LIPI: Integrasi antar negara ASEAN masih lamban

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

LIPI: Integrasi antar negara ASEAN masih lamban
Keuntungan kolektif belum terbagi merata antar anggota ASEAN

JAKARTA, Indonesia – Memasuki usia 50 tahun, komunitas ASEAN sudah melakukan bermacam untuk memajukan kualitas hidup negara anggotanya. Namun, hasil dari beragam kerjasama, kebijakan, dan program-program tersebut belum dinikmati secara merata.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan penelitian dalam bidang pembangunan, ekonomi, dan sains serta teknologi di ASEAN. Tim peneliti mengukur kemajuan dalam bidang-bidang yang diteliti lewat pertumbuhan ekonomi karena memiliki parameter yang pasti.

“Kalau melihat ekonomi, kita lihat negara-negara ASEAN semakin maju tetapi masih banyak yang belum bisa dicapai seperti pengentasan kemiskinan, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM),” kata Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Khanisa di Jakarta pada Selasa, 8 Agustus 2017. Salah satu penyebab ketidakmerataan ini adalah belum optimalnya sosialisais program kerjasama antar negara anggota.

Salah satu contohnya adalah program fair trade dan transfer tenaga kerja bebas untuk 8 profesi. Tim masih merujuk pada survei tahun 2015 di mana 82 persen masyarakat dari 16 kota di Indonesia tidak tahu kalau mereka bebas bekerja di semua negara anggota ASEAN. Sebanyak 80,8 persen tidak tahu tarif ekspor dalam MEA sudah dihapuskan, demikian juga soal penghapusan tarif impor. Untuk tahun ini pun angka tersebut diprediksi tidak terlalu berbeda.

Kalaupun tahu program-program tersebut, masyarakat juga tidak semua mau memanfaatkan. Saat ditanyakan apakah mereka tertarik bekerja di negara ASEAN lainnya, sebagian besar akan memastikan akan ditempatkan di mana.

“Mereka pasti tanya, ‘memang di mana?’ Kalau ditempatkannya masih di Singapura, mereka masih tertarik. Tidak dengan yang seperti Vietnam, Laos, Kamboja,” kata Khanisa.

Di luar pertukaran tenaga kerja, cetak biru rencana aksi ASEAN di bidang Sains dan Teknologi (APAST) juga tidak semua terlaksana. Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Iptek LIPI Trina Fizzanty mengatakan ada tiga jenis negara ASEAN dalam mengembangkan teknologi.

Pertama, adalah negara yang sudah demikian kompeten pertumbuhan teknologi dan ekonominya sehingga mereka dapat melakukan pertukaran ilmu ataupun mengambil ahli dari negara berteknologi mutakhir lainnya. “Ini seperti Singapura,” kata dia.

Lalu, ada juga yang masih berupaya mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain yang berteknologi lebih maju. Malaysia, Indonesia, dan Thailand termasuk dalam kategori ini.

Terakhir, adalah yang tidak terlalu berfokus pada pengembangan teknologi namun masih berkutat mengembangkan paham kebangsaan, pendidikan, dan infrastruktur. Laos dan Kamboja berada di kategori ini.

Padahal, teknologi adalah unsur penting dalam memajukan perekonomian. Trina menekankan pada perdagangan e-commerce di ASEAN yang tengah melejit. “Kalau ada gangguan iptek, berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi.” kata dia. Pemerintah pun tak dapat bekerja sendiri, harus menggandeng pihak swasta juga.

Selain ekonomi, pemerintah juga harus memperhitungkan manfaat teknologi dalam sektor pembangunan. Salah satunya untuk memastikan konektivitas dan akses terhadap kesempatan ekonomi tersebar merata.

Ekonomi manusiawi

ASEAN saat ini berpenduduk lebih dari 623 juta orang dan memiliki kapital senilai US$ 2,43 milyar. “Kalau ASEAN merupakan satu negara tunggal, dia sudah memiliki perekonomian terbesar keenam di dunia,” kata Peneliti Ekonomi LIPI Zamroni Saiim.

Namun, integrasi antar negara anggotanya terbilang lamban sehingga pertumbuhan ekonominya pun tidak merata. Dengan demikian, perdagangan bebas dapat justru mengancam terbunuhnya usaha lokal karena barang dari luar yang membanjiri pasar. Kualitas pun dapat lebih baik atau lebih buruk tergantung dari tingkat SDM dan juga teknologi masing-masing negara anggota.

Karena itu, Zamroni menilai perlunya melindungi para pengusaha kecil. “Membuat kebijakan yang memproteksi diri, seperti untuk petani dan usaha kecil jangan sampai telribas,” kata dia.

Perlindungan tersebut dapat berupa kebijakan hingga pengembangan infrastruktur untuk memangkas rantai distribusi yang menjadi penyebab harga tidak bersaing. Meski memiliki risiko, namun perdagangan bebas ini juga memiliki keuntungan yang dapat mewujudkan kemajuan pembangunan dan penyamarataan.

Dalam bidang ini, ia mengusulkan supaya pembangunan ekonomi di aSEAN dapat terjadi secara merata baik secara fisik maupun teknologi. Ekonomi inklusif, kata dia, harus memberikan manfaat bagi semua pelaku di jaringan distribusi. Bila tidak terjadi, maka konsep fair trade yang digadang-gadang hanya akan menjadi jargon belaka.

Khanisa mengingatkan pentingnya memperhatikan unsur kemanusiaan saat pembangunan ekonomi digencarkan. “Jangan sampai malah membuat masyarakat rugi dan menimbulkan ketegangan antar negara,” kata dia.

Ia merujuk pada kasus-kasus penyiksaan buruh migran yang seringkali membuat hubungan Malaysia dan Indonesia merenggang; hingga perbudakan awak kapal dari Laos dan Kamboja di kapal serta pabrik ikan di Filipina. Meski untuk memajukan ekonomi, kesan yang ditimbulkan seolah-olah ASEAN terbentuk dari relasi yang negatif.

Dalam perayaan 50 tahun ini, tim peneliti mengusulkan supaya dipertimbangkan pula penguatan deklarasi HAM ASEAN. Evaluasi implementasi dari deklarasi tersebut dalam kebijakan-kebijakan dalam negeri harus secara rutin ditinjau kembali.

“Juga secara khusus menambahkan tanggung jawab bisnis dalam penguatan masyarakat,” kata dia. Sebab, masyarakat bisnis bukanlah entitas yang disetir oleh keuntungan semata; mereka adalah bagian dari kelompok sosial dengan berbagai kepentingan. -Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!