Dunia yang kehilangan Erika

Antonia Timmerman

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dunia yang kehilangan Erika
Erika Angel Fernandez, 17 tahun, dibunuh bersama pacarnya, Jericho Camitan, 23 tahun, dalam perang melawan narkoba di Filipina di bawah perintah Presiden Rodrigo Duterte

Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari putus cinta dan sakit gigi? Hati yang hancur menanggung semua derita kemanusiaan di dunia. Aku tahu itu bukan kewajiban kita untuk ikut bersedih dengan setiap orang yang menderita. Bahkan tidak mungkin. 

Ada sebuah riset yang mengatakan bahwa empatimu hilang setelah angka kematian dalam suatu bencana mencapai sekian ribu. Kamu hanya terhenyak akibat dari angka dalam berita, bukan akibat dari kenyataan bahwa ribuan individu unik, dengan segala baik dan buruk mereka, dirampas hidupnya hanya dalam satu kejadian. 

Hidup-hidup yang, bagaimanapun sulitnya, menyimpan harapan dan mimpi dan jalan pikir mereka sendiri, bagaimanapun kaburnya. 

Sekarang, jika untuk berempati pada semua hilangnya hidup orang tidak bersalah saja telah meminta terlalu banyak, maka untuk membagi perasaan itu kepada para kriminal pasti lebih tidak terbayangkan. 

Kamu mungkin tidak akan peduli apakah para kriminal itu sudah melewati sidang yang adil atau belum. Bagi banyak dari kita, proses sidang kebanyakan terlalu bertele-tele dan tumpukkan lembaran kertas dokumennya menyuntukkan, belum lagi membuang banyak waktu dan uang negara.  

Namun pada satu titik, kamu akan melihat foto segumpal tubuh yang tergeletak di tengah tumpukkan sampah. Tubuh itu, yang berlumur darah dan tidak bernyawa, tadinya milik seorang gadis muda, yang mungkin adalah seorang kriminal dan mungkin juga bukan. 

Kemudian selama sepersekian detik kamu akan membayangkan gadis itu, mungkin di suatu jalan kota di Manila, Filipina, pada siang hari, telah berjalan menuju rumahnya yang sederhana di mana ibunya sedang memasak sesuatu yang berasap dan pedas. 

Mungkin ibunya telah berkata, “Ada yang sudah siap di atas meja,” atau mungkin malah, “Anak sialan, dari mana saja kamu?” sambil terus mengoseng penggorengannya. Mungkin si gadis telah menyahut, “Aku sudah kenyang,” atau berteriak, “Bukan urusanmu!” Kita tidak akan pernah tahu. 

Dalam sepersekian detik tadi itu kamu membayangkan si gadis, yang mungkin saja kriminal dan mungkin bukan, dengan rambut hitam panjang dan dadanya yang membusung, telah duduk di depan warungnya pada sore yang hangat, ketika dia merasakan hatinya melompat aneh melihat seorang laki-laki muda yang lewat. Hatinya tidak merasakan apa-apa ketika ratusan yang lain lalu lalang, hanya dia. 

Mungkin malam itu ketika si gadis telah kembali ke kamarnya yang sempit dan panas, yang penuh dengan patung-patung Yesus dan Bunda Maria dan Keluarga Kudus, pikirannya kembali melayang, sebentar ke pemuda yang tadi mampir, sebentar ke tempat lain, tempat di mana dia ingin sekali berada, mungkin suatu tempat yang dingin di mana orang-orangnya tidak harus berkeringat sepanjang hari. 

Suatu tempat dimana dia tidak harus menyuntikkan kimia ke tubuhnya demi merasakan sesuatu. Atau merengguk minuman, atau menghisap marijuana. Atau mungkin juga dia tidak perlu semua itu. Apapun yang telah si gadis lakukan untuk bertahan dan menikmati hidupnya kita tidak akan pernah tahu. 

Yang kita tahu, setelah sepersekian momen itu usai menunjukkan batang hidungnya, setelah gadis muda itu kembali menjelma menjadi tubuh di onggokkan sampah di gang, sebersit rasa sakit muncul, sedikit di atas perut dan sedikit di bawah dada, yang pada detik selanjutnya akan membuncah menjadi rasa kehilangan yang hebat. 

Rasa itu akan bertahan di sana selama yang dibutuhkan untuk mengingatkan kamu bahwa tubuh itu, yang mungkin adalah kriminal mungkin juga bukan, tadinya juga memiliki lamunan-lamunan yang terperangkap, aspirasi, gelisah, cemburu, ambisi, hasrat, yang dalam banyak cara belum dapat dipahami, dan sekarang tidak akan pernah. 

Setelah itu, kamu akan tahu bahwa tidak ada sengguk tangis, bagaimanapun perihnya dia terasa, yang dapat menggantikan apa yang hilang dari kamar sempit dan panas itu, dari dapur yang berasap dan pedas, dari warung kecil di jalanan Manila siang hari, atau  pun dari sebuah tempat dingin yang tidak akan pernah dikunjunginya. 

NB: Erika Angel Fernandez, 17 tahun, dibunuh bersama pacarnya, Jericho Camitan, 23 tahun, dalam perang melawan narkoba di Filipina di bawah perintah Presiden Rodrigo Duterte. —Rappler.com

Antonia Timmerman adalah seorang jurnalis di Jakarta. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!