Indonesia

Hadir sebagai saksi ahli, Yusril Ihza Mahendra: Buni Yani tidak bisa dipidana

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hadir sebagai saksi ahli, Yusril Ihza Mahendra: Buni Yani tidak bisa dipidana
Yusril menilai ada beberapa kelemahan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU)

BANDUNG, Indonesia – Penasihat hukum Buni Yani menghadirkan pakar hukum dan tata negara, Yusril Ihza Mahendra sebagai saksi ahli dalam persidangan perkara dugaan pelanggaran UU ITE di ruang sidang Gedung Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung pada Selasa 12 September. Kehadiran Yusril sebagai saksi ahli sempat diprotes Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jabar.

“Setelah mendengarkan saksi ahli yang diajukan penasihat hukum terdakwa, khusus saksi ahli konstitusi dan hukum tata negara, kami keberatan dengan alasan hubungan antara Undang-undang ITE dengan konstitusi hukum tata negara ini tidak ada relasinya, jadi ahli tidak bisa diambil keterangannya,” kata Ketua JPU, Andi M. Taufiq saat persidangan.

Keberatan JPU langsung diklarifikasi penasihat hukum Buni Yani. Ketua Penasehat Hukum, Aldwin Rahadian menjelaskan, kehadiran Yusril bukan sebagai saksi ahli hukum tata negara, tapi ahli teori dan filsafat hukum.

Klarifikasi. Beliau ini dihadirkan sebagai ahli teori hukum dan ini berkaitan dengan dakwaan penuntut umum Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 32 ayat 1 Undang-undang ITE. Jadi sebagai ahli teori hukum, filsafat hukum, beliau akan mengeksplor teori hukum yang melandasi dakwaan penuntut umum,” kata Aldwin menjelaskan.

Menanggapi perdebatan tersebut, Ketua Majelis Hakim M. Saptono memutuskan keterangan Yusril tetap bisa didengarkan di persidangan dan meminta persidangan dilanjutkan. Sementara, keberatan JPU akan dicatat. 

Dalam kesaksiannya, Yusril menyatakan Pasal 28 ayat 2 UU ITE merupakan perincian lebih lanjut dari Pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Terkait dengan pasal itu, penasihat hukum menyontohkan sebuah kalimat yang persis dengan unggahan Buni Yani di akun Facebook yang menjadi awal dari perkara ini bergulir. Kalimat itu hanya diubah sedikit dari unggahan Buni Yani yang berbunyi ““ PENISTAAN TERHADAP AGAMA? “Bapak-ibu [pemilih muslim] dibohongi Surat Al Maidah 51”.. [dan] “masuk neraka [juga bapak-ibu] dibodohi.” Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.”

Penasihat hukum lalu meminta tanggapan dari Yusril terkait dengan kalimat contoh tersebut. Menurut Yusril, kalimat tersebut masih memenuhi unsur kebebasan berpendapat yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Kalimat tersebut juga tidak masuk kualifikasi perbuatan pidana yang dirumuskan dalam Pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Kalau menuliskan kalimat yang dicontohkan, dia masih merupakan suatu tanda tanya, belum dapat dikualifikasi suatu perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-undang ITE. Karena suatu yang dipertanyakan, sebagai respons apakah tergolong penodaan atau tidak,” kata Yusril menjelaskan.

“Jadi kalimat itu masih memenuhi unsur kebebasan mempertanyakan sesuatu. Kalau orang bertanya begitu tidak bisa digolongkan kebencian,” ujarnya.

Pasal 28 ayat 2 UU ITE sendiri berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Selain pasal tersebut di atas, Buni Yani juga didakwa Pasal 32 ayat 1 UU ITE, yang berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.”

Mengenai pasal yang didakwakan tersebut, Yusril mengatakan, tidak ada unsur pidana dalam Pasal 32 ayat 1 UU ITE, kecuali jika dikaitkan dengan Pasal 32 ayat 3 UU ITE yang berbunyi: “Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.”

“Jadi harus dokumen rahasia. Sedangkan video yang sudah dipublikasikan di web Pemda DKI dan Youtube, bukan rahasia, tapi sudah milik publik,” tutur Yusril.

Menanggapi pernyataan Yusril, JPU mempertanyakan apakah jika dokumennya bukan rahasia, seseorang bisa dihukum?

“Sepanjang dia tidak memutarbalikan fakta atau menimbulkan kebencian, fitnah yang sebenarnya tidak seperti yang ditulis oleh pihak pertama, itu tidak ada unsur pidananya. Kecuali, dia mengutip, meng-quote atau jadi fitnah atau menimbulkan kebencian, itu harus dipidana. Tapi pidananya tidak menggunakan unsur Pasal 32 ayat 2 itu,” jawab Yusri.

Dakwaan JPU lemah

Usai persidangan, Yusril menilai dakwaan JPU memiliki beberapa kelemahan, yakni Pasal 32 ayat 1 UU ITE yang tidak bisa dijadikan dasar untuk memidanakan Buni Yani, begitu pula Pasal 28 ayat 2 UU ITE. 

“Kalau Buni Yani didakwa sebelum ada putusan Pak Ahok, saya bisa mengerti. Tapi kan putusan terhadap Pak Ahok sudah inkracht, sudah punya kekuatan hukum tetap dan putusan perkara Pak Ahok sama sekali tidak dikaitkan dengan perkara Buni Yani. Jadi semata-mata didasarkan pada web Pemda DKI dan Youtube. Jadi yang dianggap melakukan pelanggaran Pasal 156 A itu kan ucapannya Pak Ahok bukan ucapan Buni Yani,” kata Yusril memberi penjelasan.

Meski demikian, Yusril menyerahkan semua keputusan atas perkara itu kepada majelis hakim. 

“Hakim kan tidak bisa menolak perkara yang diajukan ke mereka. Lemah atau kuatnya dakwaan tergantung para pihak dalam perkara ini, jaksa maupun advokat. Berhasil atau tidak jaksa membuktikan perkaranya atau advokat bisa enggak menyanggahnya,” katanya.

Mengenai alasan dirinya bersedia menjadi saksi ahli dari pihak Buni Yani, Yusril mengatakan, ia selalu diminta sebagai ahli jika sanggup menerangkan tentang sesuatu hal. Sebagai ahli, Yusril menegaskan, dirinya berada dalam posisi netral. 

“Ahli itu disumpah untuk memberikan keterangan sesuai ahlinya,” ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini.

Sebelum memberikan kesaksian, biasanya Yusril berdiskusi terlebih dahulu dengan pihak yang meminta dirinya sebagai saksi ahli. 

“Orang yang menghadirkan saya sebagai ahli, saya ajak diskusi. Keterangan saya seperti ini loh, Anda enggak bisa mengarahkan saya ke sana kemari. Kalau saya memberikan keterangan seperti ini kayaknya akan merugikan Anda, oh kalau begitu saya enggak jadi. Dan itu seringkali terjadi,” tuturnya. 

Yusril menjadi satu dari tiga saksi ahli yang dihadirkan penasehat hukum Buni Yani di persidangan kali ini.  Saksi ahli yang lain adalah Sosiolog Musni Umar dan Pakar Komunikasi Ibnu Hamad. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!