Pemkot Jaksel segel masjid Ahmadiyah di Tebet

Adelia Putri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pemkot Jaksel segel masjid Ahmadiyah di Tebet
Di bulan Ramadan, mereka malah terusir dari tempat mereka beribadah

JAKARTA, Indonesia— Pemerintah Kota Jakarta Selatan menyegel Masjid An-Nur milik Ahmadiyah di Bukit Duri, Jakarta Selatan tak lama setelah penolakan dari Front Pembela Islam (FPI). 

“Bangunan ini disegel sesuai Perda 7 tahun 2007 tentang penyalahgunaan fungsi rumah tinggal,” kata Kepala Suku Dinas Penataan Kota Jakarta Selatan Syukria, Rabu, seperti dikutip oleh media

Bangunan Masjid An-Nur yang terletak di Jalan Bukit Duri Tanjakan ini adalah rumah milik seorang pengikut Ahmadiyah bernama Diantoro. Sudah sejak lama rumah tersebut digunakan sebagai masjid oleh pengikut Ahmadiyah. 

Namun pada 12 Juni, FPI bersama dengan beberapa warga sekitar melarang warga Ahmadiyah yang hendak melakukan salat Jumat di sana. 

 (BACA: FPI larang Ahmadiyah salat Jumat di Tebet)

Tak jelas apakah penolakan FPI dan beberapa warga menjadi bagian dari alasan penutupan. Camat Tebet, Mahludin, mengaku sudah dua kali memberikan peringatan agar tidak menggunakan rumah tersebut sebagai tempat ibadah. Surat peringatan tersebut dikirimkan pada 30 Juni dan 3 Juli. 

Yendra, salah satu anggota jamaah Ahmadiyah Bukit Duri, mengaku tidak mendapat penjelasan mengenai dasar hukum penutupan masjid mereka.

“Mereka harusnya menjelaskan aktivitas kita yang mana yang dianggap melanggar peraturan,” katanya pada media. “Mereka bertindak seperti ini karena ditekan oleh kelompok-kelompok intoleran.” 

Mengganggukah mereka?

Aziz Damani, Humas Ahmadiyah Bukit Duri menjelaskan pada Rappler bahwa bangunan tersebut sudah digunakan sejak 30 tahunan yang lalu dan diterima cukup baik oleh masyarakat.

Bahkan, masjid tersebut juga tidak tertutup bila warga ingin beribadah di dalamnya.

“Semua bisa salat disini, jadi tidak berbeda dengan masjid yang lain. Mbak boleh ke dalam, bisa melihat kalau kita salat. Kalau misalnya ada perbedaan pemahaman dan itikad salat jumat itu kan dalam penafsiran dan akidah, itu kan pembicaraan yang berbeda,” katanya.

Warga sekitar juga mengaku sebenarnya aktivitas Ahmadiyah di masjid tersebut tidak mengganggu. Mereka seringkali membantu warga sekitar. 

“Warganya pengen bubar, ajarannya bikin resah. Tapi mereka ga ngajarin ajarannya. Kita sih ga tau beda cara salatnya gimana, kan kita ga pernah salat bareng,” kata seorang ibu di wilayah tersebut pada Rappler belum lama ini.

“Kalau bakti sosial sih ada, kurban bagi-bagi orang belakang. Kalau banjir juga suka bantu.”

Atma, warga lainnya, juga mengaku tidak terganggu dengan keberadaan masjid tersebut. Namun, ia tak memungkiri bahwa perbedaan tafsir agama membuatnya dan warga lain resah.

“Enggak ngeganggu sih selama ini. Coba tanya langsung ke Pak Ustad Syakir, ustad di sini, soalnya paham agamanya kita kurang paham. Mungkin karena ada bedanya ditolak. Kalau kita kan, Nabi Muhammad terakhir, kalau mereka bukan. Perbedaan itu yang bikin resah,” katanya. 

“Mereka enggak nyebarin sih, tapi takutnya ya, warga sini kebawa-bawa.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!