Ratusan WNI masih terancam hukuman mati di luar negeri

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ratusan WNI masih terancam hukuman mati di luar negeri
Sebagian besar dari mereka terlibat kasus pembunuhan dan penyelundupan narkoba

 

JAKARTA, Indonesia – Sebanyak 177 warga Indonesia masih terancam hukuman mati di luar negeri pada tahun 2017. Data itu diperoleh dari Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri.

Direktur Perlindungan WNI, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan sebagian besar warga Indonesia yang terancam hukuman mati merupakan TKI di negara-negara Timur Tengah dan Malaysia.

“Sebagian besar dari mereka diduga melakukan tindak pidana narkoba lalu diikuti terlibat kasus pembunuhan,” ujar Iqbal melalui pesan pendek kepada Rappler, Minggu, 8 Januari.

Dari data yang dimiliki oleh Direktorat yang dipimpin Iqbal juga terlihat 130 WNI terancam hukuman mati di Malaysia. Sedangkan, 20 WNI terbelit kasus hukum dengan ancaman pidana hukuman mati di Arab Saudi.

Lalu, apa yang menyebabkan banyaknya WNI terancam hukuman mati di luar negeri? Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Hermono mengatakan ini merupakan isu yang sulit dan tidak bisa disimplifikasi karena berurusan dengan manusia.

Dia menjelaskan tipologi kasus pidana dengan ancaman hukuman mati di Arab Saudi mayoritas karena TKI tersangkut kasus pembunuhan.

“Biasanya karena membunuh majikan atau anak majikan. Pada umumnya, TKI sudah merasa putus asa dalam menghadapi tekanan majikan kepada mereka. Sehingga muncul perasaan dendam dan niat untuk membunuh,” ujar Hermono yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Senin malam, 9 Januari.

Mereka berpikir dengan membunuh maka tekanan itu bisa berakhir. Sementara, dalam kasus ancaman hukuman mati di Malaysia, disebabkan banyaknya TKI terlibat dalam tindak penyelundupan narkoba. Seringnya lagi yang terjerat adalah kaum perempuan yang secara tidak sadar dijadikan kurir zat psikotropika itu.

“Mayoritas modusnya TKW ini berkenalan dengan pria kulit hitam asal Afrika. Didekati melalui media sosial lalu dijanjikan tiket penerbangan gratis untuk berlibur,” tutur Hermono yang juga pernah menjadi Wakil Dubes Indonesia di KBRI Kuala Lumpur.

Usai berlibur, TKW ini kemudian dititipi tas untuk dibawa ke negara tertentu. Perempuan yang sebagian besar tidak memiliki pendidikan tinggi itu, kemudian percaya dan tidak curiga terhadap isi di dalam tas.

“Tetapi, dari kasus yang kami tangani, ada juga sifat ingin mencoba sesuatu yang baru dengan berkenalan dengan orang baru dari benua lainnya seperti dari Senegal, Nigeria atau Kenya. Orang-orang ini tidak memiliki pendidikan tinggi dan mudah dipengaruhi. Memang terdengar naif, tetapi pada faktanya itu lah yang terjadi,” kata dia.

Bukan dikirim agen penyalur tenaga kerja

Hermono mengaku BNP2TKI sudah memberikan briefing kepada para TKI sebelum mereka diberangkatkan ke negara penempatan. Tetapi, dari data yang dia miliki, justru TKI yang terlibat kasus pidana malah bukan diberangkatkan oleh agen penyalur tenaga kerja.

“Mereka justru berangkat secara ilegal dan mandiri ke negara-negara di Timur Tengah. Modusnya semula dijanjikan akan dipekerjakan sebagai pelayan toko atau cleaning service. Tetapi, begitu tiba di Saudi, mereka malah dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga. Itu yang sedang kami selesaikan dengan Pemerintah Saudi,” ujarnya.

Diselesaikan di sini, kata Hermono, bermakna tengah dilakukan kerjasama di mana terjadi penyalahgunaan TKI ini. Banyaknya pengiriman TKI secara ilegal ke negara petro dollar itu juga tak lepas karena kebutuhan yang tinggi terhadap asisten rumah tangga. Apalagi TKI memang lebih disukai oleh majikan di Saudi.

“Makanya, Pemerintah Saudi cenderung tidak mempermasalahkan, karena pada faktanya untuk mendapatkan asisten rumah tangga di sana kan sulit. Ini, yang sedang kami tangani,” kata dia.

Selain menjalin kerjasama dengan negara penempatan, menurut Hermono, dibutuhkan juga satu pemahaman yang sama di antara departemen terkait di dalam negeri, baik itu otoritas bandara atau petugas imigrasi. Dia merasakan komitmen yang dipegang belum sama.

“Banyak yang itu bukan merupakan tanggung jawabnya. Jadi, ketika bertugas mengeluarkan paspor untuk seorang warga dengan modus umrah ke Saudi, tidak ditelusuri lebih lanjut apakah motifnya memang benar-benar itu,” ujar Hermono menjelaskan bentuk penyalahgunaan yang kerap terjadi.

Biasanya setelah menunaikan umrah, para TKI ini tidak kembali ke Tanah Air dan malah mencari kerja di Saudi.

Puluhan WNI juga terhindar hukuman mati

BEBAS. WNI Syarif Hidayat Anang (kiri) didampingi konsultan hukum KBRI ketika tiba di Tanah Air dari Saudi pada tanggal 6 Januari 2017. Syarif sempat tersangkut kasus pidana dengan ancaman hukuman mati dan berhasil dibebaskan oleh kuasa hukum KBRI. Foto: Kemlu

Kendati tahun ini masih tercatat ada ratusan WNI yang terancam hukuman mati, namun tahun 2016 pemerintah juga berhasil menghindarkan puluhan warga Indonesia dari hukuman tersebut. Data dari Kemlu menyebut sebanyak 71 orang berhasil dihindarkan dari hukuman mati sepanjang tahun 2016.

Terbaru di tahun 2017, KBRI di ibukota Riyadh, Saudi, berhasil membebaskan satu WNI bernama Syarif Hidayat Anang dari hukuman mati karena diduga membunuh temannya yang juga WNI, Enah Nurhasan.

Kasus itu terjadi pada tahun 2013 dan diduga dilakukan Syarif bersama tiga orang WNI lainnya di kota Ahsa, provinsi timur Arab Saudi. Sejak awal munculnya kasus ini, KBRI Riyadh sudah memberikan pendampingan hukum. Salah satunya dengan menugaskan pengacara Abdullah Al Mohaemeed yang memberikan pembelaan hingga tahun 2015.

Sementara, sejak Mei 2016, pembelaan dilakukan oleh konsultan hukum, Muhammad Ahmad Al-Qarni.

“Dari hasil pendalaman kasus oleh tim perlindungan WNI di KBRI, kami memiliki keyakinan bahwa Syarif tidak terlibat dalam pembunuhan tersebut. Maka, KBRI memberikan pembelaan yang all out untuk membebaskan Syarif,” ujar Koordinator Fungsi Konsuler KBRI Riyadh, Dede Rifai dalam keterangan tertulis Sabtu, 6 Januari.

Atas upaya tersebut, dari 4 orang tersangka, hanya Syarif yang dibebaskan dari hukuman mati. Tiga tersangka lainnya yang merupakan warga Arab Saudi tetap menyandang status itu.

Walau Syarif berhasil terbebas dari hukuman mati pada tanggal 12 Desember 2016, namun berkas keputusan baru diterima tanggal 3 Januari 2017. KBRI memulangkan Syarif ke Tanah Air pada 5 Januari. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!