‘Posesif’, bukan sekadar film remaja

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Posesif’, bukan sekadar film remaja
Film ’Posesif’ mengangkat sisi kelam hubungan remaja yang sering luput dari pembahasan

JAKARTA, Indonesia — Posesif baru akan rilis pada 26 Oktober mendatang, tetapi film ini telah menyabet 10 nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2017. Tentunya fakta ini membuat pecinta film Indonesia bertanya-tanya karena film ini sekilas terlihat seperti film remaja biasanya.

Tetapi ternyata jauh lebih dari itu, film ini membahas sisi kelam dari hubungan remaja yang sebenarnya banyak terjadi namun sering luput dari pembahasan. Jadi tidak heran jika film ini disebut-sebut sebagai film remaja Indonesia pertama yang ber-genre romantic-suspense.

Jika biasanya premis film romansa remaja adalah bagaimana sulitnya sepasang cewek dan cowok untuk bersatu dengan segala masalah yang ada, film ini justu mengisahkan Lala (Putri Marino) dan Yudhis (Adipati Dolken) yang bertemu, jatuh cinta secara instan, dan tidak membutuhkan waktu lama untuk merasa nyaman dan mengutarakan perasaan mereka.

Lala merupakan atlet loncat indah yang sangat sibuk dengan kegiatannya sebagai atlet. Di sekolah, ia tak banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya, tetapi Lala bersahabat dengan Ega (Gritte Agatha) dan Gino (Chicco Kurniawan).

Setelah kedatangan Yudhis (Adipati Dolken) di kehidupannya, Lala (Putri Marino) jadi kesulitan untuk bermain dengan sahabatnya Ega (Gritte Agatha) dan Gino (Chicco Kurniawan). Foto dari Instagram/palarifilms

Tak disangka, saat Lala kembali ke sekolah setelah usai mengikuti kompetisi, ia pun bertemu dengan Yudhis, anak baru di sekolah yang terkenal tampan. Tanpa alur yang sulit mereka pun saling tertarik dan akhirnya jadian.

Sisi kelam hubungan remaja

Setelah berpacaran, ternyata Yudhis memiliki sifat posesif yang berlebihan. Ia selalu ingin bersama Lala, bahkan ketika sebenarnya Lala sedang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Kemudian Yudhis pun berhasil “menarik” Lala keluar dari rutinitasnya dan menjadikan hubungan mereka berdua sebagai prioritas Lala.

Tak butuh waktu lama untuk Lala (Putri Marino) dan Yudhis (Adipati Dolken) untuk jatuh cinta. Foto dari Facebook/Palari Films

Tak hanya itu, Yudhis pun banyak memaksakan kehendaknya pada Lala. Mulai dari melarang Lala bermain dengan sahabat-sahabatnya, tidak suka Lala diantar orang lain, hingga memaksakan kontak fisik yang membuat Lala tidak nyaman. 

Lala berkali-kali ingin putus dari Yudhis, namun dengan berbagai cara Yudhis pun berhasil meluluhkan hati Lala — berkali-kali.

Siklus kekerasan

Di paruh pertama, Yudhis dikesankan sebagai cowok psikopat yang semena-mena kepada Lala. Itu benar. Tetapi ternyata ada alasan dibalik sifat obsessive yang dimilikinya.

Ibu Yudhis (Cut Mini) merupakan single parent yang ditinggal suaminya sejak Yudhis kecil. Sakit hati ini kemudian membekas dan ia lampiaskan kepada Yudhis. Ia ingin Yudhis mengikuti seluruh kemauannya, bahkan ia tak segan melakukan kekerasan fisik kepada anak semata wayangnya itu.

Di depan sang ibu, Yudhis sangat inferior, tidak berani membantah dan tak berdaya. Sebaliknya, ibunya tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun sehingga akan melakukan segala cara agar Yudhis menuruti perintahnya, sama seperti Yudhis yang selalu berhasil memaksakan keinginannya pada Lala, bagaimana pun caranya.

Di sisi lain, ayah Lala (Yayu Unru) adalah merupakan pelatih loncat indah yang terobsesi agar anaknya bisa menyamai prestasi mendiang ibunya. Saat ia mengetahui kenyataan bahwa Lala sebenarnya tidak menyukai loncat indah, ia sempat frustasi. Namun, kontras dengan ibu Yudhis, ia tetap menunjukkan rasa sayang kepada Lala dan selalu menerima anaknya dalam keadaan apapun.

Pelajaran yang menghibur

Film ini berhasil membuka mata penonton bahwa usia remaja merupakan usia yang sangat rentan dan tidak mudah ditebak. Sebagian orang dewasa mungkin menganggap rasa cinta Lala dan Yudhis berlebihan, namun jika dilihat dengan kacamata remaja, hubungan asmara memang terasa sangat serius dan masalah yang menyelimutinya terasa sangat berat.

Film ini juga memperlihatkan bahwa peran orang tua sangat besar pada perkembangan anak, khususnya di usia remaja, saat emosi dan pikiran anak sedang dalam masa rentan. Posesif juga mengingatkan pentingnya peran orang tua untuk bersedia mendengarkan anaknya. Meskipun permasalahan yang ada seolah-olah hanya sepele, namun bisa jadi sangat besar bagi mereka.

Pantaskah dapat 10 nominasi FFI?

Para kru dan pemeran film 'Posesif'. Foto dari Facebook/Palari Films

Pertanyaan selanjutnya dari film ini adalah, apakah Posesif pantas mendapatkan 10 nominasi FFI 2017 bahkan sebelum filmnya rilis resmi? Jawabannya, setidaknya menurut saya, sangat pantas.

Posesif mendapatkan 10 nominasi, untuk kategori-kategori bergengsi: Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Edwin), Pemeran Utama Pria Terbaik (Adipati Dolken), Pemeran Utama Wanita Terbaik (Putri Marino), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Yayu Unru), Pemeran Pendukung Wanita Terbaik (Cut Mini), Penulis Skenario Asli Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, serta Penata Rias Terbaik.

Meskipun Posesif merupakan karya debut dari Palari Films, namun sineas dibaliknya sudah tidak dapat dipungkiri lagi kualitasnya. Film ini diproduseri oleh Muhammad Zaidy (Athirah) dan Meiske Taurisia (Postcards from the Zoo bersama Edwin, 2012) . Skenarionya ditulis oleh Gina S. Noer, yang terkenal dengan naskah untuk film-film drama box office seperti Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, dan Habibie Ainun. Sedangkan sang sutradara, Edwin, sudah malang melintang di berbagai festival film internasional dengan karya-karyanya seperti Babi Buta yang Ingin Terbang (2008), Postcards from the Zoo (2012), dan A Very Boring Conversation (2006).

Dengan para sineas yang sudah terbukti kualitasnya, serta dukungan para aktor, film ini terasa begitu lengkap.

Emosi penonton berhasil dibuat naik-turun seakan-akan memiliki ikatan dengan Yudhis, Lala, dan karakter lainnya. Adipati Dolken dan Cut Mini berhasil membawa suasana mencekam ke dalam bioskop, hingga terkadang penonton pun lupa bahwa mereka sebenarnya sedang menonton film romansa remaja. Tetapi tentunya chemistry Adipati dan Putri Marino yang terlihat nyata juga berhasil memberikan porsi drama romantis yang cukup untuk film ini hingga bisa dinikmati.

Kolaborasi para produser, sutradara, dan penulis skenario dalam film ini sangat patut diberikan tepuk tangan. Kemampuan Gina dan Edwin untuk memaksakan para aktor keluar dari zona nyaman dan mengeluarkan seluruh kemampuan berakting mereka lah yang menjadi alasan Posesif pantas mendapatkan nominasi, dan bahkan menang di FFI 2017 nanti.

Dan tentunya, film ini layak menjadi salah satu film Indonesia yang wajib ditonton oleh para remaja dan mantan remaja, serta para orang tua dan calon orang tua. —Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!