Ada jalan Zuckerberg dan Rudiantara di Kampung Cyber Yogyakarta

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ada jalan Zuckerberg dan Rudiantara di Kampung Cyber Yogyakarta
Media sosial meningkatkan kreativitas warga Kampung Taman Yogyakarta. Setiap rumah di RT 36 pun sudah tersambung internet

YOGYAKARTA, Indonesia — Kunjungan Mark Zuckerberg ke Yogyakarta tiga tahun silam meninggalkan kesan mendalam. Sebuah kampung yang dihuni sekitar 40 kepala keluarga baru-baru ini menamakan sebuah jalan atas nama pendiri Facebook itu.

Kampung Taman yang terletak di Kelurahan Paten, Kecamatan Kraton, itu juga jamak disebut sebagai Kampung Cyber. Selain Zuckerberg, Menteri Komunikasi dan Informatika RI saat ini, Rudiantara, juga diabadikan sebagai nama jalan di sana. 

“Kami abadikan dua nama itu sebagai nama jalan sebagai bentuk apresiasi. Karena manfaatnya banyak, di antaranya membuat kampung kami lebih dikenal,” kata Ketua RT 36 sekaligus penggagas Kampung Cyber, Antonius Sasongko, kepada Rappler beberapa waktu lalu. 

Nama Jalan Mark Zuckerberg terpasang sejak Agustus 2017 di ruas jalan yang dilalui oleh bos Facebook ketika berkunjung di desa tersebut pada 2014 silam. Sementara Jalan Rudiantara terpasang pada 9 September lalu dan diresmikan langsung oleh Menkominfo itu sendiri.  

Antonius mengingat, kala itu warga dibuat terkejut dengan kedatangan Zuckerberg yang mendadak dan tanpa kabar.  

“Beliau datang, berkunjung seperti wisatawan lain dan melihat-lihat saja,” katanya. 

“Kami abadikan dua nama itu sebagai nama jalan sebagai bentuk apresiasi. Karena manfaatnya banyak, di antaranya membuat kampung kami lebih dikenal.”

Antonius berencana untuk mengirim surat elektronik langsung kepada Zuckerberg untuk mengabarkan tentang jalan baru dengan plakat nama bos media sosial itu di Kampung Cyber. 

“Mungkin nanti akan kami mention di Twitter dan Facebook, serta kami email beliau. Kami punya akses langsung ke email pribadinya yang diberikan ketika berkunjung dulu,” katanya.  

Begitupun kunjungan Menkominfo Rudiantara beberapa saat lalu. Warga juga dibuat sibuk dalam waktu singkat karena Rudiantara memberi kabar mendadak. 

“Pak Rudi sudah berulang kali ke sini. Kemarin, beliau menghubungi kami jam 09:00 pagi sebelum tiba di sini jam 13:00 siang. Jadi sangat mendadak. Informasi itu kemudian kami blast lewat SMS agar warga bisa bersiap-siap turut menyambut Pak Menteri,” kata pria jebolan Desain Komunikasi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu. 

Akses internet di seluruh rumah

Kampung Cyber berbeda dengan kampung yang lain. Seluruh rumah di RT 36 itu telah tersambung dengan internet. Sambungan wi-fi di tiap rumah bisa dipakai maksimal untuk 5 orang. Tak hanya warga setempat, pengunjung yang datang juga bisa menikmati akses wi-fi gratis selama 2 jam dengan mudah. 

“Akses untuk umum dibatasi untuk 200 pengunjung. Jadi jika pengguna sudah 200 gawai, yang lain tak bisa login,” kata Antonius. 

Gerakan Kampung Cyber awalnya dirintis sejak 2008 bersama Heri Sutanto, ketua RT kala itu, sebelum membesar dan kini diikuti oleh semua warga di RT 36. 

“Masing-masing rumah punya komputer pengadaan dari kampung, digunakan untuk mengakses internet,” kata seniman itu. 

Warga swadaya untuk membangun kebutuhan jaringan internet serta komputer di masing-masing rumah. Sebuah perusahaan minuman kemasan menyuntikkan dana sebesar Rp100 juta untuk pengadaan komputer di kampung itu. 

“Kami berikan komputer dan warga mengangsur sebesar Rp100 ribu tiap bulan, tanpa bunga,” katanya.

Berkabar lewat Facebook dan ‘SMS blast’

Kerelaan warga untuk terlibat menggunakan internet muncul karena mannfaat yang dirasakan. Namun jumlahnya terus bertambah seiring dengan bukti nyata yang didapat warga melalui internet. 

“Saya pakai internet untuk jualan batik lukis. Sekarang kalau dicari di Google batik lukis burung, yang keluar paling atas ya punya saya ini,’ kata Iwan Setyawan, perajin batik dengan motif khas burung. 

Perajin Batik motif burung di Kampung Cyber. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

Pria yang kerap disapa Lek Iwon itu mengingat pembelinya banyak berasal dari Sulawesi, Kalimantan, dan juga Bali. Sebagian besar mengenal produknya dari laman Facebook yang sudah dikelolanya sejak 2008. Menurutnya, pembelinya semain banyak karena Iwan rajin mengunggah proses dan perkembangan lukisan batiknya. 

“Jadi saya posting semua kegiatan lukis saya di Facebook, pembeli bisa melihat langsung di Facebook saya,” katanya.

Serupa dengan Iwan, sejumlah warga seperti Parwani dan Sri Hastutik juga aktif meng-update laman Facebook mereka dengan produk baru. Ibu rumah tangga tersebut juga sering update produk baru di media sosial lain, seperti Twitter dan Instagram. 

“Saya sering meng-update seprei dan jahitan untuk kitchen set,” kata Hastutik. Menurutnya permintaan yang datang lewat media sosial terkadang membuatnya kuwalahan. Hastutik membutuhkan waktu untuk menyelesaikan pesanan yang masuk. 

“Jahitan saya kalau jadi sudah ada yang ambil, jadi menjahit sesuai pesanan,” ujar perempuan paruh baya itu.

Tak heran jika kini semua rumah terhubung dengan internet. Warga kemudian memanfaatkan internet untuk kepentingan umum. 

“Pengumuman lelayu [berita duka], kerja bakti, arisan, atau kelahiran dan undangan pernikahan semuanya disebar lewat WhatsApp, LINE, dan Facebook. Juga ada SMS Blast untuk warga yang sepuh dan tidak pakai HP internet,” kata Parwani. 

Kampung itu juga menjadi satu-satunya RT yang melayani kebutuhan kependudukan dengan kelurahan secara online

Media sosial tak gantikan tatap muka

Meskipun warga melek internet dan diskusi lewat internet bisa dilakukan setiap saat, namun kecanggihan informasi tidak menggantikan kebiasaan warga untuk berkumpul. Seperti siang itu, Parwani, Sri Hastutik, dan Mujirah sedang berbincang santai di teras warga setempat. Tak terlihat gawai apapun digenggaman tangan atau di sekitar mereka.

Di seberang rumah itu, sekelompok anak-anak sedang berlarian, bermain lompat tali, dengan riang. 

Suasana di Kampung Cyber. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka/Rappler

“Main HP nya nanti, nunggu mama datang. Biasanya boleh main HP sejam setiap hari,” kata Fisia, bocah perempuan yang duduk di tahun kedua sekolah dasar setempat.

“Ada hal-hal yang tak bisa digantikan dengan WhatsApp dan media sosial lain. Misalnya menjenguk tetangga yang sakit atau sedang lahiran. Rasanya tidak pantas jika hanya mengucapkan selamat lewat WA sementara mereka ada di sekitar kita dan bisa dijangkau,” kata Heri Sutanto, salah satu penggagas Kampung Cyber.

“Kami memberikan bimbingan pada orangtua, tapi peran orangtua sangat penting untuk membimbing penggunaan internet.”

Selain mempertahankan kearifan lokal, warga juga mengikuti pelatihan literasi digital untuk menghindari dampak buruk dari internet. Hasilnya, di antaranya saluran wi-fi yang digunakan warga ter-filter dengan baik menggunakan internet sehat, komputer milik warga diletakkan di ruangan yang terbuka seperti di ruang tengah, serta panduan bagi orangtua untuk menerapkan internet sehat pada anak-anak. 

“Kami memberikan bimbingan pada orangtua, tapi peran orangtua sangat penting untuk membimbing penggunaan internet. Sebab kami tidak melacak hingga website yang dikunjungi, karena ada privasi dari pengguna, tetapi kami memasang internet sehat seperti yang digunakan Telkom,” kata Heri. 

Selain itu, warga juga menerapkan mekanisme saring hoax jika ada berita yang tidak benar tersebar di dalam Facebook milik komunitas RT 36 atau media sosial milik warga. 

“Internet ini sangat berguna untuk menyambungkan kabar warga setempat yang kini ada di perantauan, agar tetap bisa dekat dengan kabar di kampung halaman. Jika ada kabar tidak benar tentang Kampung Cyber juga bisa diklarifikasi langsung oleh sesama warga lain,” imbuhnya.

Cita-cita pasang QR Code untuk penunjuk jalan

Ke depannya, Kampung Cyber berkeinginan menambah manfaat tidak hanya bagi warga setempat tetapi juga pengunjung. Penggagasnya sedang berencana memasang rambu-rambu penunjuk arah serta penjelas tentang kampung tersebut. 

Tujuannya agar wisatawan tak tersesat di dalam kampung yang dikelilingi banyak tujuan wisata dalam kompleks Taman Sari itu, di antaranya seperti Pulau Cemeti, Sumur Gumuling dan Masjid Bawah Tanah, atau Pulau Kenanga. Kampung Cyber sedang mencari cara agar informasi yang baik dan dibutuhkan pengunjung tidak memancing konflik dengan warga setempat yang memberikan jasa sebagai tur guide sekaligus penunjuk jalan. 

“Rencananya akan saya buat sign system menggunakan QR Code. Nantinya dipasang di kompleks Kampung Cyber saja, fungsinya agar pengunjung tahu tentang sejarah Kampung Cyber serta arah di sini. QR Code akan membawa pengunjung ke Wikipedia atau blog lain yang informatif dan sebisa mungkin tidak memicu konflik dengan warga setempat,” kata Antonius. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!