Minim sosialisasi ciptakan ketakutan terhadap MEA

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Minim sosialisasi ciptakan ketakutan terhadap MEA

ANTARA FOTO

Walau sudah banyak yang mengantongi sertifikasi untuk bersaing di ASEAN, namun hanya sedikit pekerja Indonesia yang memanfaatkannya

JAKARTA, Indonesia – Indonesia masih belum menunjukkan hasil yang siginifikan jelang dua tahun diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Padahal, sebelumnya beberapa pengamat memprediksi Indonesia akan sukses melewati periode MEA. Salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya sosialisasi yang dilakukan kepada masyarakat.

Seringkali masyarakat takut dengan kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah dengan negara lain karena mereka tidak mengetahui informasi yang lengkap,” kata Fina Astarina, Peneliti ASEAN Studies dari The Habibie Center kepada Rappler pada 3 Desember 2016.

Peneliti The Habibie Center Fina Astarini di suatu sesi diskusi. Foto dari dokumentasi The Habibie Center

 

Ketakutan tersebut semakin menjadi momok karena kurangnya dukungan dan perhatian pemerintah. Seperti yang terjadi pada penerapan Mutual Recognition Agreements (MRA). Dalam bahasa yang lebih sederhana, MRA dipahami sebagai perjanjian antar dua negara atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan di mana di dalamnya mengatur kepentingan masing-masing negara mengenai suatu hal. Pada praktiknya, MRA sering diaplikasikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan profesi dan tenaga profesional.

Program yang pada awalnya dibentuk dengan tujuan mempermudah, namun pada penerapannya diakui Fina bukanlah mobilitas yang sempurna. Kekurangan dan hambatan-hambatan dalam program tersebut sebenarnya dapat ditangani, namun karena kurang informasi dan dukungan dari pemerintah, hal tersebut berubah menjadi ketakutan-ketakutan.

Misalnya ketakutan akan dominasi pekerja asing di Indonesia karena sistem sertifikasi yang berantakan. Fina meyakinkan bahwa implementasi MRA kemungkinan tidak akan meningkatkan jumlah tenaga kerja profesional asing  dari negara ASEAN lainnya di Indonesia secara signifikan dan drastis. Lebih lanjut, ia menambahkan dari 8 profesi yang telah disepakati melalui MRA, pekerja Indonesia di bidang teknik dan akuntansi paling banyak memegang sertifikat namun belum dimanfaatkan oleh mereka.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa arus kedatangan pekerja asing bukan faktor utama kurangnya jumlah pekerja lokal, namun lebih disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keinginan tenaga kerja Indonesia untuk memanfaatkan MEA. Oleh sebab itu, Fina menekankan bahwa para pekerja pun harus didorong dan diberikan insentif agar mau memanfaatkan kesempatan yang ada dari implementasi MRA.

Ketakutan tersebut semakin menjadi akibat keuntungan yang belum juga dirasakan pada MEA. Fina mengungkapkan hal tersebut sesungguhnya hal yang wajar. Selain karena masih berada dalam masa penjajakan pada tahun ke dua ini, hasil temuan mengungkapkan bahwa pada dasarnya delapan profesi yang dipermudah proses perlintasannya pada MRA hanya mencakup 1,5 persen dari keseluruhan jumlah tenaga kerja Indonesia. Delapan profesi yang sudah diatur dalam MRA yaitu di bidang teknik, perawat, arsitek, kualifikasi survei, pariwisata, akuntansi, medis, dan dokter gigi.

Ditambah dengan kurangnya kesadarannya tenaga kerja bersertifikat untuk memanfaatkan pekerjaan maka wajar jika Indonesia masih belum merasakan keuntungan dari MEA,” kata dia menjelaskan.

Terkait hal tersebut, Fina menekankan pentingnya pemberian informasi yang lengkap oleh pemerintah kepada para tenaga kerja di Indonesia. Hal tersebut dilakukan, bukan sekedar untuk mempersiapkan kemampuan sumber daya pekerja Indonesia. Melainkan juga untuk membuka pikiran para tenaga kerja agar mampu melihat MEA bukan sebagai ancaman, namun juga kesempatan sebesar-besarnya bagi tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di negara ASEAN lainnya.

Oleh sebab itu menuju dua tahun diberlakukannya MEA, evaluasi dan perbaikan perlu dilakukan pada sistem dan kemampuan sumber daya manusia.

Masing-masing negara masih memberlakukan regulasi yang berbeda-beda terkait dengan tenaga kerja asing, regulasi yang berbeda terkait dengan imigrasi, dan memiliki standar tenaga kerja yang berbeda sehingga hal-hal ini masih membatasi pelaksanaan MRA,” katanya.

Terhadap kasus tersebut pemerintah dituntut harus mampu membuat sistem regulasi yang lebih jelas dan ketat agar kehadiran tenaga kerja asing tidak mengancam pasar tenaga kerja di Indonesia.

Selanjutnya hal yang paling penting dan mendesak dilakukan adalah peningkatan kemampuan sumber daya manusia agar memiliki daya saing. Fina membeberkan fakta bahwa 47,37 persen dari 127,8 juta tenaga kerja Indonesia adalah lulusan SD ke bawah.

Sedangkan lulusan sarjana hanya mencapai 6.7 persen. Padahal dalam 8 bidang di MRA sebagian besar membutuhkan tenaga pekerja yang sarjana dan mengantongi sertifikasi.

Terkait hal tersebut pemerintah dituntut harus mampu meningkatkan mutu pendidikan yang akan menghasilkan kualitas tenaga kerja yang baik.

“Sistem pendidikan yang ada harus dapat membentuk pribadi yang siap bekerja dan bersaing. Selain itu, penguasaan bahasa asing terutama Bahasa Inggris serta penguasaan teknologi juga harus dimiliki oleh tenaga kerja agar kita tidak kalah bersaing di dalam negeri maupun di negara ASEAN lainnya,” kata Fina.

Pada akhirnya Fina tidak memungkiri bahwa sistem pasar bebas seperti MEA akan memunculkan hal-hal negatif yang tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, perlu tindakan preventif berupa persiapan yang baik dan sosialisasi kepada masyarakat, agar dapat mengurangi dampak buruk MEA dan lebih banyak memberikan manfaat. Kerja sama dari berbagai pihak, katanya, menjadi unsur yang tidak bisa dielakan. 

Ini memang bukan hanya menjadi tanggung jawab dari pemerintah saja namun juga pihak lain seperti akademisi dan LSM untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai keuntungan dan kerugian -tentu saja diikuti dengan solusi- dari suatu kerja sama,” kata dia.

 Aksi pemerintah

Khairul Anwar (kedua dari kiri) dan M. Hanif Dhakiri (ketiga dari kiri) saat seminar nasional tentang MEA. Dokumentasi Kementerian Ketenagakerjaan

Suara-suara penolakan terhadap MEA memang muncul sejak tahun 2015, ketika program ini pertama kali disampaikan. Suara paling keras datang dari kelompok buruh, yang juga sedang santer dihantam isu pekerja asing ilegal.

Dirjen Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Khairul Anwar mengatakan sudah melakukan seminar dan penjelasan tentang cara kerja MEA sejak 2014 lalu.

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan beberapa kebijakan yang bersifat lintas sektoral dan memberi perhatian khusus dalam meningkatkan daya saing,” kata Khairul saat ditemui Rappler secara terpisah.

Selanjutnya, pemerintah juga gencar melakukan program sertifikasi supaya dapat memenuhi standar internasional dan ASEAN. Fokus pelatihan yakni membina pekerja dari sisi kemampuan, perilaku, dan penguasaan bahasa asing.

Masalah bahasa seringkali, kata Khairul, diakui menjadi titik lemah pekerja Indonesia. Seperti misalkan dalam bidang keperawatan, tenaga kerja asal Filipina lebih diminati karena mampu berbahasa Inggris lebih fasih daripada tenaga kerja Indonesia.

 Khairul menekankan supaya masyarakat memahami terlebih dahulu, juga mengikuti program yang telah disediakan pemerintah agar lebih siap.

“Jangan mudah termakan isu yang keliru,” kata dia merujuk pada akan tergerusnya lapangan kerja untuk tenaga kerja Indonesia.

Secara terpisah, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan sudah menyiapkan tiga jurus guna menghadapi MEA.

Pertama, adalah penerapan sertifikasi dan kompetensi kerja bagi pekerja Indonesia yang diakui secara nasional dan internasional, lalu pengendalian tenaga kerja asing (TKA) dan percepatan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKNNI) di semua sektor.

Ia juga menjawab ketakutan akan banjir TKA lewat Permenaker 16 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengendalian dan Penggunaan TKA. Pemerintah mewajibkan syarat-syarat baru yang lebih ketat.

Di antaranya, TKA harus bersertifikat kompetensi dan berpengalaman kerja selama minimal lima tahun, dan tidak semua jabatan terbuka bagi TKA. Ada pula jabatan yang hanya dibatasi selama 6 bulan tanpa perpanjangan lagi.

“Kita juga atur komposisi TKA dengan didampingi 10 TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri),” kata dia. Dengan demikian, setiap tenaga asing yang masuk akan membuka kesempatan bagi 10 tenaga domestik lainnya.

Ia menyatakan Indonesia siap untuk menghadapi MEA. Tak perlu lagi ada kekhawatiran tergerus tenaga asing. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!