SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia— Tak cukup membatasi apa yang boleh dan tak boleh dikenakan perempuan, Pemerintah Aceh juga membatasi gerak perempuan dengan menetapkan jam malam bagi mereka.
Kalau dulu jam malam hanya merupakan batasan yang ditetapkan orang tua, kini pemerintah menjadikan jam malam otoritas mereka. Sekarang perempuan tak boleh berkeliaran di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya di atas pukul 10 malam.
Khusus untuk Banda Aceh, akan ada keringanan mengingat posisinya sebagai ibukota.
Jam malam, karoke ga boleh campur cewe-cowo, terus nanti ruang kelas di pisah juga, terus ada Banda Aceh for man sama for woman kayak parfum
— Teuku Ilham Rabbani (@Ilham_Rabbani) May 29, 2015
“Mereka ini diperbolehkan hanya hingga pukul 11 malam. Dan ini disesuaikan dengan aturan ketenagakerjaan. Jika ada mempekerjakan lewat jam 11, bisa dicabut izinnya,” kata Walikota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal, Rabu, 3 Juni, pada media.
Namun, keringanan ini hanya berlaku bagi mereka yang bekerja di kafe, pusat perbelanjaan, dan yang jam kerjanya mengharuskan masuk hingga larut. Kalau perusahaan nekat menyuruh pekerja perempuan bekerja hingga lebih malam, pemerintah akan mencabut izinnya.
Illiza juga mengklarifikasi peraturan tersebut setelah dihujat netizen di media sosial dengan tagar #BandaAcehMasukAkal. Ia menjelaskan bahwa peraturan dibuat oleh gubernur, bukan dirinya, sehingga ia tak bisa berbuat apa-apa selain memperpanjang jam keluar sesuai kondisi kota Banda Aceh.
Mengapa Aceh perlu pengaturan jam malam? Jawabannya klasik: “untuk melindungi perempuan”. Namun, apakah betul ini bentuk affirmative action yang tepat untuk melindungi perempuan?
Kasihan perawat cewek yg masuk malam di Aceh. Apa moral cewek diukur dr jam brapa dia udah dirumah? #BandaAcehMasukAkal
— Christian Agatha (@theRealKennd) May 28, 2015
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpendapat bahwa aturan ini adalah bentuk diskriminasi bagi perempuan Aceh.
“Kalau kita bicara dalam Undang-Undang Dasar, laki-laki dan perempuan punya hak yang sama, termasuk dalam hak politik dan berekspresi. Artinya, kalau pemerintah sudah memilahkan jam bagi perempuan artinya ini diskriminasi karena ada pembatasan,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah, Kamis, 4 Juni.
“Niatnya melindungi, tapi ini bukan melindungi. Bagaimana dengan perempuan yang pekerjaannya sampai malam seperti aktivis politik atau jurnalis? Ini bukan saja membatasi ekonomi, tapi juga hak berekspresi, apalagi kalau kita lihat, pengambilan keputusan sering terjadi di malam hari.”
Lalu, sejauh mana harusnya pemerintah melindungi perempuan, tanpa bersikap otoriter?
Menurut Masruchah, untuk melindungi perempuan, pemerintah tidak boleh hanya fokus pada perempuan dan melupakan pihak laki-laki.
“Kalau pemerintah melihat perempuan berpotensi menjadi korban kekerasan, harusnya mereka mendidik yang berpotensi jadi pelaku. Jangan perempuan yang sudah jadi korban dikorbankan kembali,” ujarnya.
“Sekarang, niatnya melindungi tapi tidak melindungi. Apakah selama ini pemerintah mengajak perempuan bicara? Jangan mengambil keputusan sepihak dari kacamata laki-laki saja.” —Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.