Kenapa saya ikut bahagia untuk LGBT di Amerika Serikat

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kenapa saya ikut bahagia untuk LGBT di Amerika Serikat

EPA

Wanita berjilbab ini merasa seperti di kebun binatang saat berada di kerumunan kaum LGBT. Bukan mereka binatangnya, tapi dia. Mengapa?

 

Sesaat setelah melihat lini masa di Facebook saya penuh dengan warna pelangi yang diposting oleh wartawan senior Rappler Ayee Macaraig dan dosen saya yang juga pendiri organisasi komunitas gay Gaya Nusantara Dede Oetomo, saya langsung sadar bahwa Amerika Serikat baru saja melegalkan pernikahan sesama jenis. 

Congrats!” komentar saya saat membagi ulang artikel di Rappler.com tentang berita baik itu.  

Apakah ini sebuah berita baik?

Mungkin sebagian dari pembaca langsung heran, kenapa berita pernikahan sesama jenis saya golongkan sebagai berita baik? 

Apalagi diucapkan oleh saya, seorang muslimah yang berjilbab. Tunggu dulu. Saya punya alasan untuk itu. 

Saya tidak akan ceramah atau berkhotbah dengan ayat untuk menjelaskan posisi bahwa Islam memberi toleransi kepada kaum gay. Tidak. Itu akan percuma. 

Saya mungkin akan dicap sesat seperti Lia Eden jika bermain-main dengan ayat. 

Saya tidak melibatkan satu ayat pun dalam keberpihakan saya atas kaum gay selama ini. Ini semata-mata hanya sebuah pengalaman spiritual tak berarti yang terjadi 3 tahun lalu. 

Terdampar di konferensi gay dunia

Tepatnya pada tahun 2012, saya terdampar di sebuah festival gay dan lesbian seluruh dunia di Berlin, Jerman.

Jangan tanya kenapa saya bisa terdampar di sana, hanya kebetulan saja saya mendapat tugas dari tempat saya kursus jurnalistik untuk mengikuti konferensi itu. Sama seperti konferensi-konferensi internasional lainnya. 

Saya yang selama ini bilang, “Boleh kok kaum gay menikah, silakan, tapi di Belanda,” akhirnya menghadapi kenyataan bahwa saya harus benar-benar membuktikan pernyataan saya bahwa saya bukan homofobia. 

Tapi ternyata itu hanya manis di mulut saja. Ketika saya masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi kaum gay di seluruh dunia, mulai dari Lebanon sampai Afrika Selatan, bulu kuduk saya merinding. Apalagi ketika saya mendapati seorang peserta perempuan. Pastinya dia seorang lesbian. 

Saya takut, cemas, pusing, bahkan takut ditaksir. Saya seolah berada di kebun binatang. Bukan mereka binatangnya, tapi saya. 

Ya, bayangkan saja. Ada seorang perempuan berjilbab di tengah konferensi gay dunia. Mereka mungkin berpikir bahwa saya satu-satunya orang ‘normal’ di gedung ini. Dan jadilah saya tontonan. 

Saya menepi di pinggir dan bingung. Mungkinkah saya bisa mewawancarai seorang saja di antara mereka? “Tidak mungkin,” kata hati saya berkata begitu. 

Saya pun memilih duduk dan menenangkan diri. Hari itu saya gagal mewawancarai satu pun narasumber seorang gay di konferensi itu. Sungguh memalukan.

Meresapi penderitaan David Kato

Penulis (kanan) bersama Kasha Jacqueline (kiri), sahabat David Kato, yang menjadi obyek film 'Call Me Kuchu'. Foto dari Febriana Firdaus

Keesokan harinya, mentor saya mengajak saya jalan-jalan ke Berlin Festival Film. Kami akan menonton sebuah film yang bagus, katanya. Judulnya adalah Call Me Kuchu.

Film itu baru pertama kali diputar di seluruh dunia hanya di festival ini. Tentu saya merasa mendapat kehormatan untuk menontonnya. 

Apa itu Kuchu? Kuchu adalah sebutan untuk seorang gay di Uganda. 

Ternyata, mentor saya adalah satu-satunya orang yang memberikan pengantar sebelum film diputar. Dia menjelaskan bahwa film ini berkisah tentang kisah hidup David Kato, orang pertama yang terang-terangan membuka statusnya sebagai gay di Uganda. 

Kato harus menghadapi kenyataan bahwa ia tidak diterima di masyarakat Uganda, terutama di komunitas gereja di lingkungannya. 

Ia menerima caci-maki, intimadasi, sebelum akhirnya mati dibunuh. 

Saya menangis waktu menontonnya. Apalagi saya menontonnya di sebelah sahabatnya, Kasha Jacqueline. Saya makin emosional menontonnya. 

Uganda memang sangat keras pada kaum gay, mereka bahkan punya undang-undang khusus untuk memenjarakan bahkan menghukum mati kaum gay.

Dari situ saya mulai berpikir, mengapa orang bisa dihukum mati hanya karena punya kelainan orientasi seksual? Ada yang salah. 

Mengapa masyarakat kita menghukum kaum gay? 

Kematian Kato membuat saya sedih berhari-hari. Bagaimana kalau itu terjadi pada saya? Saya masih selamat, karena orientasi seksual saya sama dengan mayoritas penduduk bumi lainnya.

Tapi mengapa tidak ada kasih sayang sedikit pun dari sebagian masyarakat untuk kaum gay? 

Kita membenci mereka dalam hati, lalu menggunjingkannya di belakang (sebagian orang melakukan ini bukan?), lalu mengasingkan mereka dengan menyarankan anggota keluarga atau teman kita untuk tidak bergaul dengannya, karena mereka ‘sakit’ dan ‘abnormal’

Yang paling jahat menurut saya adalah mengatakan bahwa mereka layak dihukum mati

Apalagi ketika saya mendengar bahwa yang menyerukan hal itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saya bertanya pada diri sendiri, membenci kaum gay itu ajaran Tuhan atau ajaran agama? Para ulama mungkin bisa menjawab. 

Mengapa tidak mencoba bersanding hidup dengan mereka? 

Meskipun saya bukan seorang penyuka sesama jenis, tapi saya punya beberapa teman gay yang menurut saya memiliki penampilan sama dengan orang lain. Sama pintarnya, sama baiknya, sama ramahnya. Yang berbeda hanya satu: orientasinya seksualnya. 

Sudah 3 tahun ini saya berdamai dengan homofobia dan mencoba bersanding hidup dengan mereka. Dan bukan hal buruk yang saya dapatkan, tapi pengalaman hidup yang berbeda. 

Contoh, ketika saya sedang berada di tempat yang sama dengan seorang kawan penyuka sesama jenis, ternyata kami memandang pria yang sama (OMG, saya lupa kalau dia gay. Itu berarti dia kompetitor saya). Lalu kami pun tertawa bersama. 

Itu hanya satu dari sekian cerita bagaimana saya melewatkan hari-hari saya dengan teman saya yang berlainan orientasi seksual itu. 

Tapi bergaul dengan mereka tidak membuat saya berubah dengan meninggalkan status saya sebagai seorang Muslim. Tidak. Saya tetap memakai jilbab, saya tetap salat. 

Saya memutuskan untuk tidak membawa ayat-ayat yang diajarkan pada saya saat di tempat mengaji dulu, ketika saya bersama mereka. Ayat itu cukup berlaku untuk saya seorang saja. 

Sehingga kami berteman dengan tetap menghormati orientasi dan keyakinan hidup masing-masing. 

Karena bagi saya, seperti kata Presiden AS Barack Obama, pada akhirnya cinta yang akan menang, bukan? —Rappler.com

Febriana Firdaus adalah wartawan Rappler Indonesia. Ia fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan buruh migran. Febro, panggilan akrabnya, bisa disapa di @FebroFirdaus.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!