Hari Pengungsi Sedunia: Pahit getir pencari suaka

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hari Pengungsi Sedunia: Pahit getir pencari suaka
“Di sini tidak boleh apa-apa, sedangkan saya butuh uang untuk hidup.”

JAKARTA, Indonesia – Dunia memperingati Hari Pengungsi Sedunia setiap tanggal 20 Juni. Ratusan pengungsi mancanegara yang masih berada di Indonesia berkumpul di Abalove Ministries dalam acara yang bertajuk “Share the Responsibilities”.

Ketua organisasi SUAKA sekaligus panitia acara Febi Yonesta mengatakan tema ini bertujuan mengingatkan dunia tentang darurat pengungsi yang semakin menjadi-jadi. “Kalau kita lihat kan ada negara yang enggan menerima pengungsi padahal orang-orang ini kan terusir dan terpaksa pergi dari negaranya sendiri,” kata dia pada Selasa, 20 Juni 2017.

Para pengungsi dan pencari suaka yang berasal dari berbagai daerah penampungan seperti Bandung, Jakarta, Makassar, Aceh, dan Bogor. Mereka menampilkan tarian, nyanyian, hingga membawa masakan ataupun kerajinan tangan buatan sendiri.

Acara seperti ini menjadi oase di tengah keringnya kehidupan pengungsi. Kendati mendapat izin tinggal, aktivitas mereka sangat terbatas. Pria maupun wanita dewasa tidak dapat mencari nafkah baik secara formal maupun informal, sementara anak-anak tidak dapat mengenyam pendidikan sesuai usia sekolahnya.

Ouman, perempuan berusia 32 tahun asal Iran, sudah hampir 1,5 tahun menghuni tempat penampungan di Cisarua. Ia tidak tahu pasti nama tempat tinggalnya, hanya mengingat Rumah Sakit Cibereum sebagai patokan utamanya.

Ibu beranak tiga ini belum lancar berkomunikasi dengan bahasa Indonesia maupun Inggris. Ia hanya mengerti sepatah dua patah kata, dan bergantung pada anak sulungnya, Mohamad, untuk menerjemahkan ke bahasa Farsi. “Kami pergi dari Iran karena bahaya. ISIS, bom di mana-mana. Kalau tidak pergi bisa terbunuh,” kata dia, menggunakan gerakan tangan seolah mengiris leher untuk menjelaskan.

Terkait perjalanan mereka, Ouman lebih banyak bergantung pada Mohamad untuk menjelaskan. Dari Iran, mereka terbang ke Malaysia, sebelum memasuki Indonesia. Negeri ini bukan tujuan mereka, namun ia memang tidak terlalu ambil pusing harus lari ke mana.

“Tidak ada tujuan khusus, pokoknya di mana kami bisa aman saja. Itu yang kami pikirkan,” kata Mohamad menerjemahkan dari ibunya.

Sementara Mohamed Rasool Bagherian, pengungsi Iran berusia 40 tahun lainnya, memiliki alasan yang lebih matang. “Kalau saya, karena untuk ke Indonesia tidak perlu visa. Saya perlu cepat lari,” kata dia.

Kisah Bagherian berbeda dengan Ouman, meski sama-sama pergi karena terancam bahaya. Ia meninggalkan Iran pada tahun 2010 karena ancaman persekusi keagamaan.

Ia dan keluarganya adalah salah satu dari banyak muslim Iran yang pindah agama menjadi Kristen pada tahun 2005. Meski tidak berbahaya, namun perubahan agama dari Islam Syiah ke Kristen di Iran sangat tidak disarankan. Keadaan Bagherian berubah ketika mantan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinajad mulai menekan penganut Kristen.

Setelah dua kali ditahan pada 2007 dan 2010, ia tahu harus meninggalkan tanah kelahirannya. Terutama, karena ia memiliki seorang putra yang masih kecil dan khawatir akan masa depannya.

Keinginan bekerja

HARI PENGUNGSI. Suasana hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada Selasa, 20 Juni. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

Baik Ouman maupun Bagherian mengaku tidak masalah hidup di Indonesia, namun bukan untuk jangka panjang. “Di sini tidak boleh apa-apa, sedangkan saya butuh uang untuk hidup,” kata Ouman.

Untuk mengisi waktu, ia dan suaminya sibuk belajar ataupun membantu mengajar di pusat kegiatan yang dibentuk oleh relawan. Sementara anak-anaknya hanya mendapat pendidikan bahasa Inggris.

Bagherian menghadapi masalah yang sama, namun ia dan istrinya berupaya mengajarkan mata pelajaran lain seperti ilmu alam dan matematika di komunitas mereka. Kegiatan ini juga untuk membantu mereka mengusir kebosanan.

Anak-anak pengungsi mungkin tidak terlalu memikirkan keterbatasan hak mereka di Indonesia, karena meski tidak kerja atau belajar toh mereka bisa bermain dengan teman sebaya. Tetapi orang tua mereka memiliki kekahwatiran lebih.

Untuk penghidupan, pengungsi mendapatkan bantuan dari IOM dan UNHCR secara finansial dan logistik. Di luar itu, ada organisasi lain yang rutin menyumbang, seperti gereja ataupun masjid. Seperti Bagherian, misalnya, yang mendapat tempat tinggal gratis di apartemen sederhana area Kelapa Gading dengan bantuan gereja.

Bila sudah terdaftar, mereka mendapat Rp 1,2 juta per orang, Rp 500 ribu untuk anak-anak, per bulan. Kadang, Ouman mengaku masih mengambil uang simpanan mereka di Iran untuk keperluan sehari-hari.

“Tapi tidak bisa begini terus. Saya ingin cepat mendapat suaka di negara lain, supaya bisa bekerja. Ahura (anak Bagherian) juga harus mendapat pendidikan formal, tidak bisa mengandalkan kami saja,” kata Bagherian.

Ia tidak peduli akan ditempatkan di mana, asalkan aman dan ia dapat menjalankan kehidupannya seperti biasa. Namun, tidak untuk dipulangkan ke Iran. “Saya bisa mati, sudah sering muncul di televisi,” kata dia sambil tertawa.

Perkara pekerjaan dan hak dasar seperti kesehatan serta pendidikan memang menjadi masalah bagi para pengungsi. Meski menganggap pemerintah sudah cukup baik dalam memperlakukan pengungsi, Febi berharap pemenuhan hak dasar dapat diperbaiki.

“Seperti yang jadi kajian utama dunia internasional, pengungsi bukan dilihat sebagai beban tapi dilihat sebagai potensi yang bisa berkontribusi,” kata dia. Tentu saja bukan di bidang yang malah memberatkan perekonomian negara.

Hingga Desember 2016, terdapat 14.337 orang pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Mayoritas berasal dari Afghanistan, Somalia, Myanmar, dan Irak. Mereka masih menunggu untuk bisa ditempatkan di satu dari 26 negara pihak ketiga yang terbuka untuk pengungsi.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!