Kapan perempuan bisa jalan sendiri dan pulang malam tanpa takut?

Tiara Dianita

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kapan perempuan bisa jalan sendiri dan pulang malam tanpa takut?
Pernah pulang malam? Naik kendaraan umum dan sendirian? Apa yang Anda rasakan?

Pernah jalan sendirian? Jalan di sekitar lawan jenis? Apa yang kalian rasakan? Kalau saya ingin muntah.

Saya perempuan, 21 tahun, dan keturunan Tionghoa. Panggilan-panggilan seperti ‘suit suit’, ‘Amoy’, ‘Cina’ sudah tidak asing lagi di telinga. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Si cantik  mau ke mana?’’ , “Kok sendirian aja?”, “Mau ditemenin nggak?”.

Yang paling ajaib, tiba-tiba mereka bisa berbahasa dan berlogat China pun bukan sekali dua kali saya terima. Kalau setiap kali mendapat pernyataan seperti itu saya mendapat uang, mungkin saya sudah bisa beli mobil sendiri.

Ada saatnya saya tidak peduli, tapi ada saatnya juga saya mulai lelah dan marah. Ada saatnya dimana saya hanya ingin berjalan kaki menuju tempat yang saya tuju tanpa diganggu. Apakah sulit melihat lawan jenis dan hanya diam saja?

Tapi yang paling saya sesalkan setelah flashback ke belakang, Tiara yg berumur 10 tahun juga pernah mengalami yang sama. Tapi dia berbeda, dia tidak marah, dia ketakutan. Dia belum mengerti apa itu seksis dan rasis, apalagi patriarki. Dia belum mengenal apa itu feminisme dan kesetaraan gender.

Yang dia tahu bahwa perempuan yang jalan sendirian pantas untuk dipanggil ‘suit suit’, ‘Amoy,’ ‘Cina’, dan tidak masalah saat dihujani pertanyaan “Si cantik mau ke mana? Mau ditemenin gak?”

Mungkin detik ini, jam ini, Tiara-Tiara kecil lain sedang mengalami hal yang sama. Mereka sedang ketakutan. Apa kita akan terus membiarkan? Mungkin ada yang berpendapat bahwa hal ini biasa, tidak merugikan negara. Coba saja jadi perempuan, jalan kaki sendirian 1 kilometer saja. Ada waktunya Anda ingin muntah.

Pernah pulang malam? Naik kendaraan umum dan sendirian? Apa yang Anda rasakan?

Kalau saya hanya bisa komat-kamit baca doa Al-Fatihah. Berita di televisi atau koran tentang pelecehan dan kekerasan seksual selalu melekat di kepala. Mungkin ada yang bertanya-tanya, ngapain anak perawan pulang malam-malam?

Coba saja hidup di ibu kota dengan segala hirup pikuk yang ada. Enak saja jadi perjaka, pulang malam pun tidak jadi omongan tetangga.

Selalu ada rasa takut di benak saya saat pulang malam. Suatu ketika saya pulang malam dengan mobil Uber. Saat saya masuk mobil, saya merasa takut karena melihat perawakan sopir itu yang terlihat kasar dan tiba-tiba saya teringat dengan berita-berita pemerkosaan.

Reflek saja, saya langsung mengirimkan nomor telepon sopir tersebut pada teman saya, siapa tahu benar asumsi saya dan saya masih bisa dilacak keberadaannya. Tapi malam itu saya aman dan bisa pulang ke rumah. Lalu saya sadar saya telah salah menilai orang hanya dari perawakannya saja.

Kasihan sekali sopir Uber itu dan kasihan sekali mereka yang baik dan tidak punya niat jahat sekali pun ditakuti hanya karena mereka laki-laki.

Lalu kapan bisa jalan sendirian dan pulang malam tanpa rasa takut? —Rappler.com

Tiara Dianita, mahasiswi yang  sebentar lagi lulus dan menganggap resah itu harus. Artikel ini sebelumnya diterbitkan di Magdalene.co.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!