Serba-serbi dana aspirasi DPR RI: Pemerataan atau akal-akalan?

Miryam Joseph Santolakis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Serba-serbi dana aspirasi DPR RI: Pemerataan atau akal-akalan?
DPR mengusulkan ‘dana aspirasi’ dalam RAPBN 2016. Besarannya, Rp 20 miliar per anggota per tahun. Langkah DPR ini menuai penolakan. Apa sebabnya?

JAKARTA, Indonesia — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan dana aspirasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Besarannya, Rp 20 miliar per anggota per tahun.

“Ini sedang diusulkan supaya bisa masuk di APBN 2016,” kata Ketua Badan Anggaran DPR Ahmadi Noor Supit, Selasa, 9 Juni.

Dana aspirasi merupakan alokasi APBN untuk program pembangunan hasil usulan anggota dewan di daerah pemilihan (dapil) si anggota. Dana ini berbeda dengan dana reses yang saat ini sudah didapat oleh anggota dewan untuk dapil masing-masing.

Langkah DPR ini segera menuai penolakan dari Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). FITRA memiliki tiga alasan yang melandasi penolakan mereka.  

Pertama terkait wewenang anggota DPR untuk mengelola dan mengimplementasikan anggaran negara.

“Kami menolak dana aspirasi senilai Rp 11,2 triliun dalam APBN 2016. Alasan penolakan karena DPR tidak berhak mengelola dan mengimplementasikan anggaran negara untuk dapil,” kata Koordinator Advokasi dan Investigasi FITRA Apung Widadi.

Kedua, FITRA menilai program ini akan tumpang tindih dengan alokasi APBN ke struktur anggaran daerah dalam bentuk Dana Alokasi Khusus; Dana Alokasi Umum, dan Dana Desa.

Ketiga, alokasi APBN untuk dana aspirasi DPR menurut FITRA merupakan sebuah bentuk pemborosan.

Demi pemerataan

Wakil Ketua Tim Mekanisme Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) M. Misbakhun memiliki jawaban tentang latar belakang mengapa DPR mengusulkan diadakannya dana aspirasi ini.

Politisi Partai Golkar ini menjelaskan bahwa dana aspirasi merupakan bagian terintegrasi dari strategi pemerataan pembangunan nasional.

Mekanismenya, setiap anggota DPR bisa mengusulkan program-program pembangunan di daerah pemilihannya kepada pemerintah. Usulan ini dibuat oleh anggota berdasarkan hasil observasi mereka terhadap belum meratanya proses pembangunan di daerah pemilihan masing-masing.

“Dengan adanya program pembangunan yang diusulkan oleh anggota DPR di daerah pemilihannya tersebut maka diharapkan penyebaran dan pemerataan pembangunan dan program-program yang dikeluarkan oleh pemerintah bisa lebih menyebar merata ke seluruh pelosok tanah air,” kata Misbakhun.

“Dan berdasarkan sumpah jabatan anggota DPR juga ada keharusan anggota DPR memperjuangkan pembangunan di daerah pemilihannya,” ucapnya.

Lebih jauh Misbakhun mengatakan hadirnya dana aspirasi dapat menjadi insentif agar para anggota dewan benar-benar menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik. Pasalnya anggota dewan akan terdorong untuk berperan serta dan berpartisipasi aktif mengawal program pembangunan yang mereka usulkan.

‘Dana aspirasi tak mungkin diselewengkan’

Meski demikian, juga terdapat kekhawatiran lain yang meliputi bagaimana jika ada anggota yang ‘bandel’ dan menyalahgunakan dana aspirasi. 

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengklaim bahwa alokasi dana aspirasi anggota dewan sebesar Rp 20 miliar per tahun tidak mungkin bisa diselewengkan oleh oknum anggota.

Terdapat sejumlah faktor yang menjadi landasan keyakinan Asrul. Salah satunya adalah proses alokasi yang harus akuntabel dan tidak bisa sembarangan. “Kalau sekarang datang bawa proposal, dilihat apakah bisa masuk ke dalam program pembangunan pemerintah,” kata Asrul.

“Ini beda dengan dana reses yang hak sepenuhnya di anggota dewan. Misalnya saya bikin 15 kegiatan, itu yang berkuasa saya. Kalau dana aspirasi ini uangnya tidak ada di anggota DPR. Gimana mau memegang Rp 20 miliar, Rp 150 juta saja godaannya besar,” kata Asrul.

Belum lagi, menurut politisi Partai Persatuan Pembangunan ini (PPP), anggota DPR sudah tidak memiliki akses terhadap satuan tiga dalam struktur anggaran negara. Hal ini menurutnya merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jadi satuan tiga itu, kita tidak boleh mengatur sampai misalnya saat pembangunan jalan, jenis aspalnya apa, siapa pengembangnya. Intinya teknis detailnya tak boleh ikut campur. Tetapi kita mengajukan saja program itu harus berjalan,” Asrul menjelaskan. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!