restaurants in Metro Manila

Nasib pecandu anak di rumah rehabilitasi narkoba

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nasib pecandu anak di rumah rehabilitasi narkoba
Tanpa disadari, bahaya anak menjadi pecandu narkoba sudah membayangi. Bagaimana mereka bisa terjebak menjadi pecandu narkoba? Bagaimana menangani mereka?

SURABAYA, Indonesia — Rumah dua lantai di kawasan Rungkut Pandugo, Surabaya, itu sekilas tak ada bedanya dengan rumah penduduk lainnya. Tak ada pagar tinggi yang menghalangi penghuni untuk keluar rumah. Pun, tak ada penjaga yang bersiap di depan pagar. Padahal rumah ini dijadikan sebagai rumah rehabilitasi untuk pecandu narkoba.

“Awalnya penduduk sekitar memang menolak keberadaan kami. Mereka kaget, karena yang datang kemari banyak yang punya tato. Tak hanya laki-laki, tapi perempuannya juga. Mereka kira ini rumah kriminal,” kata Munieb Mujianto, penanggungjawab Rumah Sehat Orbit Surabaya (RSOS), kepada Rappler. 

RSOS berada di bawah Yayasan Orbit. Sejak 2012, mereka mempunyai rumah rehabilitasi untuk pecandu narkoba. Pesertanya kebanyakan masih rujukan dari polisi dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Sedangkan peserta rehabilitasi yang datang sendiri secara sukarela masih jarang. Kalau pun ada jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.

Di tempat ini, peserta menjalani rehabilitasi kecanduan narkoba dengan enam bulan terapi. Tiga bulan menjalani rawat inap, sedangkan tiga bulan berikutnya peserta cukup jalani rawat jalan. Lama rawat inap selama tiga bulan pun bukan menjadi patokan. Karena tak jarang ada juga peserta rehabilitasi yang jalani rawat inap kurang dari tiga bulan.

”Awalnya penduduk sekitar memang menolak keberadaan kami. Mereka kaget, karena yang datang kemari banyak yang punya tato.”

“Tergantung progress report mereka. Kalau misalnya memang sudah baik, kenapa kami harus menahan sampai tiga bulan? Kasihan mereka. Kalau mereka keluar lebih cepat, kita akan laporkan ke polisi dan BNN kalau mereka memang rujukan,” kata Munieb.

Ia berkata, jangan membayangkan bahwa selama tiga bulan menjalani rawat inap, peserta rehabilitasi bakal mengalami hari-hari yang tak menyenangkan di rumah rehab ini. Metode rehabilitasi kecanduan narkoba di rumah ini mengombinasikan dua metode, yaitu metode 12 Langkah dan therapy community

Metode therapy community menekankan kedisiplinan. Sementara metode 12 Langkah lebih mengedepankan pada instrospeksi diri.

Metode 12 Langkah mirip dengan Alcohol Anonymous di Amerika Serikat yang seperti yang sering digambarkan oleh film-film Hollywood. 

Rumah rehabilitasi zaman dulu, kata Munieb, memang lebih banyak menggunakan metode therapy community yang menekankan pada kedispilinan, bahkan bisa dibilang semi-militer. Namun sekarang, banyak rumah rehabilitasi, terutama yang berbasis pemulihan adiksi berbasis masyarakat (PABM), yang menerapkan metode kombinasi, selain metode relijius.

“Dulu memang lebih banyak pakai therapy community karena pecandunya lebih banyak pecandu putauw. Karakter pecandu putauw, mereka lebih keras, banyak hidup di jalanan dan tak segan untuk kriminal,” kata Munieb, yang juga mantan pecandu dan pernah keluar masuk rumah rehabilitasi ini.       

“Sedangkan sekarang, pecandu lebih banyak karena sabu. Banyak orang-orang rumahan, bahkan mempunyai pekerjaan. Kalau kita keras, mereka gampang down.” 

Meski mengombinasikan antara therapy community dengan 12 Langkah, namun soal kedisiplinan masih diterapkan di tempat rehab ini. Misalnya saja, peserta rehabilitasi mempunyai kewajiban bersih-bersih rumah setiap pagi, menata kasurnya sendiri, dan dilarang memaki dan mengumpat. 

“Soal disiplin masih penting, karena rata-rata pecandu hidupnya seenaknya saja, tak memiliki kepedulian,” kata Munieb.

Bapak dan anak nyabu bareng

ILUSTRASI. Warga menunjukan simbol kampanye anti-narkoba saat sosialisasi bahaya narkoba. Foto oleh Yulius Satria Wijaya/Antara

RSOS tak hanya menerima orang dewasa, tapi juga anak-anak. Saat dikunjungi, di sana ada 18 peserta rehabilitasi yang terdiri dari 14 laki-laki dan 4 orang perempuan. Salah satunya adalah Rahma (nama samaran). Usianya masih 15 tahun. Ia sudah putus sekolah sejak kelas 2 SMP.

“Kelas 2 SMP, enggak sekolah, karena males aja.  Uang [bayar sekolah] dari Mbah, saya pakai buat beli sabu,” kata Rahma sambil cengengesan. 

Rahma datang dari keluarga broken home. Sejak kecil dia sudah diasuh oleh neneknya.

Ia mengenal sabu dari lingkungan tempat tinggalnya yang memang tidak sehat. Ia tinggal bersama neneknya di kawasan Kapasan, Surabaya. Katanya, bapak dan anak nyabu bareng di rumah adalah hal yang biasa dilihat di tempat tinggalnya.

Urusan nyabu bagi Rahma merupakan soal yang gampang meski lagi tak punya uang. Ia punya pacar bandar sabu. Pacarnya yang selalu memberikan sabu untuk Rahma. Kadang ia juga diajak mengirim sabu ke Madura. 

Rahma bersama pacarnya tertangkap saat Satpol PP merazia tempat hiburan malam. Meski masih muda, ia sudah akrab dengan tempat hiburan malam. 

Tapi itu sudah menjadi masa lalu bagi Rahma. Sekarang setelah ikut rehabilitasi selama kurang lebih tiga bulan di RSOS, Rahma punya niat menata kembali hidupnya. Ia ingin bersekolah kembali—sebuah keinginan yang difasilitasi oleh RSOS.

“Akan kita ikutkan kejar paket. Setelah itu, sekolah SMA. Dia juga akan tinggal di sini untuk menjauhkan dari lingkungan yang buruk. Sudah diizinkan sama neneknya. Neneknya malah senang. Katanya di sini Rahma malah terlihat lebih bersih dan cantik,” kata Munieb.

Rahma pun juga merasa senang bisa tinggal di RSOS. Dia merasa memiliki keluarga baru, yang lebih memerhatikannya. 

Menghilangkan kesan seram

ILUSTRASI. Anggota Badan Narkotika Nasional (BNN) bersiap melakukan tes urine bagi sejumlah orang yang dicurigai mengkonsumsi narkoba saat razia. Foto oleh Prasetia Fauzani/Antara

Suasana rehab di RSOS memang terasa kekeluargaan. Tak ada sekat yang ketat yang membatasi antara peserta rehab dengan staf. Mereka pun bahkan ikut kerja bakti dengan warga. Tak jarang mereka pun hadir dalam peringatan keagamaan di masjid sekitar.

Kata Munieb, awalnya warga melihat interaksi ini aneh. Tapi lama kelamaan warga menjadi biasa. Setiap malam minggu mereka juga punya acara santai, misalnya ngopi-ngopi bareng di warung sekitar.

“Kami memang ingin menghilangkan kesan rumah rehab yang seram. Itu zaman dulu. Justru dengan suasana kekeluargaan malah bisa efektif. Misalnya saja, saat diberikan cuti Lebaran, mereka juga kembali tepat waktu. Tak ada yang kabur,” kata Munieb.

Hal yang hampir sama juga dialami oleh Fariz (bukan nama asli). Usianya baru sekitar 16 tahun. Setiap hari dia terbiasa mengkonsumsi pil double L. Harganya cukup terjangkau untuk kantong anak-anak, hanya Rp10 ribu berisi 10 butir.

Tak hanya konsumsi double L tiap hari, Fariz juga akrab dengan alkohol. Apalagi setelah putus sekolah SMP, dia memilih bekerja daripada melanjutkan SMA. Dia bekerja di tambak udang sekitar Pantai Kenjeran, Surabaya. Di lingkungan orang dewasa ini kebiasaan mabuk Fariz seakan terfasilitasi.

“Orang tambak memang kebiasaannya mabuk. Saya selalu diajak, kalau mereka ada acara,” kata Fariz.

Sabu pun, dia juga sudah akrab, meski tak terlalu sering. Harganya masih terlalu mahal baginya. Di pasar gelap, sabu paket hemat biasanya dijual antara Rp200 ribu hingga Rp250 ribu. Fariz masih pikir-pikir kalau harus membeli sabu sendiri. Kalau mau nyabu, biasanya dia patungan dengan teman-temannya.

”“Kami memang ingin menghilangkan kesan rumah rehab yang seram. Itu zaman dulu. Justru dengan suasana kekeluargaan malah bisa efektif.”

Pertengahan Februari kemarin, dia tertangkap Satpol PP. Usai nyabu bersama dengan teman-temannya, dia kena garuk Satpol PP. 

Pada Sabtu pagi, dia diajak teman-temannya untuk nyabu. Kali ini, dia tak perlu patungan. Fariz cukup menyediakan tempat untuk nyabu. Kamar kost orangtuanya jadi pilihan. Karena kalau malam, kedua orangtua Fariz bekerja di pasar.

Aman nyabu di rumah kost orangtuanya, dini hari Fariz nongkrong lihat balap motor liar di daerah Ngagel Surabaya. Sial, karena saat itu ada garukan Satpol PP. Fariz tertangkap karena tak punya KTP. Ia pun dibawa ke kantor Satpol PP.

Sial kedua yang dialami Fariz, dia harus menjalani tes urine. Hasilnya, positif menggunakan sabu-sabu. Malam itu pun, dia harus menginap di Kantor Satpol PP Surabaya. 

“Paginya ibu datang, nangis-nangis melihat saya ditangkap. Kasihan,” kata Fariz.

Tak hanya menginap di kantor Satpol PP, Fariz pun sempat masuk Liponsos Keputih Surabaya dan kantor BNN Surabaya, semalam. 

Di kantor BNN, Faiz tak sampai dipenjara. Tapi tangannya tetap diborgol. 

“Paginya suruh ngepel kantor BNN,” kata dia. Baru kemudian Fariz dimasukan di tempat rehabilitasi di Bambu Nusantara Surabaya.  

Fariz menjalani rehabilitasi kecanduan di Bambu Nusantara. Di tempat rehab ini, dia harus menjalani rehabilitasi selama tiga bulan. Awalnya, memang berat baginya untuk bisa menerima dia harus berada di rumah rehab.

“Saya merasa bukan pecandu. Kenapa dimasukkan ke mari. Namun lama-lama saya sadar, jika saya salah, dan memang layak berada di sini,” ujar dia.

Dia rumah rehabilitasi Bambu Nusantara, bukan berarti Fariz tak bisa melakukan aktivitas pribadi. Dia tetap bisa merawat burung lovebird kesayangannya meski masih jalani rehabilitasi.

“Kami memang mengizinkan mereka membawa binatang peliharaannya. Alasannya, biasanya kalau ditinggal di rumah tak ada yang mengurusi. Kedua biar mereka punya kegiatan. Pecandu, kalau dibiarkan bengong, pikiran untuk kembali pakai, pasti ada,” ujar Iwan Naryono, konselor di Bambu Nusantara. 

Baik Munieb maupun Iwan sepakat, tak ada satu pun rumah rehabilitasi di dunia ini yang  bisa menjamin pecandu bisa sembuh 100 persen dan tak akan memakai narkoba kembali. Kata mereka, faktor yang memegang peranan penting pasca rehabilitasi adalah faktor lingkungan di mana mereka akan berinteraksi. 

Karena apabila, setelah rehabilitasi, pecandu kembali lagi ke lingkungan yang tak sehat, maka besar kemungkinan mereka akan memakai kembali.

“Makanya, kita selalu menanyakan, setelah rehab mereka mau kemana? Jangan sampai menganggur. Karena kalau sampai menganggur, pikiran untuk kembali pakai pasti muncul,” kata Iwan. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!