Kata Pria vs Kata Perempuan: Arti Lebaran

Adelia Putri, Tasa Nugraza Barley

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kata Pria vs Kata Perempuan: Arti Lebaran
Bagaimana dengan kamu? Apa arti lebaran untukmu?

Kolom ini membahas berbagai macam isu yang berkembang di masyarakat Jakarta dan Indonesia — baik yang serius dan yang nyeleneh — dari dua sudut pandang yang berbeda. Topik pekan ini adalah “arti lebaran”. Apa arti lebaran untukmu? 

——–

Adelia Putri, 24 tahun, adalah multimedia reporter Rappler Indonesia. Follow Twitter-nya di @AdeliaPutri

Saya tidak tahu apakah ada perbedaan mengenai persepsi perempuan dan laki-laki mengenai Lebaran. Toh, sepertinya semakin tua kita semakin tak peduli dengan baju Lebaran atau angpao dari om tante.

Semakin tua, Lebaran terasa semakin biasa, bahkan, bulan puasa terasa seperti rutinitas tahunan yang isinya hanya rentetan buka puasa bersama dan kata-kata manis karena semua orang mendadak religius. 

Terus terang, saya rindu masa kecil, saat bulan puasa dimulai dengan libur 3 hari dan diakhiri dengan libur dua minggu (huh, mana ada libur dua minggu dalam kamus pekerja media??). Dulu, bulan puasa dirayakan dengan meriah di sekolah, dengan jam masuk yang lebih pendek, dengan buku ibadah yang harus ditandatangani setiap habis tarawih, dengan pesantren kilat yang penuh keseruan.

Bulan puasa adalah sebuah festival yang diakhiri dengan kegembiraan luar biasa saat Idulfitri datang. Tidakkah kalian rindu pada kepolosan masa itu di saat kita semua belum terikat dengan kesibukan kantor dan tuntutan sosial untuk hadir di setiap undangan berbuka?

Lebaran bagi perempuan, tentu saja, diramaikan dengan pakai baju apa, dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dihindari seperti “kapan kawin?” atau “yang biasa datang ke mana?”, dan ketakutan kalau turunnya berat badan yang diusahakan selama sebulan terakhir menjadi sia-sia. Tapi, saya rasa kalau kita bicara hal yang fundamental, Lebaran bagi laki-laki dan perempuan punya arti yang sama.

Lebaran, jika Ramadannya berhasil, adalah kesedihan karena suasana akan berubah sekejab. Lebaran juga menjadi momentum untuk refleksi apa yang sudah terjadi sebulan kemarin, apa yang sudah kita pelajari dalam waktu singkat itu.

Terdengar klise mungkin, tapi mungkin kalau Kamu mau duduk dan diam sebentar, mungkin Kamu bisa mencatat apa saja yang Kamu dapatkan selain kelonggaran di skinny jeans-mu. 

Mungkin, dengan masalah yang Kamu hadapi selama bulan puasa, Kamu perlahan-lahan belajar lebih sabar. Mungkin, dengan suatu perubahan tiba-tiba dalam hidupmu, seperti perginya seseorang yang Kamu sayangi, Kamu terpaksa belajar untuk kembali percaya pada rencana yang disimpan diam-diam oleh Tuhan.

Mungkin, dengan berada jauh dari rumah, Kamu belajar bahwa bahagia itu sesederhana bisa tertawa dengan ayahmu dan tak peduli dengan deadline dari kantor. Atau mungkin, sekadar dengan undangan buka puasa yang selalu ada, Kamu belajar bahwa Kamu tidak pernah benar-benar sendiri dan Kamu belajar untuk menjadi teman yang baik. Semua punya ceritanya masing-masing dan pembelajarannya masing-masing.

Kalau Kamu sedang tidak sibuk, coba ambil setoples nastar dan sempatkan duduk untuk berkontemplasi apa yang sudah kamu raih sebulan kemarin, mungkin Lebaranmu akan lebih berarti dan Kamu akan semakin tidak sabar menanti Ramadan selanjutnya.

Selamat melanjutkan makan rendang (kalau kamu belum bosan) dan liburan!

Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi di Jakarta. Ia suka membaca buku dan berpetualang, dan dapat disapa di @BarleyBanget.

Selain bertemu sanak keluarga untuk saling maaf memaafkan, Lebaran jadi momen tepat untuk berkontemplasi, merenungi apa saja yang telah kita lalui selama sebulan terakhir, berharap kita telah menjadi muslim yang lebih baik dari sebelumnya.

Namun harus diakui bahwa para perempuan melewati masa-masa puasa jauh lebih baik dari kita para pria. Walau perempuan tidak diberikan fisik yang lebih kuat oleh Tuhan, namun entah mengapa mereka lebih kuat ketika harus menahan haus dan lapar.

Pria, di sisi lain, sangat berat melewati seharian berpuasa, selalu mengeluh ini dan itu, bahkan tidak sedikit yang memutuskan untuk cari cara agar bisa menikmati segelas air dingin tanpa ketahuan orang lain.  

Dan ketika adzan maghrib berkumandang, para pria langsung buru-buru melahap hidangan yang sudah disediakan di atas meja, tanpa mengucapkan doa atau merenungi makna puasa walau sejenak.

Buat pria kebanyakan, walau tentu tidak semuanya seperti ini, puasa hanya soal menahan makan dan minum, tidak lebih dan tidak kurang. Padahal tentu bulan suci puasa lebih dari itu. 

Para perempuan menjalani ibadah puasa dengan lebih khusyuk. Kebanyakan dari mereka menggunakan puasa sebagai medium untuk meningkatkan keimanan. Salah satunya terlihat dari rajinnya mereka menjalankan salat 5 waktu.

Bahkan beberapa mencoba untuk membaca terjemahan Al-Quran dengan penuh penghayatan. Ketika berbuka, kebanyakan perempuan memilih untuk tidak rakus, mencoba menikmati makanan pembuka terlebih dahulu pelan-pelan, lalu salat maghrib, baru makan besar. 

Sementara para pria beranggapan kalau sudah bisa menahan dahaga dan lapar seharian maka ibadahnya sudah sangat baik. Padahal masih ada ibadah wajib lainnya yang tetap harus dijalankan, salat 5 waktu misalnya, dan juga ibadah sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan selama puasa. 

Maka tidak heran apabila area musala kantor mendadak dipenuhi oleh para pria di bulan puasa. Walau mungkin sebagian besar memang datang untuk melakukan salat wajib, namun tujuan utama mereka sesungguhnya adalah untuk mencari dua meter lahan kosong untuk berbaring di siang hari.

Harus diakui, puasa itu benar-benar membuat tubuh mengantuk tidak bergairah, terutama bagi para pria yang terbiasa mengkonsumsi setidaknya satu piring nasi putih lengkap dengan lauk pauknya di siang hari.  

Hanya sebagian kecil saja dari para pria yang benar-benar memanfaatkan bulan puasa dengan sungguh-sungguh. Ketika sudah diperbolehkan pulang dari kantor, bukannya cepat-cepat kembali ke rumah untuk persiapan salat tarawih, kebanyakan pria justru memilih untuk nongkrong sambil merokok dengan teman-teman sejawat.

Apabila diingatkan untuk pulang mereka biasanya bilang: “Ah, mau ikut campur aja urusan orang!”  

Nah lucunya, pria justru yang paling berisik ketika perayaan lebaran datang. Ketika hasil sidang isbat diumumkan oleh pemerintah, pria sontak bergembira, langsung mandi, kenakan baju koko, peci dan sarung.

Seakan-akan yang paling hebat menjalankan ibadah puasa, tanpa rasa malu kita beramai-ramai mengumandangkan takbir di jalan raya, sambil tentunya memukul gendang yang suaranya memekakkan telinga. Perempuan pun hanya bisa mengelus dada. — Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!