Surabaya, kota metropolitan yang kekurangan jamban

Amir Tedjo

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Surabaya, kota metropolitan yang kekurangan jamban
Surabaya dikenal sebagai kota yang bersih dan nyaman karena memiliki banyak taman. Namun di balik itu, masih ada warga yang masih buang air besar bukan di jamban sehat

SURABAYA, Indonesia — Suatu saat terjadi cekcok antarwarga di Kelurahan Wonokromo, Surabaya. Dua keluarga yang rumahnya bersebelahan ini bahkan sempat mengacung-acungkan senjata tajam saat berselisih. Beruntung, pertengkaran mulut dapat didamaikan oleh warga lainnya. Setelah ditelusur, ternyata penyebab pertengkaran menyangkut kotoran manusia.

Ceritanya, saat seorang warga asyik makan di teras rumahnya, ia melihat  kotoran manusia terapung di saluran got depan rumahnya. Nafsu makan pun menjadi buyar karena pemandangan tersebut. Tetangga sebelah rumah pun menjadi tertuduh.

Ternyata, tetangga sebelah itu tak mempunyai septitank, karena mereka dari keluarga kurang mampu. Setiap buang air besar, kotorannya langsung mengalir ke saluran got depan rumah. Kata warga yang terganggu, kejadian semacam ini bukan hanya sekali. Maka dari itu dia menjadi cepat emosi. Akhirnya setelah didamaikan, warga sepakat untuk membuatkan septitank secara bergotong-royong. 

Sudah menjadi hal yang biasa jika rumah warga di Kelurahan Wonokromo, Surabaya, ada yang tak mempunyai septitank, apalagi di rumah-rumah yang berdiri di tepi-tepi sungai. Status rumah-rumah warga di tepi sungai di sekitar Wonokromo ini pun sebenarnya ilegal, karena berdiri di tanah irigasi. Tapi bukan berarti rumah yang jauh dari sungai sudah mempunyai septitank. Setali tiga uang, banyak di antara mereka yang juga belum mempunyai septitank.

Namun sekarang rumah-rumah tanpa septitank di Kelurahan Wonokromo itu berangsur-angsur mulai berkurang. Adalah Lutmainah, perempuan paruh baya yang bekerja di bagian kesehatan lingkungan Puskesmas Wonokromo yang menggagas arisan jamban untuk warga.

“Kami menginginkan ada sanksi yang tegas untuk rumah yang tak memiliki septitank. Warga selalu bertanya, kenapa kami harus dibebani dengan angsuran septitank, sedangkan tetangga sebelah walau tak punya septitank tidak diberikan sanksi.”

Bu Lut, panggilannya, bahkan sampai merelakan uang pribadinya sebesar Rp10 juta untuk dijadikan modal awal arisan jamban. Inisiatif Bu Lut muncul pada sekitar 2014 lalu. Dibantu oleh Ketua Kelurahan Siaga Wonokromo Endah Retnowati dan Ketua Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Upik Astuti, mereka bertiga menjadi motor arisan jamban di Kelurahan Wonokromo.

“Saya bersyukur, karena memiliki kader militan seperti mereka-mereka,” kata Bu Lut memandang dua orang rekannya.

Dengan arisan jamban, warga yang rumahnya belum mempunyai septitank bisa mengajukan pinjaman untuk pembuatan septitank. Tapi jangan dibayangkan pinjaman yang diberikan kepada warga dalam bentuk uang, melainkan langsung dibangunkan septitank. Kata Endah, mereka sengaja tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang, karena khawatir uangnya sudah habis tapi septitanknya belum terbangun.

“Makanya, langsung kami bangun saja. Berapa total biaya yang dihabiskan, itu nanti yang akan menjadi pinjaman dan harus dibayarkan warga,” kata Endah.

Setiap septitank yang dibangun di rumah warga menghabiskan biaya yang bervariasi, mulai Rp900 ribu hingga Rp2,1 juta, tergantung spesifikasi jamban di masing-masing rumah. Dari biaya yang dihabiskan itu, warga bisa mencicil pinjaman tanpa dibebani bunga.

“Awalnya, kami menargetkan cicilan harus dilunasi tiga sampai lima bulan. Namun kenyataannya meleset. Bahkan ada yang sampai setahun baru lunas,” kata Astuti.

Tak heran, meski sudah berjalan sekitar tiga tahun, namun arisan jamban baru berhasil menjangkau sekitar 76 rumah yang tak berseptitank. Kredit macet pernah mencapai Rp6 juta. Padahal modalnya hanya Rp10 juta. Itu pun tanpa bunga.

“Tapi sekarang, sudah jauh berkurang. Kredit macet hanya sekitar Rp2 jutaan,” kata Astuti.

Untuk meminimalisasi angsuran macet, tak ada jalan lain bagi Lutmainah, Endah, dan Astuti selain harus telaten menagih kepada warga yang masih mempunyai hutang. Berapa pun uang disetorkan warga, mereka terima, meski jumlahnya tak signifikan.

“Berapa pun tetap kami terima, yang penting arisan jamban bisa tetap berjalan, untuk menjangkau warga lain yang belum punya septitank,” kata Astuti.

Kurangnya kesadaran warga Wonokromo soal jamban yang sehat menjadi salah satu penyebab mengapa warga masih enggan membangun septitank di rumahnya. Selain itu, kata Lutmainah, Surabaya di bawah kepemimpinan Wali Kota Tri Rismaharini dianggap terlalu memanjakan warga dengan berbagai kebijakan gratisnya. Sehingga seolah-olah membangun septitank ini adalah program gratisan dari Pemerintah Kota Surabaya.

“Kita selalu mengeluh soal ini kepada Bu Risma saat dia berkunjung ke sini. Kami sebenarnya juga menginginkan ada sanksi yang tegas untuk rumah yang tak memiliki septitank. Warga selalu bertanya, kenapa kami harus dibebani dengan angsuran septitank, sedangkan tetangga sebelah rumah walau tak punya septitank tidak diberikan sanksi,” kata Lutmainah.

Selain mendorong warganya agar ikut dalam arisan jamban, Lutmainah, Endah, dan Astuti juga rajin mencarikan donatur dari perusahaan-perusahaan  melalui corporate social responsibility (CSR) dan bedah rumah yang biasa dilakukan oleh TNI.

“Tapi ya gitu, bantuan dari perusahaan-perusahaan biasanya kecil. Paling hanya bisa untuk 20 rumah. Sedangkan, yang belum punya septitank masih ratusan,” kata Endah.

Menuju ‘Open Defecation Free’

Jamban komunal yang dibangun oleh Habitat for Humanity di kawasan Pandegiling. Foto oleh Amir Tedjo/Rappler

Lain Wonokromo, lain lagi Kelurahan Tegalsari. Warga kurang mampu di Kelurahan Tegalsari termasuk beruntung. Mereka mendapat bantuan dari donatur yang disalurkan melalui Habitat for Humanity. Sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pemukiman ini awalnya hanya menyalurkan bantuan untuk bedah rumah warga kurang mampu.

“Namun setelah kami lihat, masalahnya bukannya hanya rumah tak layak saja, namun juga urusan jamban. Maka sekitar 2015 awal, kami mulai membangun septitank untuk warga,” kata Community Organizer dari Habitat for Humanity, Agus Arianto.

Urusan membangun septitank oleh Habitat for Humanity ini hampir sama dengan arisan septitank yang dijalankan oleh warga Wonokromo. Mereka memberikan bantuan langsung berupa septitank. Bedanya, warga Tegalsari tak perlu lagi membayar angsuran, karena pembangunan septitank gratis.

Meski biaya gratis, bukan berarti tanpa peran serta warga. Habitat for Humanity hanya bertanggungjawab atas pembangunan septitank saja. Sedangkan tanggungjawab lain seperti memberikan makan siang untuk dua atau tiga orang pekerja, membersihkan tanah galian, dan mengembalikan lantai keramik, menjadi tanggungjawab pemilik rumah.

“Jangan dikira ongkos membuang gragal [tanah bekas galian], menyediakan karung untuk gragal, dan mengembalikan keramik itu murah. Hitungan kami setidaknya warga harus mengeluarkan Rp1 juta, untuk bersih-bersih,” kata Agus.

Sejak mulai membangun septitank pada 2015 sampai sekarang, Habitat for Humanity sudah berhasil membangun untuk 250 rumah warga di Kelurahan Tegalsari.  Sedangkan untuk kakus komunal, Habitat for Humanity sudah membangun 8 unit.

“Sekarang kita sedang mendorong Lurah untuk menetapkan Kelurahan Tegalsari sudah Open Defecation Free (ODF). Program kita akan bergeser ke kelurahan sebelahnya, yaitu Wonorejo,” kata Agus.

Nurabidah, perempuan paruh baya warga Pandegiling, Tegalsari, merasakan manfaat dari kegiatan Habitat for Humanity ini. Sudah belasan tahun dia tinggal di rumah itu, namun belum punya jamban sendiri. Keterbatasan ekonomi menjadi penyebabnya. Suaminya hanya bekerja sebagai tukang sapu tak di SD Negeri tak jauh dari rumahnya.

Terpaksa, untuk kegiatan mandi dan buang air besar, dia dan seluruh keluarganya menggunakan WC umum yang ada di samping rumahnya. Orang menyebutnya WC umum, tapi sebenarnya penggunaanya tidak untuk umum saja, karena kamar mandi ini hanya digunakan terbatas untuk 10 rumah-rumah kontrakan yang ada di sekitar rumah Nurabidah.   

Sudah bisa dibayangkan, bagaimana rasanya menggunakan kamar mandi umum yang harus rela mengantri, terutama di pagi hari. Belum lagi menjelang musim hujan seperti sekarang. Setiap kali musim penghujan, jamban selalu meluap. Wajar saja, karena jamban ini tak memiliki septitank. Hanya kloset, sedangkan kotoran langsung mengalir ke tanah.

“Kalau musim hujan biasanya airnya nyumber. Makanya meluap. Saya senang karena ada bantuan dari Habitat ini,” kata Nurabidah.

Masih kekurangan 15 ribu jamban sehat

Masalah ODF ini sebenarnya bukan hanya terjadi di wilayah Wonokromo dan Tegalsari. Dua wilayah ini sebenarnya masih wilayah pusat kota. Apalagi Tegalsari, yang hanya berjarak 200 meter dari pusat perbelanjaan legendaris Plasa Tunjungan dan pusat perkantoran. Ketersediaan jamban sehat sebenarnya masih menjadi masalah Surabaya secara keseluruhan, karena masih banyak kelurahan lain yang juga belum bebas buang air besar sembarangan atau minimal di jamban sehat.

Jika melihat data Profil Kesehatan Surabaya 2014 dan 2015, Dinas Kesehatan Kota Surabaya mengklaim persentase warga yang mengakses jamban sehat sudah di atas 90 persen, kecuali wilayah Sidotopo yang masih 78,6 persen. Tapi jangan girang dulu dengan data tersebut, karena data ini adalah yang berhasil dijangkau oleh ibu-ibu Dasa Wisma di masing-masing kelurahan. Bisa jadi data tersebut tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya di lapangan.

Misalnya saja, berdasarkan data Profil Kesehatan 2015, jumlah rumah yang ada di kota Surabaya pada 2015 adalah sebanyak 654.451 rumah. Namun tak semua rumah itu bisa dijangkau oleh Dasa Wisma. Mereka hanya menjangkau 34,09 persen dari jumlah jumlah keseluruhan rumah yang ada di Surabaya. 

Dari rumah yang berhasil dijangkau itu, Dasa Wisma melaporkan rumah yang  masuk dalam kategori rumah sehat sebesar 83,91 persen. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Surabaya 2015 yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Surabay,a jamban sehat yang ada di Surabaya ada 699.475 unit.  

Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya, drg. Febria Rachmanita, mengatakan Surabaya masih kekurangan sekitar 15 ribu jamban sehat, paling banyak berada di wilayah Surabaya Timur dan Utara. 

“Nanti akan bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Dinas Cipta Karya untuk atasi itu,” ujar drg. Febria.

Persoalan akurasi data ini juga yang pernah dialami Agus, saat Habitat for Humanity akan memberikan bantuan pembangunan septitank. Saat itu, kata Agus, berdasarkan data dari Puskesmas, rumah yang belum memiliki septitank hanya puluhan rumah saja. Namun dalam kenyataannya setelah masing-masing Ketua RT mengumumkan soal bantuan septitank ini, ternyata ada 250 rumah yang belum memiliki.

“Angkanya jadi membengkak karena bisa jadi mereka terlewat saat didata atau mereka bohong karena malu dalam memberikan keterangan. Tapi saat diberitahu gratis, mereka berbondong mendaftar,” kata Agus.

Berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, dari 154 kelurahan yang ada di Surabaya, ternyata baru 38 yang sudah ODF. Padahal jika melihat angka akses warga Surabaya ke fasilitas jamban sehat, angkanya rata-rata sudah di atas 90 persen. Harusnya, semakin tinggi akses warga ke jamban sehat, maka semakin banyak pula kelurahan-kelurahan di Surabaya yang sudah bebas BAB sembarangan. 

Jika dibanding dengan kota dan kabupaten lain di Jawa Timur soal ODF, Surabaya kalah dengan Pacitan, Madiun, Ngawi, dan Magetan. Empat daerah ini sudah mengantongi predikat ODF dari Kementerian Kesehatan.

Namun kata Eddy S. Soedjono, Ketua Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, membandingkan Surabaya dengan empat daerah yang sudah ODF itu dianggap tidak sebanding.

“Surabaya kota besar. Masalahnya tentu lebih kompleks. Meski mempunyai APBD yang lebih besar dari empat kota itu, masalah ODF ini tak bisa semuanya diintervensi oleh APBD [Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah],” kata Eddy.

Kata dia, secara teknik sebenarnya ketersediaan septitank di rumah rumah warga bisa diatasi dengan membangun cubluk, yaitu dengan membuat galian dalam tanah sedalam sekitar tiga meter kemudian dimasukan bis beton. Pembangunan cubluk ini juga berbiaya murah, antara Rp300-500 ribu saja.

Meski demikian, cubluk secara kesehatan lingkungan memang tak memenuhi syarat karena akan tetap mencemari tanah karena tinja. 

“Cubluk adalah teknologi yang paling sederhana dalam mengatasi ketersediaan septitank. Yang terpenting itu kan, kotoran manusia tak terpapar secara terbuka kemudian dihinggapi lalat dan tidak meluber,” ujar dia.

Namun Eddy juga tak yakin, meski cubluk berbiaya murah dan bisa menjadi solusi untuk warga miskin dan rumah berlahan sempit. Dia meragukan Pemerintah Kota Surabaya mau membangun cubluk di rumah-rumah warga yang belum punya septitank untuk atasi ODF.

“Persoalannya, rumah-rumah warga yang belum berseptitank itu biasanya rumah-rumah ilegal yang berdiri di atas tanah bukan miliknya. Mana bisa APBD digunakan untuk membangun di atas tanah ilegal,” katanya.  

Soal akurasi data ini ternyata juga menyulitkan bagi Dinas Cipta Karya yang kebagian membangun jamban sehat. Secara nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengeluarkan Program 100-0-100. Program ini menargetkan pemerintah bisa mencapi 100 persen akses air minum, 0 persen kawasan pemukiman kumuh, dan 100 akses sanitasi layak termasuk di dalamnya jamban sehat. Program ini ditarget tuntas pada 2019 nanti.

Namun dalam kenyataannya, program ini belum berjalan di Surabaya. Kepala Dinas Cipta Karya Eri Cahyadi mengatakan baru akan tahun depan dijalankan. Itu pun baru sebatas perencanaan (action plan) yang akan melibatkan tim ahli dari Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS).

“Untuk air minum dilaksanakan oleh PDAM, sedangkan untuk kawasan kumuh lagi disinkronkan datanya karena saat ini ada perbedaan luasan antara data yang dimiliki Kementerian PUPR dengan SK Wali Kota. Sedangkan untuk sanitasi lagi dibuat action plan,” kata Eri.

Lalu berapa lama lagi Surabaya bisa menyandang predikat ODF? —Rappler.com

Liputan ini adalah bagian dari Fellowship Data Driven Journalism tentang isu-isu kesehatan yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!