Dua kali menjadi korban eksibionisme lelaki

Nur Fahmia

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dua kali menjadi korban eksibionisme lelaki
'Saya justru merasa kasihan pada lelaki yang terjebak oleh nafsunya sendiri. Mata pelajaran sosiologi hanya memberi tahu teori eksibisionisme, tanpa mengajari bagaimana cara menghadapinya'

JAKARTA, Indonesia — Saya kembali menjadi korban eksibisionis lelaki untuk yang kedua kalinya.

Terakhir kali musibah ini menimpa saya yaitu pada Senin, 1 Mei, lalu. Ketika itu saya sedang menuju Balai Sidang JCC, Jakarta Selatan, untuk mengikuti workshop yang diselenggarakan oleh Rappler dan UNESCO.

Tiba di Jakarta pada pukul 7 pagi, saya diantar oleh sopir ojek online. Berhubung kepagian dan meja registrasi belum dibuka, saya pun menghabiskan waktu untuk berjalan kaki menuju stadion Gelora Bung Karno (GBK). 

Sendirian, saya berjalan melewati trotoar tepi pagar proyek bangunan yang sedang berlangsung di sana. 

Tetiba, di depan saya ada seorang pria yang memanggil saya, “Pssst…”

Ia muncul begitu saja dari gerbang proyek bangunan yang saya lewati. Hari masih pagi dan suasana di sekitar GBK masih sepi. Cuma ada saya sendiri yang jalan di trotoar itu.

Dan… tanpa diduga, lelaki itu memamerkan kemaluannya di hadapan saya!

Kaget, saya pun berjalan tergesa melewati gerbang itu. Tak lama kemudian, pria yang sama kembali meng-pssst-kan saya. Saya mendengar langkah kaki dari belakang. Sontak saya pun berlari ke arah trotoar samping.

Alhamdulillah, di trotoar itu ada beberapa orang berlalu lalang yang sedang jogging pagi. Ketika saya menoleh ke belakang untuk mengecek apakah lelaki itu masih mengikuti saya, syukurnya tidak. Ia sudah masuk ke dalam lokasi proyek bangunan tadi.

Masih terkejut, saya berlari ke arah GBK yang ramai dan menemui sejumlah orang yang sedang bermain bulu tangkis. Saya mencoba menenangkan diri, duduk di atas rerumputan sambil memandangi warga yang sedang berolahraga.

Sebelumnya, kejadian serupa pernah menimpa saya pertama kali di Magelang pada 2013 lalu. Ketika itu saya masih SMA. Bersama seorang teman sekolah, saya hendak pulang berjalan kaki di sebuah kampung area atas SMA.

Hari itu masih siang bolong. Sepi. Lalu datanglah seorang bapak naik motor dan bertanya di mana lokasi WC terdekat. Mencoba menolong orang, saya pun menjawab pertanyaan bapak tersebut. 

Ketika orang bertanya pada kamu, apa yang kamu perhatikan? Tentu wajahnya, dong. Tapi setelah selesai bertanya-jawab, mata saya tertuju ke bagian bawah bapak itu. Dan… tanpa diduga, ia sudah melepaskan ritsleting celananya!

Kemaluannya pun terlihat oleh kami. Sungguh kejadian yang tidak mengenakkan.

Atas dua kejadian ini, saya prihatin sekaligus marah. Untuk kejadian yang di Jakarta, saya mencoba memahami kemalangan lelaki itu.

Mungkin karena ia bekerja di proyek bangunan yang pekerjanya semua kaum lelaki, ia tidak bisa melampiaskan nafsu duniawinya. Padahal pada hari itu, saya berpakaian biasa saja. Saya mengenakan kerudung, kemeja, dan celana jeans yang tidak ketat.

Sepertinya, mau memakai pakaian apapun, mungkin pelaku pelecehan seksual tidak akan peduli. Asal lihat perempuan, mereka bisa dijadikan target.

Saya justru merasa kasihan pada lelaki yang terjebak oleh nafsunya sendiri. Mana kejadiannya pagi-pagi pula. 

Sedangkan untuk bapak yang di Magelang, saya masih tidak mengerti kenapa dia berani melakukannya kepada anak sekolahan di siang bolong. Padahal kami masih mengenakan seragam SMA.

Bagi kaum perempuan, berhati-hatilah. Siapkan diri kalian jika berjalan sendirian di tempat sepi, baik malam hari maupun pagi atau siang.

Saya sebenarnya bisa saja berteriak, tapi ketika terjadi secara tiba-tiba, sudah keburu kaget dan shocked. Efek shocked ini yang membuat suara saya tercekat dan tak bisa berkata-kata. Sudah takut duluan.

Kita enggak akan pernah tahu bahwa pelecehan seksual bisa terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Semoga yang saya ceritakan ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun, karena di sekolah kita tidak pernah diajarkan bagaimana menghadapi orang-orang eksibisionis.

Mata pelajaran sosiologi hanya memberi tahu teori eksibisionisme. Sebatas definisi, tanpa mengajari bagaimana cara menghadapi mereka. —Rappler.com

Nur Fahmia adalah mahasiswi sastra Indonesia. Ia dapat ditemui di Instagram @nfmia dan Twitter @Nurings.

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!