Indeks Kebebasan Pers Sedunia: Kerisauan Indonesia dalam peringkat yang lebih baik

Rika Kurniawati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jakarta akan menjadi tuan rumah peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 1-4 Mei 2017

JAKARTA, Indonesia — Peringkat Indonesia pada Indeks Kebebasan Pers Sedunia tahun ini naik enam peringkat ke 124. Dalam indeks yang dirilis pada Rabu, 26 April 2017, berada tepat di bawah Qatar dan di atas Angola. 

Tahun lalu, Indonesia berada di peringkat 130, tepat bawah Algeria. 

Namun pada awal 2017, dua orang netizen di Algeria dipenjarakan. Negara tersebut kemudian turun peringkat menjadi peringkat 134 pada indeks tahun itu. 

Meski mengalami peningkatan, kenaikan peringkat Indonesia juga dikarenakan negara-negara lain mengalami situasi yang lebih buruk. 

“Secara keseluruhan, situsai memburuk di hampir dua pertiga negara (62.2 %) dari 180 negara,” demikian bunyi rilis yang dikeluarkan oleh Reporters Without Borders

Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat kepolisian dan TNI

Awal 2017 memang sedikit melegakan bagi kebebasan pers di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga belum mendapatkan laporan kekerasan pada jurnalis di Indonesia dari awal 2017 hingga April ini. 

Namun kejadian kekerasan pada jurnalis di tahun-tahun sebelumnya masih menjadi kerisauan tersendiri. Human Rights Watch (HRW) menggarisbawahi kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang sampai sekarang proses hukumnya belum jelas.  

“Saya mendapat pelajaran. Lebih baik sangat hati-hati kalau meliput polisi. Mereka bisa menyerang tanpa alasan. Waktu itu sangat kacau. Kami para wartawan harus bisa jaga diri sendiri.”

Pada November 2014, fotografer Tempo Group, Iqbal Lubis; dan videographer Metro TV, Vincent Waldy; mengalami kekerasan yang diduga dilakukan oleh sejumlah anggota kepolisian. Saat itu keduanya sedang meliput demonstrasi mahasiswa di Makassar terkait kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). 

Keduanya kemudian melapor pada pihak kepolisian. Namun sampai sekarang belum ada kejelasan terkait penyelesaian kasus tersebut. Belum jelas apakah oknum pelaku sudah mendapatkan hukuman. 

Baik Iqbal maupun Vincent dilaporkan mengalami trauma setelah dua kejadian itu. 

Tiga bulan setelah itu, saya menghindari area sekitar Mapolrestabes Makassar. Saya trauma. Sampai sekarang polisi yang menghajar para mahasiswa dan wartawan tidak diadili,” ujar Iqbal kepada HRW, seperti dikutip dari laporan lembaga tersebut menjelang Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei mendatang.

Vincent pun demikian. Ia mengatakan, lebih baik bagi para wartawan untuk lebih bersikap hati-hati saat meliput kepolisian.

“Sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari kepolisian. Saya mendapat pelajaran. Lebih baik sangat hati-hati kalau meliput polisi. Mereka bisa menyerang tanpa alasan. Waktu itu sangat kacau. Kami para wartawan harus bisa jaga diri sendiri,” ujar Vincent dalam laporan HRW yang berjudul Indonesia: Wartawan Dalam Ancaman itu.

Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) juga terjadi di Medan pada Agustus 2016. 

Array Agus, wartawan harian Tribun Medan; dan Andri Syafrin Poerba; kamerawan MNC News Group; juga masih menunggu keberlanjutan kasus itu. 

“Di mana keadilan? Apa ada kekebalan hukum? Ada yang ditutup-tutupi? Saya belum bisa bekerja kembali…,” kata Array. 

“Dulu saya wartawan yang aktif, sekarang saya hanya bisa di rumah. Belum lagi masalah psikologis. Terkadang saya menangis di malam hari, saat melihat anak-anak saya tertidur.”

Array sudah memberikan kesaksian untuk kali keempat di markas POM AU pada November 2016, namun progres masih belum diketahui jelas. 

“Human Rights Watch belum bisa memperoleh informasi mengenai kemajuan dalam penetapan tersangka dan peradilan anggota TNI AU yang menyerang Argus,” begitu bunyi pernyataan HRW melalui laman resminya.

PERS BEBAS. Jurnalis dari berbagai media di Surabaya, Jawa Timur, merayakan Hari Kebebasan Pers Dunia di depan Kebun Binatang Surabaya pada 3 Mei 2016. Foto oleh Martudji/Rappler

Sonny Misdianto, wartawan NET TV, pada Oktober 2016 juga mengalami kekerasan oleh anggota Batalyon Infanteri Para Raider 501 Kostrad saat meliput di Madiun. 

Setelah mengalami intimidasi, Sonny dengan berat hati memutuskan untuk “menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan”. Tuntutan Sonny yang ada di dalam persetujuan penyelesaian secara kekeluargaan tidak dipenuhi seluruhnya. 

Kekerasan yang diterima membuat Sonny menganggap “kebebasan pers di Indonesia adalah omong kosong”.

Selain kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI, juga ada masalah kebebasan pers di Papua. 

Kebebasan melakukan kegiatan jurnalistik dinilai masih sulit dilakukan di sana, khususnya terkait topik sensitif seperti perampasan lahan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). 

Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 di Jakarta 

Dengan catatan kasus yang mencoreng kebebasan pers di Indonesia, HRW menilai peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia 2017 yang akan diadakan di Jakarta Convention Center, Jakarta Selatan, harus memberi dampak besar bagi tuan rumah. 

“Kemajuan yang dicapai Indonesia dalam hal kebebasan pers sejak Presiden Suharto mundur, takkan berlanjut jika pemerintah tak segera menanggapi secara tegas setiap kali wartawan dan organisasi media dilecehkan atau menjadi korban kekerasan,” kata HRW. 

Dalam kesempatan yang sama, HRW mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk bertindak lebih tegas. 

“Untuk memastikan agar hukum yang melindungi para awak media ini ditegakkan, Jokowi harus mendesak lembaga-lembaga negara, khususnya Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia, untuk menerapkan kebijakan yang sama sekali tak memberi toleransi pada kekerasan terhadap wartawan,” kata mereka.

Peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia akan diselenggarakan di Jakarta pada 1-4 Mei 2017. Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan, Presiden Jokowi akan hadir dalam puncak peringatan.

Yosep berharap, pihak kepolisian dan TNI ikut ambil bagian dalam acara itu demi meniadakan kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oknum anggota institusi-institusi tersebut.

“Kami akan mengundang seluruh Kadispen [Kepala Dinas Penerangan] dan Kapuspen Mabes [Kepala Pusat Penerangan Markas Besar] untuk bisa hadir di JCC,” kata Yosep saat menjadi pembicara di Forum Koordinasi dan Konsultasi Menkopolhukam: Kekerasan terhadap Wartawan Saat Menjalankan Tugas Jurnalistik, pada 12 April lalu. —Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!