Panitia KKR Natal Bandung 2016 klaim sudah kantongi izin dari polisi

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Panitia KKR Natal Bandung 2016 klaim sudah kantongi izin dari polisi
SETARA Institute menilai pembubaran KKR sebagai ancaman serius bagi kemajemukan di Indonesia

JAKARTA, Indonesia — Panitia Nasional Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Natal 2016 buka suara, pada Kamis, 8 Desember terkait pembubaran acaranya di gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, Jawa Barat, beberapa hari lalu.

Sejumlah anggota organisasi masyarakat (ormas) berbasis agama Islam datang dan membubarkan KKR dengan dalih tak ada izin pada Selasa, 6 Desember lalu.

Dalam keterangan tertulis, panitia KKR mengatakan sudah mengantongi Surat Tanda Terima Pemberitahuan No. STTP/YANMIN/59/XI/2016/Dit Intelkam dari pihak kepolisian di Sabuga dengan pemicara Pendeta Stephen Tong.

“Selain itu, panitia sudah memberitahukan juga secara tertulis kepada pihak kepolisian akan adanya KKR Natal Siswa Bandung 2016,” tulis mereka lewat surat bertanggal Rabu, 7 Desember.

Pada Selasa, sebelum KKR Natal pada pukul 18:30 WIB, memang sebelumnya juga diselenggarakan KKR Siswa pada pukul 13:00 WIB. Panitia mengatakan, pihak kepolisian juga menegaskan keberadaan izin tersebut di depan para jemaat saat malam KKR.

(BACA: Kronologi pembubaran kebaktian Natal di Sabuga Bandung)

Panitia mengklaim bahwa mereka sudah menyelenggarakan acara ini selama 11 tahun berturut-turut di Kota Bandung, dan selalu memenuhi proses hukum yang diwajibkan.

“Karena itu, kami menyatakan Pendeta Stephen Tong pada malam KKR Natal Bandung 2016 tidak mengatakan adanya kesalahan prosedur dalam penyelenggearaan,” ujar mereka.

Tudingan kegiatan tak berizin dari ormas yang menamakan diri Pembela Ahlus Sunnah (PAS) tersebut sangat disesalkan karena mengganggu KKR Natal Bandung 2016.

Panitia juga menyoroti ketidaktegasan polisi yang justru membiarkan para anggota ormas memblokir jalan masuk ke Gedung Sabuga. Bahkan, ada yang berhasil menerobos masuk dan berteriak mengusir anggota paduan suara yang tengah berlatih.

Pihak Kepolisian, walaupun hadir, tersebar di seluruh daerah Gedung Sabuga ITB, sulit menjalankan tindakan pengamanan yang memadai,” klaim panitia. Mereka menuntut supaya keadilan ditegakkan sesuai dengan KUHP Pasal 175 dan 176.

Apresiasi permintaan maaf Ridwan Kamil

Panitia juga menghargai permohonan maaf Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang diungkapkan melalui akun media sosial pribadinya. Ridwan mengatakan Pemerintah Kota Bandung akan memfasilitasi KKR untuk diadakan kembali.

(BACA: Pemkot Bandung meminta maaf atas pembubaran kebaktian di Sabuga)

Dalam pernyataan sikapnya, Ridwan menyampaikan 10 hal, antara lain hak beribadah setiap warga negara dijamin oleh konstitusi. Pria yang akrab disapa Emil ini juga menyesalkan kehadiran dan intimidasi ormas keagamaan yang tidak pada tempatnya.

Panitia berharap hal tersebut akan direalisasikan dalam waktu dekat dan di lokasi yang sama. Mereka ingin menampilkan wajah Kota Bandung yang toleran dan menjunjung tinggi keberagaman di Indonesia.

Ancaman serius kemajemukan Indonesia

Terkait kejadian ini, Direktur Eksekutif SETARA Institute Hendardi menilai pembubaran KKR sebagai ancaman serius bagi kemajemukan di Indonesia. Ia juga mengkritisi cara kerja kepolisian yang seolah loyo di hadapan para anggota ormas tersebut. 

“Kapolri Jenderal Tito Karnavian harus memberhentikan Kapolrestabes Bandung dan mengevaluasi Kapolda Jabar yang juga gagal melindungi warga negara,” kata Hendardi lewat siaran pers yang diterima Rappler.

Menurutnya, para aktor non-negara yang merupakan kelompok-kelompok intoleran sesungguhnya telah melakukan tindak pidana dan harus dimintai pertanggungjawabannya, karena menghalang-halangi dan membubarkan kegiatan keagamaan.

Jika tidak ada penindakan terhadap kelompok ini, ujar Hendardi, maka aksi-aksi serupa akan menyebar lebih luas di banyak tempat.

Sementara, SETARA juga menyorot kinerja Ridwan Kamil sebagai Wali Kota Bandung dalam menangani kasus ini yang dinilai melempar tanggung jawab pada bawahannya yang lalai memfasilitasi kegiatan keagamaan warga negara.

Ridwan sendiri mengakui bahwa saat kejadian, ia sedang di berada di luar kota untuk urusan dinas, sehingga ia mendelegasikan koordinasi kepada Kesbangpol Kota Bandung.

“Wali Kota mesti melakukan evaluasi komprehensif atas peristiwa ini dan mengambil kebijakan kondusif bagi kemajemukan di Kota Bandung dan bagi penikmatan kebebasan beragama dan berkeyakinan,” kata Hendardi.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!