Tak hanya hilang pekerjaan, warga Syiah Sampang kehilangan aset

Ahmad Santoso

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tak hanya hilang pekerjaan, warga Syiah Sampang kehilangan aset

EPA

Sebelum menyandang status pengungsi, mayoritas penganut Syiah di Sampang berprofesi sebagai petani. Setelah hidup di pengungsian, bagaimana nasib aset mereka?

SIDOARJO, Indonesia — Pemandangan sawah hijau milik warga Syiah yang tinggal di Desa Blu’uran di Karangpenang dan Desa Karanggayam, Omben tinggal kenangan. Padi sudah mati tak bersisa. Di musim panas ini, ilalang tumbuh di tanah yang kering kerontang.  

Sawah bukan satu-satunya aset warga Syiah yang rusak. Ada sekitar 70 rumah milik mereka di dua desa tersebut yang hancur. 

“Rumah di kampung memang seperti itu. Bagi rumah-rumah yang terbakar ya dibiarkan begitu saja. Tapi keadaan rumah yang tak dijaga mau tak mau membuat ambruk dengan sendirinya. Biasanya oleh rayap,” kata seorang pengungsi bernama Muhammad Zaini.

Nasib aset sekitar 170 keluarga Wyiah dari dua desa tersebut memang tak jelas. Sejak dipaksa meninggalkan rumah dan desa mereka sendiri, mereka kehilangan segala-galanya: pekerjaan, rumah dan tanah mereka. 

Menurut tokoh Syiah Iklil Almelal, warga Syiah rata-rata bukan buruh tani. Sebelum menjadi pengungsi rata-rata per orang memiliki satu hektar lahan untuk bercocok tanam secara mandiri. Sebagian besar mereka gunakan untuk menanam padi.

“Dalam soal pengelolaan saya memang sengaja mengajak rekan-rekan lain untuk berkumpul yang diwadahi koperasi. Pembinaan yang kami lakukan bisa memaksimalkan hasil pertanian yang ada,” kata Iklil. 

Setelah ditinggalkan pemiliknya, hanya sedikit sawah yang masih terawat. “Sebagian kecil memang dirawat oleh keluarga yang masih tinggal di sana,” kata Iklil. 

Penyerobotan lahan tak bertuan

Tokoh Syiah Tajul Muluk dihukum dua tahun penjara karena menodai agama. Pengadilan juga menilai ajarannya menyimpang serta menyebabkan keresahan publik. Foto oleh Juni Kriswanto/AFP

Tak hanya aset terbengkalai, warga Syiah juga menghadapi kenyataan bahwa ada orang-orang tak bertanggung jawab yang menggunakan momen ini  untuk menyerobot lahan mereka. Iklil mengaku sudah mendengar laporan tersebut. 

Bahkan mantan Ketua DPR RI Marzuki Alie pada 2013 sempat meminta pemerintah untuk turun tangan menangani masalah aset warga Syiah. Sampai sekarang tak ada realisasinya. Pengungsi sudah lelah menyikapi kasus penyerobotan lahan ini. 

Konflik yang ada membuat mereka merelakan segala yang mereka punya untuk bisa memberikan jaminan diberi kesempatan untuk hidup. “Biarin aja, kami males berebut untuk sesuatu hal yang sudah sulit untuk kembali,” kata Iklil dengan menggerutu. 

Tak adanya sertifikasi tanah jadi alasan utama para pengungsi menyerah. Hampir 90% tanah yang dimiliki mereka bodong alias tak memiliki dokumen lengkap. Masalah ini yang membuat mereka kebingungan untuk mengadu ke siapa. 

Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang kepada Rappler mengatakan memang pengikutnya itu tak memiliki kepekaan terhadap dokumen-dokumen resmi. Entah itu akta kelahiran, surat nikah, dokumen kependudukan ataupun sertifikasi pertanahan. Dirinya sempat mendesak pimpinan desa untuk sosialisasi ke masyarakat 

“Nah persoalannya ya itu Mas, konflik masalah lahan di Sampang penyebabnya ya karena sertifikasi yang sampai saat ini belum di lakukan. Saya sempat mendesak agar segera diadakan sertifikasi agar penyerobotan bisa dihindari,” katanya. 

“Sebagian masyarakat di sana gak peduli, dianggap sesuatu hal yang gak penting. Di sisa lain, saat ada masyarakat yang mau urus hal itu selalu saja dipersulit oleh aparat desa. Pernah ada yang keluarkan, tapi ternyata dokumennya tak diberikan.”

Kata Tajul, aparat desa memang memilih berhati-hati untuk mengeluarkan dokumen sertifikasi tanah. Soal batasan-batasan tanah penduduk para kepala desa sebenarnya sudah tahu. “Terlalu sensitif,” kata dia berbisik.

Tak hanya soal penyerobotan lahan sawah, kasus pencurian kayu pun sering menimpa warga Syiah. “Belum lama ini saya dapat laporan beberapa gelondong kayu jati seorang pengungsi hilang. Soal ini sudah diurus oleh polisi setempat,” ujarnya.

Kades minta pemerintah urus aset Syiah

Sementara itu Kepala Desa Bluuran, Kecamatan Karang Penang, Sampang, Muhammad Faruk mengaku dirinya tak mendapatkan laporan terkait adanya penyerebotan lahan. 

“Oh tidak benar itu,” katanya.“Sejauh yang saya tahu tidak ada laporan itu. Kalau warga umum pasti enggan untuk menyerebot lahan yang bukan milik mereka. Gak tau kalau misalkan yang ambil itu saundara mereka yang tidak seiman dan berpaham Sunni. Bisa aja hal itu terjadi,” kata Faruk. 

Terkait dengan sertifikasi dia mengaku sudah mensosialisasikannya. Namun berhubung amat jarang pengungsi yang datang pulang kampung, maka proses itu tak bisa dilakukan secara singkat.

Untuk bisa mengurusi dokumen, pengungsi tak bisa menyelundup masuk ke kampung tanpa koordinasi. Dikhawatirkan warga yang mengetahui akan bertindak anarkis. Warga Syiah yang pulang kampung mesti dijaga ketat personel keamanan.

Para ulama Sunni seperti Fudholi Ruham, pengasuh pesantren Al Fudhola, Pamekasan, Jawa Timur, yang juga pengurus Barisan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura (Bassra) memang meminta agar harta-harta para pengungsi ini tetap dijaga. Dan yang bertugas melakukan hal itu adalah pemerintah bukan masyarakat. 

Dia mendesak Pemerintah Kabupaten Sampang segera membuat sertifikat atas tanah dan bangunan milik warga Syiah. “Meskipun mereka sudah direlokasi, tetapi harta kekayaannya harus dijaga oleh aparat dan pemerintah agar tidak jatuh kepada orang lain,” ucapnya. — Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!