Penyebab macetnya Jakarta bukan rasio jalanan, tapi pengendara

Iwan Hikmawan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Penyebab macetnya Jakarta bukan rasio jalanan, tapi pengendara
Berbeda tengan teori-teori lainnya, kali ini pengendara mobil disebut sebagai biang kerok kemacetan.

Bertambahnya volume kendaraan di jalanan Jakarta bukan penyebab utama kemacetan di Jakarta.

Penyebab utamanya adalah kita terlalu sering menginjak rem.

Bagaimana bisa?

Jadi begini. Kalau kita bilang jalanan di Jakarta sudah tidak muat lagi menampung kendaraan-kendaraan yang ada, kita sebenarnya sedang membicarakan jalan raya atau area parkir, sih?

(Baca: Konseptor awal busway bicara tentang ‘Jakarta Tanpa Macet’

Coba kita ambil contoh satu jalur jalan yang panjangnya 1 kilometer, kira-kita itu muat berapa mobil? 

Kalau panjang mobil dan jarak antar mobil kita buat rata-rata 8 meter, kurang lebih jalanan akan memuat sekitar 125 mobil. Tapi, itu dalam posisi diam.

Kalau mobil di jalur jalan tersebut melaju dengan kecepatan rata-rata 30 km/jam saja, berapa banyak mobil yang bisa lewat?

Sekarang kalau kita tambah lagi kecepatannya, dua kali lipatnya, hingga 60km/jam, berapa banyak mobil yang bisa lewat di atas jalan itu?

Lalu bagaimana jika kita buat 3 jalur dalam jalan tersebut? Pasti akan bertambah, kan?

Jumlah mobil yang lewat di atas jalan itu akan semakin banyak kalau kecepatan berkendara mobil juga tinggi. Namun, jika  mobil yang lewat di atas jalan itu terlalu sering menginjak rem, alias pelan-pelan atau bahkan berhenti sama sekali, pasti jumlahnya akan menurun drastis.

Buktinya bisa kita lihat di aplikasi traffic report seperti Waze yang mendeteksi kemacetan dari kecepatan berkendara di suatu jalan. Warna merah yang muncul area macet parah didapat dari kecepatan berkendara pengguna yang di bawah 10 km/jam.

Argumentasi sebab kemacetan yang sering kita dengar adalah jumlah ruas jalan tidak sebanding dengan pertambahan jumlah kendaraan tiap tahunnya. Benarkah? 

Terus kenapa kita terlalu sering menginjak rem, sehingga kecepatan kendaraan di jalan semakin hari semakin berkurang?

Kami bertanya pada ahli transportasi sekaligus konseptor Transjakarta Peter Yan mengenai ini.

“Ada statement bahwa kemacetan di Jakarta akibat pertumbuhan kendaraan sebanyak 11% tidak sesuai (sebanding) dengan pertumbuhan ruas jalan yang sekitar 1%,” katanya. “Saya berpendapat pernyataan itu kurang tepat. Karena pada prinsipnya jalan itu dirancang dengan (untuk) kecepatan tertentu, 30 atau 40 km/jam misalnya untuk jalan dalam kota.

“Sehingga dengan kecepatan tertentu itu jalan tersebut menampung kapasitas/jumlah kendaraan. Kapasitas itu akan berakhir jika kecepatan itu mulai menurun drastis. Pertanyaannya kecepatannya menurun karena apa?”

Saksikan di episode selanjutnya untuk jawabannya. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!