Indonesia

Geliat wisata Gunung Kidul ancam kelestarian Geopark Pegunungan Sewu

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Geliat wisata Gunung Kidul ancam kelestarian Geopark Pegunungan Sewu
Pesatnya perkembangan dunia pariwisata di Gunung Kidul membuat pemerhati lingkungan merasa prihatin

YOGYAKARTA, Indonesia – Gunung Kidul menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Yogyakarta. Setidaknya, menurut data dari Dinas Pariwisata DIY, ada 23 tujuan wisata di Gunung Kidul.  

Di kabaputen ini, misalnya, terdapat Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Pegunungan Sewu yang rangkaiannya memanjang dari Wonogiri Jawa Tengah hingga Pacitan Jawa Timur. 

Namun pesatnya perkembangan dunia pariwisata di Gunung Kidul justru membuat masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat  Peduli Pegunungan Sewu (KMPPS) merasa prihatin.

Sebab pembangunan yang menyalahi aturan di Kawasan Bentang Alam Karst berpotensi merusak kawasan tersebut. Padahal Kawasan Bentang Alam Karst merupakan sumber dari sungai bawah tanah di Gunung Kidul.

Gunung Sewu diakui UNESCO

Tahun 2015 UNESCO menetapkan KBAK Pegunungan Sewu sebagai bagian dari Global Geopark Network karena keragaman ekosistem yang ada di dalamnya. Namun status tersebut bisa dicabut jika keanekaragaman ekosistem di lokasi tersebut mengalami kerusakan. 

“KBAK kelestariannya terancam karena sejumlah aktivitas, antara lain penambangan, pengeprasan bukit dan pembangunan resort di Seruni yang menyalahi aturan peruntukan wilayah pesisir di KBAK,” kata Halik Sandera, juru bicara KMPSS, Selasa 29 Agustus lalu. 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta itu lantas menyebutkan setidaknya terdapat tiga praktek yang mengancam kelestarian dan fungsi KBAK Pegunungan Sewu. 

“Ada pertambangan yang hasilnya dibeli oleh beberapa perusahaan, ada pula modus perusahaan menyediakan jasa pengeprasan bukit gratis bagi penduduk yang ingin mendirikan bangunan di atas tanah mereka di atas bukit,” kata Halik.

Selain itu, Halik melanjutkan, ada juga pembangunan resort hotel dan villa di pesisir Pantai Seruni yang pembangunannya diduga bisa merusak kawasan tersebut. Dua modus awal yang melibatkan penduduk setempat menurutnya muncul karena dorongan ekonomi. Mata pencaharian warga sebagai penambang bukit karst baru muncul di tahun 1990an. 

Sebelumnya, warga menghidupi diri sebagai petani tadah hujan di musim hujan dan sebagai tukang atau kuli bangunan atau pekerjaan lain saat musim kemarau. 

Begitupun penawaran jasa pengeprasan bukit gratis adalah modus yang dilakukan pengusaha untuk mendapatkan material mentah bukir karst untuk dijual kembali dan mendapat keuntungan lebih banyak. 

“Bukit Karst mengandung banyak bahan, salah satunya gamping. Dengan menyediakan jasa dan memenuhi permintaan warga, perusahaan terhindari dari berbagai perijinan untuk mengepras bukit, karena yang terjadi adalah perusahaan memenuhi keinginan warga,” katanya. 

Halik memperkirakan ada puluhan bukit yang telah terkepras karena praktek itu.

Pembangunan resort mengancam kelestarian

Sementara ancaman yang ke tiga adalah pembangunan resort, hotel dan villa massif di pesisir Pantai Seruni yang sedang berlangsung saat ini. 

Menurutnya salah satu proses pembangunan mega resort yang terlihat, telah meratakan dan mengeruk setidaknya dua bukit itu dilakukan dengan menyalahi aturan peruntukan penggunaan lahan di  dalam KBAK. 

“Peraturannya sudah lengkap. Pembangunan itu melanggar peruntukan KBAK. Kami menuntut Pemkab Gunung Kidul untuk tegas mematuhi aturan dengan menghentikan pembangunan itu,” katanya. 

Halik menyebutkan sejumlah aturan terkait KBAK Gunung Sewu, antara lain UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP 26 tahun 2008 dan PP 13 tahun 2017 tentang RTRWN, Permen ESDM 17 tahun 2012 tentang penetapan KBAK  dan Kepmen ESDM 3045 K/40/MEM/2014/KBAK Gunung Sewu.

Pembangunan resort, hotel dan villa yang massif menurutnya berpotensi menyebabkan banyak dampak buruk. Bukit yang dikepras dan tidak dilakukan reklamasi menyebabkan kemampuan menyerap air hujan turun hingga 99 persen, sedangkan bukit yang dikepras dan dilakukan reklamasi menurunkan fungsi penyerapan air hujan hingga 75 persen. 

Selain itu, limbah air yang banyak muncul akibat penginapan berpotensi mencemari pasokan air di sungai bawah tanah hingga ke hilirnya. 

“Karst adalah penyuplai air bersih bagi seperempat penduduk dunia. 50,9 persen wilayah Gunung Kidul masuk dalam KBAK Gunung Sewu dan 68,9 persen KBAK Gunung Sewu ada di Gunung Kidul. Sungai bawah tanah sangat peka terhadap air permukaan, jika air permukaan tercemar maka air bawah tanah berpotensi tercemar pula,” lanjutnya.  

Sementara Potensi air di KBAK Gunung Kidul menurutnya mampu menyelesaikan masalah kekeringan yang sering dialami oleh warga Gunung Kidul ketika musim hujan usai. Namun potensi itu belum digali dengan maksimal hingga saat ini. 

“Kita membutuhkan teknologi untuk mengangkat air dari sungai bawah tanah sehingga bisa digunakan warga. Jadi solusi kekeringan bukan dengan drop air menggunakan tangki air baik milik pemerintah atau perusahaan saja. Langkah itu sudah diulang terus setiap kemarau tanpa ada upaya solusi jangka panjangnya,” tandasnya. 

Halik menyarankan pemerintah serius melakukan konsep pariwisata yang berkelanjutan. Investasi dibutuhkan namun dalam bentuk yang menunjang kelestarian alam setempat.  “Seperti di Nglanggeran misalnya, penginapannya kan memakai rumah rumah warga, jadi warga juga terlibat dan ada upaya melestarikan alam, dengan tidak membangun resort,’ ujarnya.

Mahasiswa  bantu perekonomian masyarakat

Selain menekankan keterlibatan pemerintah untuk mengatasi ancaman kerusakan KBAK Gunung Sewu, akademisi Universitas Pembangunan Nasional Eko Teguh Paripurna menyarankan mahasiswa agar ikut aktif mencegah proses perusakan yang terjadi di KBAK Gunung Sewu. 

“Caranya dengan datang ke sana, penelitian, skripsi, bergaul dan merubah pikiran masyarakat. Buat bahwa semua bagian Karst Gunung Sewu itu bernilai, jadi masyarakat juga tak mau menjual tanahnya kepada investor,” kata Eko.

Menurut pakar Geologi itu, mahasiswa bisa turut menggali dan memetakan potensi yang ada di KBAK, mulai dari potensi alam, satwanya, keragaman hayatinya, hingga keragaman budaya masyarakat setempat. 

“Dipetakan kemudian dikemas agar menjadi bernilai. Jangan kemudian datang dan bilang Jathilan (tradisi kesenian setempat) itu Haram. Mahasiswa bisa mendorong masyarakat sustain, kemudian mempertahankan tanah mereka agar tidak dijual kepada investor,: imbuhnya.

23 destinasi wisata Gunung Kidul 

Embung Ngelanggeran di Desa Ngelanggeran Gunung Kidul, Yogyakarta. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Sementara Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut terdapat sekitar 23 tujuan wisata yang telah dikelola di Gunung Kidul hingga saat ini. 

Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata DIY Aria Nugrahadi menyebut kunjungan wisata terus meningkat setiap tahun ke wilayah Gunung Kidul. Pemerintah Provinsi menurutnya menggunakan konsep community based untuk mencapai pariwisata yang berkelanjutan. 

“Prinsipnya mempertahankan kelestarian lingkungan dan melibatkan komunitas setempat dalam kegiatan pariwisata. Ini sudah dilakukan di Nglanggeran, Tebing Breksi dan Hutan Wisata Mangunan. Di sana masyarakatnya yang awalnya banyak jadi TKI, penambang atau petani hutan beralih terlibat dalam kegiatan pariwisata,” kata Aria. 

Namun terkait pembangunan resort di Pantai Seruni Gunung Kidul, menurutnya itu termasuk kewenangan Pemkab setempat. Selain itu, dia juga tidak bisa melarang warga untuk menjual tanah pribadi kepada investor. 

Aria menyebut hamper 90 persen tujuan wisata di DIY mengandalkan daya tarik wisata alam dan budaya, dan sekitar 10 persen adalah destinasi wisata buatan seperti museum, kebun binatang atau taman-taman bertema khusus. —Rappler.com  

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!