Catatan akhir tahun: Kasus intoleransi di Yogyakarta meningkat sepanjang 2016

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Catatan akhir tahun: Kasus intoleransi di Yogyakarta meningkat sepanjang 2016
Mulai dari penutupan pondok pesantren waria Al Fatah, pembubaran film dokumenter tragedi 1965, gugatan pembangunan Goa Maria, hingga penurunan baliho mahasiswi berjilbab

YOGYAKARTA, Indonesia — Sejumlah aktivis hak asasi manusia di Yogyakarta mencatat telah terjadi puluhan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di daerah tersebut sepanjang 2016.

Pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan beragama di antaranya dilakukan oleh kelompok intoleran, dan disebabkan kurangnya perlindungan dari aparat keamanan terhadap kelompok minoritas yang menjadi korban. 

Misalnya, intimidasi dan penutupan pondok pesantren waria Al Fatah di Bantul pada awal tahun. Para waria yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari itu berharap hak mereka untuk beragama tak dirampas kembali di tahun depan.

(BACA: Sebuah asa di Pesantren Waria Yogyakarta)

“Februari lalu pesantren kami ditutup oleh Front Jihad Islam. Mereka bilang kami baru boleh mengaji lagi jika sudah tobat dan menjadi laki-laki,” kata Yuni Sara, seorang waria penghuni Pesantren Al Fatah kepada Rappler, Senin, 26 Desember. 

Yuni Sara bias dipanggil dengan inisialnya, YS. Warga asli Yogyakarta itu merasa permintaan kelompok intoleran untuk memintanya beserta kawan-kawannya bertobat, tak mungkin dilakukan. 

“Saya tidak bisa beribadah seperti laki-laki, rasanya saya seperti tidak menjadi diri sendiri. Jika saya waria, apakah kemudian saya dilarang untuk berhubungan dengan Tuhan saya. Sesama ciptaan Tuhan kenapa melarang? Sedangkan Tuhan saja tidak melarang,” kata Yuni.

Ia mengatakan, intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh kelompok tersebut saat itu sempat membuat jemaah pondok pesantren ketakutan. Akibatnya, kegiatan mengaji mingguan vakum sesaat. Kondisi itu menyulitkan para waria yang selalu kuatir mengalami tindakan yang tak diinginkan jika beribadah di musala atau masjid umum. 

“Mau mengaji di musala dan masjid kami kuatir tidak diterima gurunya atau malah diusir jemaah lain,” kata Yuni.

Namun setelah beberapa saat vakum, kegiatan di pondok berangsur kembali berjalan, meskipun tak mudah meyakinkan para waria untuk datang minimal seminggu sekali untuk membaca Al-Qur’an dan berdiskusi dengan ustadz setempat. Butuh berberapa bulan untuk kembali mengadakan pengajian meskipun ritmenya belum bisa kembali seperti semula. 

Setidaknya sekarang ada tiga jemaah waria yang tinggal dan rutin mengikuti pengajian di pondok tersebut. 

“Mulai ada kegiatan sejak Ramadan kemarin, meskipun belum bisa rutin seperti sebelumnya. Kami mengaji dari pukul 16:30 WIB hingga Isya. Diawali membaca Al-Qur’an dan berakhir dengan tanya jawab dengan ustadz,” kata Yuni.

Aktivitas intoleran merebak

Suasana pelarangan acara nobar dan diskusi film dokumenter 'Pulau Buru: Tanah Air Beta' karya di sekretariat AJI Yogyakarta dalam rangka Hari Kebebasan Pers Dunia. Foto dari AJI Yogyakarta

Ancaman yang dialami oleh kelompok waria bukan satu-satunya yang terjadi di Yogyakarta sepanjang 2016. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mencatat terdapat 35 kasus pelanggaran sepanjang tahun ini, 10 diantaranya adalah pelanggaran hak sipil dan politik, serta 25 kasus pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. 

Tak berbeda jauh, Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBT), mencatat terdapat 23 kasus pelanggaran hak kebebasan beragama dan berkespresi yang dilakukan oleh kelompok intoleran di Yogykarta. Jumlah itu diyakini meningkat dibanding pelanggaran di tahun lalu.

“Sedikitnya ada dua kasus kebebasan beragama yang menimpa kelompok minoritas, dan kami tangani, yaitu gugatan pembangunan Goa Maria di Gunung Kidul dan aksi intimidasi kelompok waria di Ponpes Al Fatah,” kata Staf Advokasi Divisi Sipil dan Politik LBH Yogyakarta, Epri Wahyudi. 

Beberapa kasus lain tentang pembungkaman hak berekspresi juga terjadi di dalam wilayah kampus dan ruang publik, seperti pembubaran pemutaran film Senyap dan Pulau Buru: Tanah Air Beta yang masing-masing bertempat di lingkungan Universitas Gadjah Mada dan sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

Kedua film dokumenter tersebut membahas tentang penyintas dan keluarga korban dalam tragedi kemanusiaan 1965 silam.

Sedangkan aksi intoleransi di Yogyakarta yang paling akhir adalah intimidasi dan ancaman untuk menurunkan baliho mahasiswi Muslim berjilbab milik Universitas Kristen Duta Wacana.  

“Ada sentimen kebebebasan beragama dan berekspresi yang dijamin konstitusi negara, mendapat tekanan dari kelompok yang tak bertanggung jawab,’ kata Epri.

LBH Yogyakarta berharap sentimen tersebut tidak dibiarkan oleh aparat penegak hukum. Selama ini, menurutnya, aparat lebih cenderung merugikan korban dengan mengikuti kemauan kelompok intoleran. Sementara, menurutnya, aparat seharusnya menjadi kepanjangan negara, dalam melindungi kebebasan berekspresi warganya, seperti yang dijamin konsitusi. 

Jika kondisi tak berubah, dia khawatir Yogyakarta akan menjadi kota yang tidak toleran terhadap perbedaan dan keberagaman, hanya karena segelintir kelompok intoleran. 

Epri mengutip data milik Wahid Institute pada 2013, yang menyebutkan Yogyakarta menjadi provinsi intoleran kedua setelah Jawa Barat

“Seharusnya aparat penegak hukum menindak kelompok intoleran, bukan malah membubarkan korban. Jika polisi melakukan penindakan pada kelompok intoleran, maka kami rasa tidak akan terjadi masalah dengan penegakan demokrasi,” katanya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!