Kisah nelayan Aceh selamatkan migran terdampar di lautan

Rio Tuasikal

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah nelayan Aceh selamatkan migran terdampar di lautan
Nelayan Indonesia selamatkan ratusan manusia perahu dari Myanmar dan Bangladesh. Para migran ini terdampar di Selat Malaka setelah ditolak beberapa kali mendekati pantai Malaysia dan Thailand.

Pukul 8 malam yang tenang di Selat Malaka, Ibrahim hampir selesai mengangkat pukat ikan ketika ada nelayan kecil memberitahu ada kapal yang akan tenggelam. 

“Jumpa nelayan pancing. Dia minta tolong sama kami. Kami buka langgar besar kapalnya. Orang pancing ini tidak muat, karena di sana ada 1.000 

lebih. Perahu mereka hanya cukup 20-30 orang. Jadi minta bantuan sama kami,” kata Ibrahim, seorang nelayan lokal, saat pertama kali mendengar kabar mengenai ratusan pengungsi asal Myanmar dan Bangladesh yang terdampar, kebanyakan dari mereka adalah warga etnnis Rohingya.

(BACA: Menyelamatkan Rohingya, mengingat kebaikan orang Aceh) 

Tangkapan pun dilepas. Ibrahim lalu memimpin  perahunya, Laskar Minabahari, menuju perbatasan Malaysia. Lepas 30 menit, dia melihat pemandangan mengerikan. Buntut perahu sudah tenggelam, mirip adegan di film Titanic

“Sampai di situ kami pasang lampu. Nampak orang sedang terapung, seperti bebek. Banyak yang tenggelam. Sebagian yang tenggelam itu yang kami 

selamatkan. Kapalnya sudah miring. Tumpah orang semua. Muatannya kan penuh. Orang berdiri begini (tidak bisa bergerak). Sempit sekali. Isinya kan sampai seribu lebih, sementara kapalnya tidak terlalu besar. Orangnya bukan lompat tapi tumpah. Kapalnya nggak jalan dan sudah banyak air yang masuk,” ujar Ibrahim.

Kapal yang kelima pun sampai. Ibrahim bersama 30 awak kapalnya langsung menurunkan tali untuk mengangkut para pengungsi. Kapalnya membawa 180-an orang. 

“Ada yang kurang baju, nggak ada celana, kami kasih apa baju kami yang basah. Makanan juga. Kami punya 4 dandang bekal makanan kami. Minum juga. Ada yang sedang berdarah lari ke kita. Kami kasih bawang dan gula untuk menutup lukanya,” tutur Ibrahim.Pengungsi Rohingya asal Myanmar saat terombang-ambing d dekati Pulau Andaman, Malaysia, 14 Mei 2015. Foto oleh EPA.

Ibrahim mengaku memakai bahasa tubuh untuk berkomunikasi karena hampir seluruhnya tidak mengerti bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia.

Hampir subuh ketika Ibrahim dan kapal-kapal lain sampai di dermaga Kuala Langsa, Kota Langsa. Dia lalu menyerahkan para pengungsi kepada polisi air yang malah memarahinya.

(BACA: Ditolak TNI AL, pengungsi Rohingya ditolong nelayan Aceh)

“Dia tanya, kenapa tidak ditolak? Kalau memang pengungsi masih di dalam kapal, kami tidak ambil. Kalau dia di dalam kapal yang baik, oh ini orang terlantar, kami kasih makan. Tapi yang di dalam air ini harus kami ambil, itu prinsip kami di laut. Ini mereka  sedang  berenang di air, banyak yang tenggelam. Kalau kita  memang manusia, kita lihat kondisi. Kalau manusia ini sedang sekarat akan tetap kami bawa. Tidak ada istilah jangan. Kalau mereka sekarat berenang di dalam air kan butuh bantuan. Itu tidak ada perintah dari siapa pun harus kita bantu,” kata Ibrahim.

Muhammad Amin, salah seorang pengungsi Rohingya mengatakan nelayan seperti Ibrahim adalah pahlawan.  

“Jika tidak ada orang Aceh yang melaut hari itu, semua orang akan mati. Kami akan mati kalau tidak diselamatkan nelayan,” kata Amin.

Pengungsi lain yang bernama Hasan mengaku para nelayan telah memberi mereka hidup baru.   

“Saya selalu berdoa negara kalian mau menyelamatkan kami. Jika tidak mungkin kami sudah mati di sana,” kata Hasan dalam bahasa Inggris.

Komite Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat masih ada tujuh ribu manusia perahu lain yang terombang ambing di selatan Myanmar. 

Ibrahim dan para nelayan lain bersepakat akan melaporkan imigran gelap jika sampai masuk ke desa. 

“Kalau memang mereka dalam perahu yang masih bagus kami tidak bawa.Kalau dalam perahu kan tidak membutuhkan pertolongan. Kalau sudah tumpah ke air, itu kami bawa. Itu kan ada petugas, negara kita punya keamanan, kenapa mereka bisa melewati perbatasan? Apa tidak ada yang jaga?” 

Pengungsi Rohingya dan Bangladesh itu kini ditampung di Pelabuhan Kuala Langsa. Pelabuhan ini bersebelahan  dengan tempat  pembongkaran ikan di mana  kapal Ibrahim berlabuh. 

Ibrahim mengaku rugi saat menyelamatkan pengungsi itu.  

“Kami tidak bisa cari rejeki. Saat itu kami belum ada tangkapan, kami harus menolong. Kami pulang. Sampai sekarang belum berangkat lagi. Kini lampu bermasalah. Kami tidak bisa berangkat. Serba salah sekarang ini,” aku Ibrahim.

Tapi ketika Ibrahim berkunjung ke pengungsian, dia tahu sudah melakukan hal yang benar. 

“Kami juga orang susah. Tapi mereka lebih susah. Silakan pemerintah tampung selama satu tahun. Mereka tidak meminta makanan kepada warga lokal, jadi selama pemerintah mampu, tak jadi masalah,” ucap Ibrahim.

Ucapan terimakasih dari para pengungsi membuatnya siap menolong lagi.

“Sebetulnya kami rugi. Tapi yang namanya kemanusiaan. Demi manusia,” kata Ibrahim. —Rappler.com

Berita ini berasal dari Asia Calling, program radio mingguan dari KBR.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!