isu ekonomi. Gaya menulisnya humoris, tapi sarat analisis. Follow Twitter-nya @kokokdirgantoro.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!