Harapan pemilih pemula bukan melulu akademis

Amru Sebayang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Harapan pemilih pemula bukan melulu akademis

ANTARA FOTO

Bagi pemilih pemula ini, agama, umur, dan ketegasan bukan faktor penentu utama untuk mencoblos kandidat

JAKARTA, Indonesia — Sekitar 2,81 persen warga DKI Jakarta akan menggunakan hak suaranya untuk pertama kali dalam hidup mereka. Siapakah mereka? Mereka adalah pemilih pemula, yang baru menginjak usia 17 tahun ke atas menjelang Hari-H pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada Rabu, 15 Februari.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, jumlah pemilih pemula di DKI Jakarta ada lebih dari 199 ribu orang, di antaranya 102 ribu lebih laki-laki dan 97 ribu lebih perempuan. Mereka baru akan pertama kali mencoblos dalam pemilihan umum dan belum pernah terlibat kegiatan politik sebelumnya.

Meski angkanya “hanya” sekitar 2 persen, bukan berarti elite politik bisa memandang para pemilih pemula ini dengan sebelah mata. Merekalah yang akan menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Dengan melirik suara pemilih pemula, kemungkinan seorang kandidat menjadi pemenang dalam Pilkada juga lebih besar.

Lalu, isu-isu apa yang sebenarnya dianggap penting oleh para pemilih mula ini, sehingga mereka rela memberikan suaranya pada salah seorang pasangan calon? 

Potensi di luar akademis belum tergarap

Aldi (17 tahun) merupakan seorang pelajar di salah satu SMAN 38 di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ia mengaku bahwa tahun ini adalah tahun pertamanya ikut serta dalam pemilu. Namun, ia menyayangkan kebijakan pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang hanya berfokus pada kegiatan akademis dan belum merangkul kegiatan ekstrakurikuler. 

“Saya tidak memiliki pencapaian akademis yang baik, namun saya ikut serta dalam berbagai kompetisi karya ilmiah. Sayangnya belum ada kebijakan pemerintah yang mendukung kegiatan semacam ini,“ tutur Aldi yang telah beberapa kali mengikuti kompetisi karya tulis ilmiah tingkat nasional. 

Menurutnya, apresiasi Pemprov masih sangat kurang bagi orang-orang sepertinya. 

“Mereka [kawan-kawan Aldi yang juga ikut serta dalam kompetisi serupa] masih kurang diperhatikan ataupun dibantu dari segala sisi. Padahal, mereka juga punya potensi lain [di bidang non-akademis].“

“Harapan saya, siapapun yang terpilih nanti perlu memerhatikan setiap siswa dan sekolah. Sebab, mereka juga memerlukan bantuan. Tidak hanya bantuan ekonomi atau finansial, tapi juga dukungan untuk terus berkarya dan berkompetisi,” ujarnya.

Infrastruktur dan kemacetan

Berbeda dengan Aldi, Laila (17 tahun) sesama murid di SMAN yang sama, menyatakan isu infrastruktur masih sangat penting. Ia mencontohkan pengalaman pribadinya yang sering datang terlambat ke sekolah karena macet. 

“Pagi aja udah macet. Jalan-jalan di sekitar sini, tuh, harus dilebarin. Ada pelebaran [jalan], tapi hanya di satu titik, tidak sampai ke titik-titik yang lain. Ya, hasilnya macet-macet juga,“ kata Laila.

Ia juga menyayangkan minimnya fasilitas jembatan penyebrangan yang ada di sekitar sekolahnya. 

“Saya datang ke sekolah dari arah stasiun, kalau mau ke sekolah harus memutar cukup jauh, kalau ada jembatan penyebrangan saya bisa lebih mudah menyebrang dan datang tepat waktu ke sekolah,“ katanya. 

Bagaimana dengan agama, umur, dan ketegasan?

Setiap pasangan calon (paslon) gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta punya karakter sendiri yang menonjolkan karakter masing-masing. Di mata anak-anak muda ini, paslon nomor satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dianggap mewakili suara pemuda mengingat usia Agus yang termuda di antara kandidat lain.

Sementara paslon nomor urut 2, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat, menonjolkan karakter tegas memimpin kota, secara calon petahana ini sudah memiliki pengalaman mengurus kota Jakarta selama beberapa tahun terakhir. 

Sedangkan paslon nomor urut 3 memunculkan figur agamis dan religius. Lalu, apakah perbedaan karakter ini memengaruhi pemilih pemula?

Aldi tidak beranggapan demikian, baginya yang paling penting adalah program. Soal karakter mana yang paling pantas memimpin, ia tidak terlalu mempersoalkan. 

“Saya hanya ingin melihat kebijakan konkret dan bisa dijalankan supaya Jakarta maju,“ katanya. 

Anggapannya pun tetap sama ketika ditanya soal isu agama. “Saya rasa isu agama hanya isu semata. Saya tidak terpengaruh dengan soal itu,” ujarnya.

Tanggapan Aldi berbeda dengan Laila. Baginya, isu agama sangat penting. 

“Karena saya Muslim, saya tidak akan memilih yang berbeda dengan saya. Tapi itu tidak perlu dibesar-besarkan juga,” ujarnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!