Young Voices Indonesia: Memperjuangkan aksesibilitas kaum difabel kepada pemerintah

Amru Sebayang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Young Voices Indonesia: Memperjuangkan aksesibilitas kaum difabel kepada pemerintah

ANTARA FOTO

Membangun Jakarta yang ramah kaum disabilitas menuntut pemerintah memberikan ruang bagi partisipasi kaum disabilitas itu sendiri.

JAKARTA, Indonesia — Perempuan muda itu bernama Annisa Rahmania. Ia fasih menggunakan bahasa isyarat ketika menyampaikan ide-idenya dalam sebuah acara diskusi di kawasan Adityawarman, Jakarta Selatan, pada Rabu pekan lalu, 8 Februari. 

Annisa terlahir tuli, itu sebabnya ia tidak bisa berkomunikasi secara verbal. Ia memerlukan bantuan seorang penerjemah dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. 

Kendati demikian gagasan yang ia sampaikan tetaplah jernih dan solutif, tuntutannya pun jelas: meminta aksesibilitas untuk kaum difabel. 

“Masyarakat masih tidak memahami hak-hak disabilitas seperti apa. [Mereka] tidak tahu cara berinteraksi dengan teman-teman disabilitas,” kata Annisa melalui bantuan penerjemah. 

Annisa merupakan Ketua Umum Young Voices Indonesia, sebuah komunitas pemuda (16-25 tahun) dengan disabilitas yang bergerak dalam bidang advokasi dan pendidikan hak-hak disabilitas. Ia bersama rekan-rekannya terus menyuarakan hak-hak disabilitas di berbagai kegiatan lain.

Acara diskusi “Dengerin, Dong! Anak Muda Bicara Pilkada DKI” pada pekan lalu bukanlah yang pertama. Jauh sebelum itu, komunitas yang berdiri di bawah struktur Yayasan Wisma Cheshire ini sudah pernah menyuarakan suara kaum disabilitas melalui berbagai forum. 

“Masyarakat masih tidak memahami hak-hak disabilitas seperti apa. Mereka tidak tahu cara berinteraksi dengan teman-teman disabilitas.”

Di laman situs mereka setidaknya komunitas ini sudah berhasil mengirimkan beberapa perwakilan di ajang bertaraf nasional dan internasional, seperti the Indonesian Youth Conference dan the National Conference on UNCRPD (United Nations Convention on Rights for Persons with Disabilities). 

Komunitas ini aktif di dua kota besar, yaitu Jakarta dan Banda Aceh. Mereka rajin melakukan diskusi dan pendidikan mengenai hak-hak kaum disabilitas melalui presentasi ide ataupun melakukan focus group discussion dengan komuitas-komunitas lain. Selain itu, mereka juga sering berdiskusi untuk memahami isi dari UNCRPD, sebuah konvensi internasional untuk orang-orang dengan disabilitas. 

Dengan memahami UNCRPD, seorang disabilitas bisa memahami hak-haknya dalam sebuah negara. Ini yang diperjuangkan oleh Young Voice Indonesia, yaitu implementasi dari UNCRPD untuk mendukung aksesibilitas kaum disabilitas untuk menyelenggarakan sebuah kebijakan. 

Harapan kaum disabilitas kepada cagub DKI Jakarta

Pada Rabu, 15 Februari, nanti, setidaknya 5.000 orang dengan disabilitas di DKI Jakarta akan memilih pemimpin untuk lima tahun ke depan. Ini sangat krusial mengingat kaum disabilitas sering kali terpinggirkan proses pengambilan kebijakan bagi dirinya sendiri. Akhirnya, kebijakan yang diambil pun kadang hanya “asal jadi”.

“Ada guiding block, tapi masih tertutupi. Kadang tuna daksa juga kesulitan untuk menaiki bus. Ada ramp di beberapa tempat, tapi masih sulit [dinaiki],” tutur Annisa melalui bantuan penerjemah.

Selain infrastruktur yang masih kurang ramah kaum disabilitas, Annisa juga menjelaskan sumber daya manusia terkait pun belum memahami mereka. 

Seorang penyandang disabilitas mengikuti proses simulasi Pilkada DKI Jakarta di Taman Suropati, pada 28 Januari 2017. Foto oleh Akbar Nugroho Gumay/Antara

“Saya tuli, ketika saya ingin menaiki bus dan bertanya pada petugas, ia akan bingung melihat saya. Meski akses visual untuk teman-teman tuli sudah bagus, saya rasa SDM masih perlu ditingkatkan,” kata Annisa.

Dalam acara diskusi politik untuk anak muda itu, hanya terdapat sedikit perwakilan kaum disabilitas. Annisa sangat menyayangkan hal tersebut. Namun, menurutnya ini juga merupakan bukti ketidakpercayaan mereka pada pembuat kebijakan. 

“Hari ini masih sedikit perwakilan disabilitas yang datang, ini berarti mereka masih kurang percaya dengan calon-calon gubernur yang sekarang,” katanya.

Ia melanjutkan, “Pemerintah masih terpaku dengan teori. Kebijakan yang diambil masih begitu-gitu saja. Dan saya harap pemerintah tidak PHP [beri harapan palsu] kepada kami lagi,” ujarnya.

Menurut Annisa, isu aksesibilitas kaum disabilitas sangat penting untuk diangkat bagi siapapun yang akan menjadi gubernur nanti. Seorang difabel juga harus dilibatkan untuk membuat kebijakan karena ia yang mengetahui kondisi kaum disabilitas yang sebenarnya. Ia yang bisa menentukan pantas atau tidaknya sebuah infrastruktur bagi orang-orang sepertinya. 

Setidaknya harapan tersebut perlahan sudah mulai terwujud. Salah satu perwakilan Young Voices Indonesia sudah pernah mengikuti program magang di Balai Kota dan sempat memberi masukan untuk kebijakan terkait kaum disabilitas. 

Bagi Annisa, ini merupakan progress yang baik. Ia yakin bahwa dengan adanya orang dengan disabilitas di pemerintahan, pandangan tentang orang dengan disabilitas sendiri akan berubah. 

“Semisal, ketika disabilitas memberi masukan kepada orang lain dan didengar, orang akan merubah pandangannya tentang orang dengan disabilitas itu sendiri,” katanya.

Membangun Jakarta yang ramah kaum disabilitas menuntut pemerintah memberikan ruang bagi partisipasi kaum disabilitas itu sendiri. Annisa berharap, siapapun yang terpilih nanti bisa mengajak serta disabilitas membangun Jakarta. 

Bersama, ia yakin, kita pasti bisa mewujudkan kota yang ramah bagi kaum disabilitas. “Nothing about us, without us,” ujarnya. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!