Resiliensi terhadap teror

Nova Riyanti Yusuf

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Resiliensi terhadap teror

ANTARA FOTO

Membangun komunitas yang kuat dan inklusif akan meningkatkan resiliensi individu, dan menjadi bagian dari komunitas dapat membantu penyintas bencana mengatasi stres dan kembali pulih kepada level sebelumnya

Bulan Ramadan adalah bulan yang suci. Logikanya, dalam bulan Ramadan para iblis pun “bebas tugas”. Namun persiapan mental dan spiritual warga DKI Jakarta yang akan memasuki bulan Ramadan 2017 pun sempat mengalami disrupsi akibat bom bunuh diri yang terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Disrupsi bisa berupa serangan, kecelakaan, atau bencana alam. 

Tragedi ini hanya berselang beberapa hari setelah kasus bom di Manchester, Inggris, saat berlangsungnya konser Ariana Grande sehingga serangkaian agenda konser ke depan pun dihentikan tanpa kejelasan waktu. Tentunya sebagai umat manusia, kita hanya mampu berharap agar bulan suci Ramadan mampu menjadi faktor protektif dari aksi terorisme.

Beberapa pemberitaan dan pernyataan pakar bidang terorisme mengatakan bahwa Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengklaim terjadinya bom bunuh diri di Kampung Melayu. Namun apakah bulan suci dapat mencegah serangan teror selanjutnya?

Mempelajari rekam jejak ISIS, maka ISIS telah menyebabkan bulan suci Ramadan 2016 sebagai bulan puasa paling berdarah dalam sejarah:

  • Bom yang meledak di Bangladesh membunuh 4 orang
  • Bom bunuh diri membunuh 300 orang di Baghdad
  • Serangan di bandara Istanbul membunuh 45 orang
  • Penyanderaan di Bangladesh berujung kematian 22 orang
  • Bom di Afghanistan membunuh 64 orang
  • Penembakan massal di sebuah klab malam gay di Orlando membunuh 49 orang

(BACA: LINI MASA: Serangan teror di penjuru dunia)

Tidak untuk menakuti, tetapi begitulah ISIS. Bagus sekali upaya kita ber-jargon “Kami Tidak Takut”, tetapi minimal disertai pemahaman dengan cara apa kita bisa melatih perasaan tidak takut tersebut. 

Serangan teroris dan senjata destruksi massal (weapons of mass destrucion/WMD) sangat mungkin meningkatkan dampak psikologis oleh karena peristiwa terjadi tanpa ada peringatan, peristiwa berskala besar, adanya rasa takut dan ketidakpastian (tentang akan terjadi serangan berikutnya), ketidakpahaman tujuan serangan, dan siapa pelakunya (termasuk siapa yang dituju). 

“Kembalinya penyintas ke pekerjaan, pendidikan, dan aktivitas lainnya setelah sebuah bencana katastrofik akan memberikan kepada mereka aktivitas bermakna dan adaptif.”

Pada awal Mei 2017, saya bertolak ke Mesir untuk sebuah tugas, yang mana hanya berselang 3 minggu setelah kejadian ledakan dua bom yang terjadi di Mesir. Salah satunya terjadi di sebuah gereja koptik tepat bersebelahan dengan gereja Katedral di Kairo.

Ada sebuah perasaan was-was, namun setelah berkonsultasi dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), terbangun sebuah keyakinan untuk mengunjungi Mesir dengan syarat menghindari situs-situs budaya yang ramai di luar Kairo. 

Di dalam penerbangan Jakarta–Singapura–Abu Dhabi–Kairo, paling menarik adalah karakteristik penumpang dari Abu Dhabi menuju Kairo. Ibu saya duduk bersebelahan dengan seorang perempuan dari Indonesia yang bercerita bahwa ia bersama rombongan yang akan mengikuti kebaktian di gereja Katedral. 

Saat saya menguping, sepertinya rombongan ibu tersebut cukup banyak. Kemudian saya melihat sekeliling dan tampak juga pada sisi lain pesawat penumpang dari Indonesia dengan pakaian gamis lengkap dengan sorban. Sejenak saya merasakan Indonesia yang saya kenal sejak saya masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak, kentalnya ke-bhineka-an Indonesia dalam perjalanan 4 jam dari Abu Dhabi menuju Mesir. 

Setibanya di Kairo terdapat banyak sekali baliho “Pope of Peace, In Egypt of Peace”. Saya rasa konten tersebut memberikan inspirasi bahwa sugesti dapat ditanamkan dalam kalimat positif seperti kata “Peace” atau perdamaian.

Bahkan dalam sugesti sebuah relaksasi tidak boleh ada kata yang berkonotasi negatif seperti “tidak” atau “jangan” atau “bukan”. Saya juga melihat sebuah billboard raksasa bertuliskan “1.000.000 workers from the city of Sharm El Sheikh wish you a safe trip home” yang didedikasikan untuk Pope Francis (Paus Fransiskus). 

Saat akan mengunjungi sebuah pertemuan di Universitas Ain Shams, Kairo, saya melewati bagian depan gereja Kathedral, tampak sekali pengamanan yang ketat. Saya nekad turun untuk mengabadikan momen tersebut, spontan polisi pun mendatangi saya dan meminta foto tersebut dihapus. 

Saya tinggal di sebuah hotel di derah Giza yang mana bulevar di depan hotel begitu panjang dan padat merayap. Suatu pagi saya membaca berita dari media-media online yang saya rasa cukup terpercaya, namun ketika saya berbincang dengan salah satu pelayan restoran hotel, ia menjadi sangat resisten ketika saya tanya apakah benar bahwa semalam ada polisi yang tertembak oleh teroris. Ia pun setengah panik dan mengatakan bahwa berita-berita itu sering berisi kebohongan. Saya berusaha tidak memperpanjang.

Simpatisan dan keluarga korban bom Kampung Melayu melakukan aksi simpatik di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, pada 28 Mei 2017. Foto oleh Rivan Awal Lingga/Antara

Tidak banyak literatur ilmiah yang menjelaskan tentang respon pelayanan kesehatan jiwa pasca pemboman, baik respon cepat segera setelah pemboman maupun kebutuhan kesehatan jiwa jangka pendek dan panjang bagi penyintas. Penyintas di sini termasuk individu yang terkena dampak langsung pemboman, maupun komunitas di mana peristiwa pemboman itu terjadi. 

Di Amerika Serikat, penyediaan layanan kesehatan dalam menghadapi bencana baru ada sejak 1970. Diikuti program kesehatan jiwa masyarakat pertama pasca pemboman kota Oklahoma pada 1995, yang diberi nama Project Heartland dengan intervensi jangka pendek dan jangka panjang bagi penyintas dari sebuah peristiwa serangan teroris yang besar. Penyediaan perawatan semacam ini juga terus berkembang dengan adanya peristiwa 9/11 di New York dan pemboman saat maraton di Boston. 

Data-data pun mulai bisa menunjukkan bahwa terdapat 4-50 korban psikologis untuk setiap korban fisik dalam sebuah serangan teroris. Sebuah survei satu minggu pasca pemboman World Trade Center (9/11) bahwa 44% orang dewasa dan 35% anak mengalami satu atau lebih gejala stres traumatis yang substansial. Mayoritas individu yang mengalami peristiwa traumatis memiliki reaksi sementara dan pulih kembali ke fungsi pra-peristiwa dalam waktu dua tahun setelah kejadian tanpa intervensi. 

“Membangun komunitas yang kuat dan inklusif akan meningkatkan resiliensi individu, dan menjadi bagian dari komunitas dapat membantu penyintas bencana mengatasi stres dan kembali pulih kepada level sebelumnya.”

Diperkirakan 10-15% persen atau lebih mungkin memiliki reaksi berat yang berlanjut dari waktu ke waktu dengan gejala berupa ketakutan dan kecemasan akan keamanan pribadi, gangguan tidur termasuk mimpi buruk dan kilas balik, kekhawatiran akibat terpisah dari keluarga, kebutuhan membicarakan kejadian dan perasaan yang terkait dengan bencana, dan perasaan perlu menjadi bagian dari masyarakat dan upaya pemulihan bencana.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) DKI Jakarta menurunkan tim psikiater untuk melakukan assessment awal satu hari pasca pemboman dan dari 4 orang penyintas bisa ditemukan reaksi stres akut berupa mudah terkejut dan siaga, kilas balik, sulit tidur, mengumpat karena marah, membisu, dan menangis. Bencana memperburuk kerentanan pada individu dan populasi, tetapi penyintas bencana dengan gangguan jiwa sebelumnya berfungsi cukup baik jika pelayanan yang mendasar tidak terganggu. 

Terlepas dari pemboman di Kampung Melayu dilakukan ISIS atau bukan, namun dalam konflik kemanusiaan yang berkepanjangan, perebutan hak atas sumber daya alam, upaya mereguk nikmatnya kekuasaan, atau pesan-pesan kebencian yang tidak selalu kasat mata, maka hampir bisa dipastikan bahwa aksi terorisme masih terus akan menjadi sebuah opsi komunikasi antar manusia. 

Kemampuan Psychological First Aid (PFA) tampaknya cukup penting untuk dimiliki individu. PFA merupakan serangkaian keterampilan perawatan dasar bersifat praktis dan non-intrusive. 

PFA fokus pada mendengarkan, mengenali, dan memenuhi kebutuhan dasar dengan tujuan untuk mengurangi dampak negatif dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan jiwa yang lebih buruk akibat bencana atau situasi kritis. PFA juga menguatkan kemampuan individu untuk melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, serta memperkuat proses pemulihan.

PFA bisa diberikan kepada setiap kelompok usia dan bisa dilakukan oleh siapapun yang telah memiliki pengetahuan atau mendapat pelatihan termasuk masyarakat awam. Sangat dibutuhkan sebuah program, organisasi, atau sistem yang dapat menginformasikan dampak trauma yang luas dan memahami kebutuhan individu untuk pemulihan melalui langkah pertama seperti PFA. 

Salah satu kata yang sangat penting saat berbicara bencana katastrofik adalah resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan untuk mempersiapkan dan beradaptasi terhadap kondisi perubahan agar mampu bertahan dan pulih secara cepat dari disrupsi. 

Kembalinya penyintas ke pekerjaan, pendidikan, dan aktivitas lainnya setelah sebuah bencana katastrofik akan memberikan kepada mereka aktivitas bermakna dan adaptif. Individu yang resilien memiliki 3 karakteristik yang menentukan, yaitu mereka bisa menerima dengan tenang dan santai realita berat yang dihadapinya, mereka menemukan makna pada masa-masa sulit, dan mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk berimprovisasi menyelesaikan masalah. 

Jika PFA juga perlu dilatih, maka resiliensi atau ketangguhan juga membutuhkan ketersediaan informasi sebelum bencana terjadi, penjelasan tentang integrasi sosial, demonstrasi untuk menyampaikan pesan simbolik melawan terorisme (di Jakarta seperti #KamiTidak Takut) dan pengembangan kompetensi komunitas yang menumbuhkan rasa memiliki komunitas.

Membangun komunitas yang kuat dan inklusif akan meningkatkan resiliensi individu, dan menjadi bagian dari komunitas dapat membantu penyintas bencana mengatasi stres dan kembali pulih kepada level fungsi sebelumnya. Bukti empiris telah menunjukkan bahwa keterkaitan dengan orang lain, termasuk keterkaitan dengan komunitasnya, meningkatkan perilaku kesehatan saat dan setelah bencana. 

Dengan potensi teror yang masih akan terus mengintai, justru komunitas yang segregatif harus segera merekatkan diri. DKI Jakarta harus bisa menjadi percontohan nasional tentang kesiapan PFA dan resiliensi masyarakat sebagai implementasi upaya preventif yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. —Rappler.com

Nova Riyanti Yusuf adalah Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang DKI Jakarta.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!