Memanusiakan Sukarno

Arman Dhani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Memanusiakan Sukarno

AFP

Sukarno mengajarkan pada kita bahwa ide besar tidak harus berasal dari orang-orang besar.

 

Ada banyak sudut yang bisa kita pelajari dari sosok presiden pertama Indonesia, Sukarno. Tapi tentu saja kita tidak harus membahasnya dari skandal pribadi yang mungkin ia miliki. Bagi saya yang penting adalah mengapa dan bagaimana Sukarno hidup sebagai seorang manusia biasa. Sesuatu yang bisa membuat kita belajar tentang menghargai hidup. Tapi, ya, itupun kalau Anda mau.

Sukarno adalah paradox. Ia memiliki visi besar tentang nusantara, tentang Indonesia yang bersatu. Pada banyak kesempatan kita bisa dengan mudah memahami visinya melalui jargon. Seperti Nasakom, Kontrev, Ngak Ngik Ngok, dan Trisakti. Tapi lebih dari sekedar itu, Sukarno mengajarkan pada kita bahwa ide besar tidak harus berasal dari orang-orang besar. Ide tentang Marhaen misalnya.

Tapi pada sisi lain Sukarno juga memiliki ambisi. Ambisi untuk menjadi besar, diakui, dan klise. Mengapa Jakarta? “Harus Jakarta,” kata Bung Karno suatu saat di lapangan Ikada. 

“Soviet punya Moskwa, Jerman punya Berlin, dan kita harus punya Jakarta,” ujarnya. Keberadaan Gelora Bung Karno (GBK) hadir karena kebutuhan ruang setelah Jakarta dipilih sebagai tuan rumah Asian Games IV oleh Federasi Asian Games pada Agustus 1962.

Ini barangkali yang kemudian menjadi semacam kebijakan menurun yang dilakukan pemerintah setelah Sukarno. Fokus pembangunan fisik seperti gedung dan jalanan seolah menjadi tolok ukur kesuksesan pemerintahan.

Ketimbang memperbaiki kualitas manusia, pemerintah saat ini lebih fokus kepada pembangunan fisik. Tapi, ah iya, kita tentu saja tak bisa menyalahkan segala kesalahan kepada Sukarno, pewarisnya saja yang mungkin gagal memahami bung besar.

Cara saya, orang yang tumbuh besar di Jawa, memandang Sukarno barangkali akan sangat dengan mereka yang tumbuh di Aceh, Papua, dan Borneo. Di luar Jawa, sosok Sukarno barangkali lebih disalahpahami sebagai seorang agresor.

Beberapa orang menganggapnya sebagai orang yang mengikari janji. Bung dimusuhi karena tak bisa bersetia pada janji, hal ini yang konon melahirkan pemberontakan DI/TII dan pecah kongsi pada Daud Beureueh.

Kepada orang-orang Borneo, barangkali bung besar berutang penjelasan kepada mengapa Sultan Hamid II, seorang pencipta dan konseptor lambang Garuda Pancasila dianggap sebagai seorang pengkhianat negara. Apakah Bali Conection’s itu dan mengapa sampai detik ini sejak diberhentikan pada 5 April 1950 karena tuduhan bersekongkol dengan Westerling dan APRA-nya kehormatan Sultan itu belum dimuliakan.

Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri berdiri di samping patung lilin ayahnya, mantan Presiden Sukarno, di Museum Madame Tussaud, Bangkok, 24 September 2012. Foto oleh EPA

Sosok manusiawi Sukarno terlihat dalam biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Kita tahu bagaimana Sukarno memperlakukan para tahanan politik. Tindakan paling ekstrim adalah perintahnya kepada mantan rekan satu pondoknya, Kartosuwirjo. 

“Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke balik jeruji penjara, namun aku tidak tega membiarkan burung terkurung di dalam sangkar,” kata Sukarno kepada Adams. 

Kita percaya Sukarno adalah manusia, barangkali ia hanya seseorang yang memiliki beban terlalu besar, mitos terlalu banyak sampai dengan keinginan yang teramat rumit. Kepada Adams, Sukarno mengatakan bahwa dirinya kerap dikutuk seperti bandit dan dipuja bagaikan dewa. Dalam menjalani hidup, Sukarno tidak jauh dari hal yang bersifat kontradiktif; pergumulan antara nasib mujur dan malang yang berujung tragedi.

Kepada Papua, Sukarno menginginkan sebuah pembebasan. Tapi hingga hari ini, masih banyak orang Papua yang gagal memahaminya. Usaha pembebasan Papua yang dicanangkan Sukarno masih dianggap beberapa intelektual Papua sebagai bentuk lain penjajahan. Namun tidak semuanya berpikir demikian, John Waromi, seorang penyair Papua pernah memuji Sukarno karena mengirimkan relawan-relawan untuk mencerdaskan Papua, berbeda dengan Suharto yang mengirim militer dan transmigran. 

Hingga hari ini sosok Sukarno masih harus berjuang di jalan politik. Sosoknya kerap bersanding di jalanan, di sebuah baliho ketika musim pemilu tiba. Ia menjadi sosok yang dijual, bahwa barangkali, sampai hari ini Sukarno masih menjadi inspirasi. Tapi hanya sedikit yang benar-benar peduli untuk mempelajari sosoknya secara serius di luar politik, di luar skandal, dan di luar segala kontroversi yang menyelimutinya.

Kita terlalu sibuk pada slogan-slogan bung besar, hingga lupa untuk mengenangnya sebagai manusia biasa. Ia pada usia yang demikian muda, telah memikul beban maha besar, menjadi sosok yang paling depan dalam usaha memerdekakan sebuah bangsa. 

Hari ini, bertahun tahun setelah kematiannya, kita lebih sibuk memperdebatkan di mana kota kelahiran bung besar, ketimbang mempertanyakan kenapa ia digulingkan. Tapi, ah, bukankah sejarah memang untuk dilupakan? —Rappler.com

Arman Dhani adalah seorang penulis lepas. Tulisannya bergaya satire penuh sindiran. Ia saat ini aktif menulis di blognya www.kandhani.net. Follow Twitternya, @Arman_Dhani.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!