Menguak pelaksanaan proyek e-KTP di bawah kepemimpinan Gamawan Fauzi

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menguak pelaksanaan proyek e-KTP di bawah kepemimpinan Gamawan Fauzi
Gamawan mengaku tidak tahu separuh anggaran proyek e-KTP telah dikorup.

JAKARTA, Indonesia – Mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi turut hadir sebagai salah satu dari delapan saksi dalam sidang lanjutan mega korupsi pengadaan KTP Elektronik pada Kamis, 16 Maret. Pria yang pernah menjabat sebagai Menteri selama empat tahun itu datang didampingi keluarga dan ajudannya.

Mengenakan kemeja putih, Gamawan terus menebar senyum kepada media. Sejak tiba di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Gamawan sudah menarik perhatian media lantaran dalam dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dia diduga menerima uang suap sebesar US$ 4,5 juta atau setara Rp 60 miliar dan Rp 50 juta. Angka itu menjadi nominal terbesar yang diterima oleh pejabat di Kementerian Dalam Negeri.

Selain ke Gamawan, uang proyek KTP Elektronik diduga juga mengalir lima orang lainnya di Kemendagri. Tiga di antara mereka, yakni Diah Anggraini, Irman dan Sugiharto ikut hadir sebagai saksi dalam sidang yang berlangsung selama hampir 12 jam.

Di hadapan majelis hakim, Gamawan mengatakan proyek pengadaan KTP Elektronik bukan lah insiatifnya. Dia mengaku hanya menjalankan tugas dari Mendagri sebelumnya, Mardianto yang telah memutuskan akan melakukan pembuatan KTP Elektronik secara nasional.

Gamawan mengaku sempat bimbang ketika Kementerian yang dia pimpin diminta untuk merealisasikan proyek tersebut. Dia beralasan sebagai orang baru di Jakarta tidak memahami cara mengerjakan proyek dengan anggaran Rp 5,9 triliun. Sikap enggan itu bahkan sudah disampaikan Gamawan di hadapan Wakil Presiden Boediono.

“Saya khawatir karena saya orang baru di Jakarta, sementara menurut Undang-Undang di Kemendagri siapa pun Menterinya, maka dia sekaligus bertindak sebagai pengguna anggaran,” ujar Gamawan menjawab pertanyaan Ketua Hakim Jhon Halasan Butar-Butar pada Kamis kemarin.

Sayangnya, Boediono tetap memutuskan agar proyek pengadaan KTP Elektronik dikerjakan oleh Kemendagri. Boediono ketika itu beralasan, Direktorat Jenderal yang menangani kependudukan sipil berada di Kemendagri.

Dari rapat tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan diterbitkan Keputusan Presiden untuk membentuk tim pengarah. Menurut Gamawan, tugas dari tim tersebut agar memperlancar proses pengerjaan KTP Elektronik agar dapat selesai tepat waktu.

“Karena data di KTP Elektronik rencananya juga akan digunakan untuk kepentingan pemilu pada tahun 2014,” kata Gamawan.

Selain tim pengarah, Kemendagri juga membentuk tim teknis proyek KTP Elektronik yang melibatkan 15 kementerian dan lembaga. Di dalamnya, tutur Gamawan, terdapat Kemenkominfo, Badan Intelijen Negara (BIN), kepolisian, lembaga sandi negara dan BPPT. Tim yang diketuai oleh Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri, Sugiharto itu bertugas memberikan masukan dalam pengerjaan proyek tersebut. Salah satunya mengenai teknologi yang digunakan.

Uniknya, walaupun Gamawan saat itu menjabat sebagai Mendagri, dia memilih mendelegasikan kewenangan kepada para pejabat eselon I dan eselon II untuk mengerjakan proyek KTP Elektronik. Gamawan mengatakan saat di bawah kepemimpinan Mardianto, anggaran yang diusulkan mencapai Rp 6,6 triliun. Dengan alasan telah mendelegasikan kewenangan, dia mengaku tidak tahu mengapa anggaran yang disepakati menjadi Rp 5,9 triliun.

Dia juga mengaku tidak tahu seandainya ada upaya penggelembungan anggaran dalam proyek KTP Elektronik tersebut.

“Saya tahu nominal anggaran semula saat itu Rp 6,6 triliun karena saya menemukan dokumen-dokumen pembicaraan Mendagri yang lama dengan Bapenas, Menteri Keuangan dan DPR. Itu untuk usulan 2011-2012,” kata dia.

Penerima Bung Hatta Award itu kemudian meminta adanya keterlibatan KPK untuk memantau Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek KTP Elektronik. Bahkan, sebelumnya, RAB sudah diaudit lebih dulu oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasilnya, kata Gamawan tidak ada hal yang mencurigakan, termasuk penggelembungan anggaran.

Ketua KPK saat itu, Busyro Muqodas meminta agar proses tender pengerjaan proyek KTP Elektronik dilakukan secara elektronik. Sistem tender itu kemudian rampung dalam kurun waktu 15-20 hari kemudian.

Belakangan, Kemendagri menetapkan pemenang tender proyek adalah konsorsium PNRI yang terdiri dari lima perusahaan yaitu Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra. Untuk mencegah kecurigaan ada praktik KKN, lagi-lagi Gamawan meminta agar proses pemenangan tender diaudit BPK. Padahal, saat itu sedang ada sanggah banding dari perusahaan yang dikalahkan melalui proses tender pada tanggal 5 Juni 2009.

Namun, Gamawan tetap meneken surat penetapan konsorsium PNRI sebagai pemenang tender pada tanggal 21 Juni 2009.

“Saya meneken surat penetapan pemenang itu usai berkonsultasi dengan Kepala Biro Hukum sesuai dengan Perpres nomor 55 dan 54,” kata Gamawan beralasan.

Diusulkan DPR

Masalah berkembang ketika sumber pendanaan proyek itu diubah dari Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi dana APBN. Menurut Gamawan adanya perubahan sumber anggaran atas permintaan DPR usai menggelar rapat kerja antara Kemendagri dengan anggota Komisi II pada tanggal 11 November 2009.

Dalam poin terakhir kesimpulan rapat, dijelaskan Komisi II meminta pada Kemendagri agar dalam alokasi dana untuk proyek KTP Elektronik diupayakan dari dalam negeri.

“DPR minta supaya diupayakan dengan anggaran APBN murni karena sebelumnya ada PHLN,” kata Gamawan.

Dia mengaku tidak ingat mengapa DPR meminta agar sumber anggaran diubah dengan menggunakan APBN.

“Tentu yang bisa menjawab mengapa sumber anggaran berubah dari hibah menjadi APBN adalah DPR. Yang lain saya tidak ingat termasuk siap saja anggota Komisi II DPR yang mengusulkan perubahan sumber pendanaan itu,” kata dia.

Kementerian, ujar Gamawan, hanya menggunakan anggaran tersebut. Yang membahas sumber pembiayaan adalah Menteri Keuangan dengan DPR.

Bantah terima uang

Nominal anggaran yang sangat besar dalam sebuah proyek dianggap oleh Majelis Hakim rentan disalahgunakan. Terlebih dalam persidangan, Gamawan mengaku tidak tahu jika ada uang dari anggaran senilai Rp 5,9 triliun itu yang tercecer dan masuk ke kantong pribadi. Dia mendasarkan pernyataannya itu pada laporan BPK yang diterimanya.

“Saya tidak pernah menerima laporan (dari BPK) ada uang negara yang tercecer hingga Rp 2,3 triliun. Saya juga tidak menerima laporan soal berapa anggaran yang digunakan untuk proyek pembuatan KTP Elektronik,” tutur Gamawan.

Pernyataan itu sempat membuat majelis hakim tak habis pikir. Lantaran posisinya yang saat itu sebagai nahkoda Kemendagri, namun malah terkesan tidak melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran.

Namun, Gamawan menolak dengan tegas jika disebut menerima sepeser pun uang dari proyek KTP Elektronik. Dakwaan KPK yang dibacakan pada sidang perdana pada Kamis, 9 Maret lalu dianggapnya tidak lebih dari sekedar fitnah.

Gamawan bahkan berani bersumpah akan dikutuk oleh Tuhan dan didoakan segera mati seandainya ada satu rupiah yang dia terima dari proyek KTP Elektronik.

“Kalau saya mengkhianati bangsa, saya mohon didoakan agar dikutuk oleh Allah SWT. Saya meminta tolong kepada rakyat Indonesia agar saya segera mati jika terbukti menerima uang US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta,” kata Gamawan dengan nada bicara emosi.

Dia mengklarifikasi uang Rp 50 juta itu diperoleh karena menjadi pembicara di lima provinsi. Sesuai aturannya, seorang Menteri akan diberi honor per jamnya Rp 5 juta.

“Kalau saya berbicara dua jam maka menjadi Rp 10 juta dan saya berbicara di 5 provinsi. Itu uang resmi,” katanya.

Sementara, uang senilai Rp 1,5 miliar yang pernah diterima dari saudara kandungnya, Afdal Noverman juga diklaim bukan hasil proyek KTP Elektronik. Menurutnya, uang itu merupakan pinjaman untuk kepentingan berkebun dan membiayai pengobatan kanker usus di Singapura.

“Uang sebesar Rp 1 miliar itu sudah pernah saya laporkan dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) sewaktu saya masih menjabat sebagai Menteri. Sedangkan, sisa Rp 300 juta dan Rp 200 juta diberi ketika saya sudah pensiun,” tutur dia.

Gamawan merinci uang Rp 1 miliar digunakan untuk membeli tanah di daerah Bogor. Sedangkan, biaya untuk beternak sapi memakan biaya Rp 300 juta. Sisanya yang Rp 200 juta dipinjamkan pada bulan November 2014 untuk menjalani rawat jalan di Singapura.

“Waktu itu usus saya dipotong dan harus mengkonsumsi obat mahal. Sementara, biaya operasi tidak bisa dibayar menggunakan asuransi karena biayanya yang mencapai ratusan juta,” kata Gamawan.

Alhasil, dia meminjam uang dari adiknya dan telah dilunasi dengan menjual tanah yang ada di Bogor.

Gamawan mengatakan Afdal bekerja sebagai seorang pedagang di Tanah Abang sehingga bisa meminjamkan uang dengan nominal yang sedemikian besar.

Proyek e-KTP molor

Kendati sudah memakan anggaran yang sangat besar dan melalui proses awal yang terkesan rapih, tetap tidak menjamin proyek tersebut selesai tepat waktu. Semula, proyek KTP Elektronik dijadwalkan rampung di akhir tahun 2012 sejak dikerjakan setahun sebelumnya.

Namun, yang terjadi pengerjaan proyek itu malah molor hingga Desember 2013. Yang lebih parah usai Gamawan lengser dari jabatannya pada 22 Oktober 2014, proyek itu tidak juga rampung.

Data perekaman yang semula ditargetkan 172 orang pun tidak tercapai. Menurut Gamawan, data publik yang terekam hanya sekitar 145 juta saja.

“Tapi, saya juga tidak ingat persis berapa data yang sudah terekam. Mungkin ada 145 juta. Tapi, kan juga ada pendataan yang dilakukan secara offline bagi warga yang tinggal di daerah terpencil,” tutur Gamawan.

Hakim pun semakin gemas lantaran kendati banyak uang yang telah dikorup tetapi proyek pengadaan KTP Elektronik tidak rampung. Dia kemudian mempertanyakan kepada Gamawan di mana letak kekeliruan dari pelaksanaan proyek tersebut.

“Yang Mulia, laporan (keuangan) itu sudah diperiksa oleh BPK sebanyak tiga kali dan tidak ada kekeliruan,” kata dia.

Gamawan pun mengaku tidak tahu bagaimana pertanggung jawaban laporan keuangan yang dibuat oleh bawahannya usai diketahui separuh dari anggaran proyek malah dikorup. Pengunjung terlihat menggeleng-gelengkan kepala saat mendengar Gamawan yang banyak tak mengetahui perihal raibnya separuh anggaran tersebut.

Sidang mega korupsi pengadaan KTP Elektronik akan kembali dilanjutkan pada Kamis pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi. Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irene Putri, mengatakan dalam persidangan hari Kamis kemarin, mereka hanya ingin membuktikan perbuatan dari terdakwa Irman dan Sugiharto.

“Persidangan masih panjang, karena kami masih akan memanggil total 133 saksi,” katanya usai persidangan. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!