Perjalanan aksi persekusi dari waktu ke waktu

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Perjalanan aksi persekusi dari waktu ke waktu

ANTARA FOTO

Aksi persekusi dimulai tuduhan bagian dari PKI, melakukan praktik dukun santet, hingga perbedaan keyakinan. Bila dibiarkan berpotensi jadi genosida

JAKARTA, Indonesia – Saat ini, masyarakat tengah dihebohkan banyaknya upaya penargetan seseorang di media sosial yang kemudian berujung pada intimidasi. Perburuan sewenang-wenang ini telah membuat para korbannya mengungsi dari tempat asal, hingga tercemar nama baiknya.

Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz mengatakan persekusi memang kejahatan kemanusiaan yang terjadi di seluruh dunia sejak lama, tak hanya di Indonesia. “Seperti misalkan, perburuan etnis Yahudi oleh Nazi dan juga persekusi terhadap etnis Rohingya di Myanmar,” kata dia di Jakarta pada Rabu, 7 Juni.

Untuk di Indonesia, persekusi tercatat sejak tahun 1965, di mana orang-orang dengan mudah dibunuh, dianiaya, atau ditahan tanpa proses peradilan hanya karena dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tak perlu memeriksa latar belakang secara pasti, hanya dari bisik-bisik atau laporan palsu, target dapat langsung diciduk dan ditindak.

Dalam peristiwa pelanggaran HAM ini, jumlah korban diduga mencapai 500 ribu hingga 3 juta orang.

Berlanjut lagi pada masa Orde Baru, ketika maraknya isu Petrus atau penembak misterius yang mengincar orang-orang dengan karakteristik tertentu. Kebanyakan adalah preman-preman kelas teri, residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan oleh penjahat

Orang-orang ini sudah ditarget oleh pelaku yang tak pernah terungkap identitasnya, kemudian diculik. Kebanyakan korban ditemukan tewas, entah langsung dibunuh atau melalui siksaan. Mayatnya kemudian diletakkan di tempat umum atau dibuang ke tempat sepi. Para eksekutor langsung menciduk tanpa memastikan apakah targetnya benar bersalah atau tidak.

Tim ad hoc pencari fakta kasus ini mencatat korban petrus ditengarai mencapai 2 ribu jiwa.

Masih dalam rentang waktu yang dekat, di Jawa Timur pun berlangsung perburuan terhadap orang-orang yang diduga sebagai dukun santet. Tragedi yang diwarnai unsur mistis ini sampai mendapat perhatian dunia internasional karena para pelakunya mengenakan topeng seperti ninja.

Berawal dari rasa takut masyarakat atas pembunuhan akibat tenung atau ilmu hitam, warga setempat pun mulai menyisir dan menghabisi orang-orang yang diduga dapat menyantet. Sayangnya, korban yang terbunuh tak jarang melenceng jauh dari tuduhan. Ada yang merupakan kyai, ulama, guru mengaji, aktivis mahasiswa, bahkan wartawan.

Bupati Banyuwangi pada saat itu sempat menginstruksikan supaya kepala desa, camat, atau lurah di daerahnya mendata orang-orang yang memiliki praktik ilmu gaib. Meski disebut sebagai upaya untuk memberi perlindungan, daftar yang akhirnya bocor ini justru menjadi patokan para pelaku untuk menghabisi nama-nama di dalamnya.

Tak hanya itu, perlawanan warga pun berbalik pada pelaku pembunuhan yang diidentikkan dengan ninja. Rasa takut dan cemas yang merundung warga Banyuwangi saat itu membuat mereka menaruh curiga pada orang-orang asing yang datang ke daerahnya. Tak sedikit yang ditangkap kemudian dipukuli atau dibunuh karena dianggap sebagai ninja pembantai dukun santet.

Tim Pencari Fakta NU mencatat korban pembantaian ini mencapai 253 jiwa.

Setelah isu dukun santet mereda, perburuan kemudian diarahkan pada kelompok pemeluk agama minoritas. Sebut saja jemaat Ahmadiyah, Syiah, hingga penganut kepercayaan seperti Gafatar.

Sejak tahun 2000, organisasi yang mengusung semangat keagamaan tertentu mulai menyasar pemeluk Ahmadiyah dan Syiah karena berbeda dan dituding sesat. Pada tahun 2005, Front Pembela Islam (FPI) menyerbu Kampus Mubarak yang merupakan sekretariat Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah yang berlokasi di Bogor.

Peristiwa serupa pun mulai banyak terjadi di berbagai daerah lain dan mencapai puncaknya pada tahun 2011. Sekelompok orang tak dikenal menyerang sejumlah jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, ketika hendak menyelenggarakan pertemuan.

Akibatnya, tiga jemaah meninggal dunia sementara lima lainnya luka-luka. Serangan ini diduga sudah terorganisir, karena jumlah massa diperkirakan mencapai 1.000 orang. Polisi setempat yang mengaku sudah tahu akan ada serangan juga terkesan melakukan pembiaran karena hanya menempatkan personel dalam jumlah sedikit.

Sasaran pun beralih pada warga Syiah yang kurang lebih mendapat stigma serupa dengan Ahmadiyah. Pada Desember 2011, warga Sunni menyerang Dusun Nangkernang yang merupakan pemukiman Syiah. Para penyerang membakar beberapa rumah dan madrasah, serta memaksa kira-kira 500 orang warga Syiah mengungsi.

Polisi disebut membiarkan peristiwa tersebut terjadi, dan hanya menangkap serta mendakwa seorang lelaki Sunni atas tuduhan pembakaran. Setelahnya, warga Syiah kembali menempati dan membangun pemukiman mereka.

Nahas, pada Agustus 2012 kejadian serupa terulang lagi. Kali ini, seorang warga Syiah tewas, 10 orang luka parah, sementara sekitar 350 lainnya harus kembali mengungsi. Para penyerang yang menganut aliran Sunni mengatakan warga Syiah baru dapat kembali ke Nangkernang jika bersedia pindah aliran.

Hingga saat ini, para penganut Syiah masih hidup di tempat pengungsian yang berlokasi di rumah susuh (Rusun) Jemundo, Jawa Timur tanpa kepastian kapan akan kembali ke kediaman mereka.

Kebingungan

Perwakilan Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengatakan persekusi di Indonesia sebagian besar didorong faktor agama. Pew Research Center pernah mengungkap kalau 95 persen warga Indonesia menganggap agama faktor yang sangat penting.

“Jadi bahaya karena sentimen agama kuat. Kalau disebut menyinggung dan ada unsur agamanya, masyarakat cepat bereaksi,” kata dia.

Ditambah lagi, persebaran provokasi pun luas dan terorganisir melalui media sosial. Fakta ini pula yang membuat polisi dan negara kebingungan untuk menghadapi pelaku. Ada ketakutan dari aparat kalau mereka menindak massa yang mengatasnamakan agama, akan dianggap mencederai relijiusitas mereka sendiri.

“Polisi takut dibilang tidak saleh, mencederai kelompok agama sendiri. Mereka tidak punya alasan kuat untuk bertindak tegas,” kata Hafiz. Selain itu, untuk beberapa kasus tertentu, justru negara sendiri yang menjadi pelaku persekusi.

Meski demikian, baik Alissa maupun Hafiz mengakui adanya perbaikan penindakan kasus persekusi saat ini. Baik presiden dan wakil presiden telah menyatakan persekusi harus dihentikan; sementara aparat pun sudah menindak pelaku yang diadukan.

Bagaimanapun juga, penyelesaian tak akan tuntas jika penggerak massa dan provokator tak segera ditindak.

“Makanya kita dorong supaya mencari celah siapa propaganda, pelaku utama, intelektualnya, tujuannya apa untuk gembosin apa,” kata dia.

Peristiwa yang terus bertambah hingga saat ini harus menjadi pengingat gentingnya kondisi bagi pemerintah. Persekusi yang berkelanjutan dapat berujung pada genosida kelompok tertentu. Seperti yang dilakukan oleh Nazi, maupun etnis Hutu terhadap etnis Tutsi di Rwanda. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!