Mengapa masyarakat harus berhenti menganggap pelecehan di jalan itu normal

Kennial Laia

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengapa masyarakat harus berhenti menganggap pelecehan di jalan itu normal

ANTARA FOTO

Penulis dilecehkan oleh anak-anak SMP saat berjalan sendirian. Mengapa pelecehan di jalanan harus berhenti?

Saat saya membuat tulisan ini, saya baru saja dilecehkan oleh dua orang berseragam SMP yang mengendarai sepeda motor. Saya sedang melewati sebuah jalan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tak jauh dari tempat tinggal saya saat sekonyong-konyong dari belakang saya dipanggil dengan sebutan “Kakak” dan “Sayang” disertai dengan bunyi klakson dan suara tawa mereka saat melalui saya.

Sontak, jantung saya terperanjat. Amarah saya langsung menggelegak namun saya tak berteriak, walau ingin sekali saya memaki mereka. Saya sadar energi saya hanya akan terbuang sia-sia, walau tak jarang saya kerap mengutuk mereka dengan suara keras. 

Ini bukan pertama bagi saya. Setiap hari, pelecehan jalanan adalah camilan sehari-hari bagi saya. Dimulai dari tukang parkir, sopir angkot, pemuda bermotor, pengendara mobil berwarna perak, dan masih banyak jenis lainnya. Namun pengalaman dilecehkan oleh anak bau kencur, yang usianya jauh lebih belia dari saya meninggalkan bekas mendalam dalam benak saya. 

(BACA: Melawan pelecehan di jalanan bersama Hollaback! Jakarta)

Geram, sedih, dan prihatin bercampur aduk. Betapa masyarakat kita sakit hingga dua orang anak SMP menganggap melecehkan perempuan di jalan raya hanyalah sebuah permainan yang lucu dan menggenjot tawa. 

Pelecehan di jalanan, atau catcalling, bukanlah hal baru di jalanan. Jika kamu mengumpulkan 10 orang perempuan dalam satu ruangan dan bertanya apakah mereka pernah mengalami catcalling, kamu bisa mendengarkan cerita mereka seharian. Seringkali bukan hanya pelecehan verbal yang diterima, namun juga pelecehan fisik, seperti memeras payudara dan menepuk pantat. 

Rata-rata yang melakukan pelecehan fisik di jalanan ini adalah pengendara sepeda motor. Tak percaya dan hendak bilang saya berlebihan? Saya bisa memberikan daftar panjang teman-teman saya yang mengalami pelecehan serupa, dimulai dari siulan, komentar mesum, ataupun disentuh tanpa izin.

Pelecehan jalanan itu apa?

KATAKAN TIDAK. Demonstran perempuan menginginkan keamanan saat bepergian dan berpakaian di jalanan. Foto oleh Diego Mahameru Batara/Rappler

Sebuah laporan berjudul “Unsafe and Harassed in Public Spaces: A National Street Harassment Report” oleh sebuah organisasi non-profit Stop Street Harassment (SSH) mendefinisikan pelecehan jalanan (street harassment) sebagai interaksi yang tak diinginkan di ranah publik antara dua pihak atau lebih yang tak saling kenal yang dimotivasi oleh gender, orientasi seksual, atau ekspresi gender yang menyebabkan korban pelecehan kesal, marah, malu ataupun takut. 

Pelecehan jalanan bisa terjadi di ruang publik seperti jalan raya, toko, transportasi publik, taman, ataupun pantai. Contoh pelecehan di jalanan ini adalah seperti yang saya sebut di atas. 

Street harassment adalah pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan bentuk kekerasan gender karena mengakibatkan korban, terutama perempuan, merasa tidak aman di area publik dan membatasi ruang gerak mereka. Pelecehan di jalanan dapat memengaruhi korban baik dari segi emosional maupun psikologis.

Di Amerika Serikat, menurut studi yang sama, pelecehan di jalanan adalah isu yang krusial. Sekitar 65% perempuan pernah mengalaminya. Sementara 57% mengalami pelecehan verbal dan 41% mengalami pelecehan di jalanan disertai elemen fisik seperti sentuhan tanpa izin. 

Bukan hanya perempuan, tetapi laki-laki juga mengalami pelecehan dengan angka 25%. Dari jumlah tersebut, lebih banyak laki-laki yang mengidentifikasi dirinya sebagai anggota kaum lesbian, gay, biseksual, transgender, queer (LGBTQ) yang mengalami street harassment. 

Street harassment merupakan pelanggaran HAM dan bentuk kekerasan gender karena mengakibatkan korban merasa tidak aman di area publik dan membatasi ruang gerak mereka.”

Angka-angka ini menunjukkan betapa perempuan dan kaum minoritas masih mengalami opresi bahkan di negara yang dianggap “progresif” sekalipun, seperti Amerika Serikat — sama dengan yang terjadi di Indonesia. Sialnya, di Indonesia, belum ada statistik yang mencatat jumlah pelecehan di jalanan.

Sehingga street harassment tak diatur secara spesifik dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual. Belum lagi debat sapi yang menganggap bahwa jika kamu dipanggil “cantik” atau “sayang” atau “seksi” di jalanan oleh orang tak dikenal, itu berarti pujian. Padahal jika dikaji lebih lanjut, pelecehan di jalanan tidak sesederhana itu. 

Pelecehan verbal maupun fisik di jalan menyebabkan gangguan psikis yang melelahkan. Laura Beth Nielsen, seorang profesor di bidang sosiologi di Northwestern University, mengungkapkan “Semua perempuan yang saya wawancarai dalam penelitian saya mengaku mengubah rute, tindak-tanduk, transportasi, atau pakaian untuk menghindari street harassment.”  

Ia menambahkan bahwa pelecehan di jalanan adalah perbuatan secara fisik dan psikologis yang mengintimidasi, mensubordinasi, dan memaksakan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Mengacu pada contoh Nielsen, di Jakarta, banyak teman-teman saya yang dilecehkan mengenakan pakaian tertutup ataupun berhijab. Walaupun tak bisa dijadikan sebagai pembenaran, nyata bahwa perempuan bukanlah faktor pelecehan di jalanan dan pelecehan seksual seperti yang didengungkan kaum-kaum misoginistik di media sosial. 

Rape culture adalah akarnya. Dan tidak, sama seperti pelecehan jalanan, rape culture bukanlah sesuatu yang normal dan dengan demikian menjadi norma. Tidak, pelecehan di jalanan harus berhenti, sama seperti bentuk kekerasan seksual lainnya di Indonesia, maupun di dunia.

Women’s March Jakarta 2017

Women’s March Jakarta (WMJ) yang dilaksanakan pada 4 Maret lalu adalah sebuah tonggak penting gerakan feminisme di Indonesia. Mengapa penting? Jawabannya sederhana. 

Saat saya menyusul teman-teman ke Monumen Nasional (Monas) hari itu, dengan membawa papan protes, saya malah di-catcall oleh beberapa polisi yang bertugas untuk melawan aksi Women’s March. Begitulah parahnya rape culture dalam masyarakat kita, sehingga polisi pun turut menjadi pelaku pelecehan di jalanan. 

Jawaban lainnya adalah berbagai komentar yang muncul di berbagai platform media sosial setelah aksi itu selesai. Opini miring dan komentar misoginistik bertebaran, walau tak sedikit pula yang mendukung gerakan tersebut. 

Namun, intisari dari gerakan ini adalah bahwa gerakan ini bukan sekadar kerikil yang nyemplung ke danau, menyebabkan riak yang sebentar lalu kembali tenang. Angka peserta WMJ yang mencapai ratusan menerbitkan harap dalam hati saya bahwa kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual dan pelecehan pada perempuan dan kaum minoritas lainnya mulai meningkat. 

Banyak pihak yang #MulaiBicara dan membuka diskusi di ruang-ruang kecil tentang isu ini. Women’s March memberikan harapan dan saya terus berharap bahwa gerakan perempuan di Indonesia suatu saat akan membuahkan hasil. Hingga akhirnya saya, teman-teman saya, perempuan dan kaum minoritas lainnya tak lagi dilecehkan di jalanan dan ruang mana pun baik oleh anak SMP maupun polisi di pinggir jalan. —Rappler.com

Kennial Laia adalah seorang aktivis sosial yang memiliki minat pada sastra, isu perempuan, dan hak asasi manusia.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!