Ruwatan Sukerta, ritual kuno buang sial di masyarakat Jawa

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ruwatan Sukerta, ritual kuno buang sial di masyarakat Jawa
Siraman air ini adalah prosesi membersihkan diri dari kotoran jiwa dan spirit jahat yang disebabkan dosa dan kesalahan masa lalu, dan dapat menjadi penghalang kesuksesan

 

SOLO, Indonesia — Pagi menjelang siang itu, sekitar 300 orang berjalan berarakan dari Dalem Suryahamijayan menuju menuju Kagungan Dalem Sasana Mulya di Komplek Keraton Surakarta. Anak-anak hingga lanjut usia mengenakan busana serba putih berbalut kain dan ikat kepala dari kain mori polos.

Mereka akan mengikuti ruwatan sukerta, sebuah ritual kuno pembersihan diri yang sudah dikenal masyarakat Jawa jauh sebelum masuknya agama-agama samawi di Indonesia. Ruwatan massal gratis ini digelar oleh Direktorat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bekerja sama dengan Keraton Kasunanan.

Di pendapa Sasana Mulya, pakeliran (layar) wayang kulit dibentangkan lengkap dengan susunan gamelan dan para penabuh gamelan beserta pesinden. Pintu masuknya berhias janur kuning, tandan pisang, dan daun beringin seperti dalam acara pernikahan.

“Siraman air merupakan prosesi untuk membersihkan diri dari sukerta–kotoran jiwa, aura negatif, dan spirit jahat. Sukerta disebabkan karena dosa yang jadi penghalang kesuksesan atau penyebab hidup seseorang jadi gelisah.”

Setiap orang harus berbaris memasuki pintu itu lalu duduk lesehan di pendapa dengan tenang, tak boleh makan atau bermain ponsel selama prosesi. Di depan mereka sudah tertata ubo rampe (perlengkapan ritual) ruwatan, dari mulai ternak unggas hingga perabot rumah tangga.

Di bilik penyucian, beberapa abdi dalem perempuan berkebaya hitam dan berkain jarik bersila di lantai sambil membakar kemenyan dan aneka wewangian di atas tungku kecil hingga aroma dan asap pekatnya memenuhi ruangan. Tembang Jawa yang dilantunkan pesinden tanpa iringan gamelan menambah suasana semakin mistis.

Satu per satu peserta ruwatan memasuki bilik untuk menjalani pembersihan. Ki Lebdo Pujonggo Harimurti, dalang yang memimpin ritual, membacakan doa dan menuangkan air kembang setaman ke atas kepala setiap orang yang diruwat. Air untuk siraman diambil dari berbagai sumber mata air yang dianggap suci, di antaranya Gunung Semeru, Sumur Jolotundo Gunung Lawu, Masjid Agung Surakarta, dan Sumur Kadilangu Demak.

Siraman air ini merupakan prosesi untuk membersihkan diri dari sukerta–kotoran jiwa, aura negatif, dan spirit jahat. Sukerta bisa disebabkan karena dosa dan kesalahan masa lalu yang menjadi penghalang kesuksesan atau menyebabkan hidup seseorang menjadi gelisah.

Ada juga sukerta yang dibawa oleh seseorang sejak lahir. Menurut kepercayaan Jawa, beberapa anak sukerta yang butuh diruwat antara lain: 

  • Ontang-anting (anak tunggal)
  • Pancuran kapit sendang (tiga anak, laki-laki di tengah)
  • Sendang kapit pancuran (tiga anak, perempuan di tengah)
  • Uger-uger lawang (dua anak laki-laki)
  • Kembang sepasang (dua anak perempuan)
  • Kendhana kendhini (dua anak, laki-laki dan perempuan)
  • Pendhawa (anak lima, laki-laki semua)
  • Mancalaputri (anak lima, perempuan semua) 
  • Anak kembar

Ada pula anak yang perlu diruwat terkait dengan kondisi saat lahir, misalnya: 

  • Julung wangi (lahir saat matahari terbit)
  • Julung pujud (lahir saat matahari terbenam)
  • Julung sungsang (lahir tengah hari)
  • Tiba sampir (lahir berkalung plasenta)
  • Lawang menga (lahir saat candikala, saat langit berwarna merah kekuningan)

Orang yang terlahir dengan sukerta, dalam kepercayaan Jawa, harus menjalani ruwatan untuk membebaskan diri dari kekuatan buruk yang mengelilingi dirinya. Jika tidak, mereka akan mengalami kesulitan hidup, kesialan, dan malapetaka.

Wayang Murwakala, prosesi inti dari ruwatan sukerta. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Usai siraman, para peserta ruwatan massal kemudian mengikuti prosesi inti, yakni pentas wayang Murwakala. Orang-orang yang diruwat diwajibkan duduk bersila di pendapa untuk menyimak pagelaran dengan khusyuk meski dengan pakaian basahnya.

Berbeda dengan wayang kulit biasa yang digelar untuk hiburan, wayang ruwatan yang lekat dengan mistisme Jawa lebih bersifat ritual sehingga tidak bisa dimainkan oleh sembarang dalang. Selain punya jam terbang, dalang peruwat wajib menjalani laku spiritual sebelum pentas–seperti puasa dan doa–karena ia merupakan tokoh sentral dan bertanggung jawab atas prosesi ruwatan.

Ki Lebdo menancapkan wayang gunungan di tengah pakeliran untuk memulai pertunjukan. Dengan suluk-suluk mantra dan doa, pengajar di Fakultas Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu membuka ritual. Konon, mantra dan doa itulah yang menjadi peluntur aura buruk yang selama ini dipercaya meliputi diri orang-orang sukerta.

Meski ruwatan dikenal sebagai tradisi yang sudah hidup sebelum masa pra-Islam, pada kenyataannya banyak ritual yang memasukkan unsur Islam. Misalnya, sang dalang dalam memulai doa dengan suluk asmaul husna (nama-nama baik Allah) dan mengakhirnya dengan mencuplik surah Yaasin ayat 82 yang intinya jika Allah berkehendak, Ia hanya berkata ‘jadi’ maka jadilah.

“Tiap manusia punya dua sisi dalam jiwanya. Sisi kiri didominasi nafsu angkara yang dituntun oleh Iblis, dan sisi kanan penuh kebaikan yang dituntun oleh malaikat dan para wali Allah.”

Pengaruh Islam muncul dalam tradisi Jawa ini karena wayang kulit Murwakala mulai dipentaskan sejak awal abad ke-17 menggantikan wayang beber yang sebelumnya banyak digunakan sebagai ritual ruwatan. Pada abad itu, syiar Islam sudah masuk ke tanah Jawa lewat akulturasi budaya yang diperkenalkan oleh Wali Songo.

Ki Lebdo memainkan lakon Murwakala, yakni cerita wayang khusus untuk proses peruwatan yang mengambil kisah Bathara Kala, raksasa yang jadi simbol pemangsa orang-orang sukerta dalam kisah pewayangan. Bathara Kala dipercaya sebagai titisan Iblis yang turun ke bumi karena terusir dari surga akibat dari kesombongannya–hanya karena ia tercipta dari api.

Dalam pembukanya, sang dalang menuturkan setiap manusia punya dua sisi dalam jiwanya. Sisi kiri yang didominasi nafsu angkara yang dituntun oleh Iblis, dan sisi kanan penuh kebaikan yang dituntun oleh malaikat dan para wali Allah. Iblis akan mengajak manusia untuk berbuat dosa dan keburukan selama hidupnya, sehingga tanpa sadar akan menjadi kotoran jiwa yang akan menghalangi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup.

“Dengan ruwatan ini, dengan kehendak Tuhan, semoga yang belum punya anak bisa segera punya anak, yang belum dapat jodoh akan mendapat jodoh, yang sering sial hilang kesialannya,” kata Ki Lebdo.

Salah satu peserta, Budiantoro, menceritakan keinginannnya untuk ikut ruwatan massal karena merasa selalu dihinggapi kesialan, yang membuatnya hidupnya tak maju-maju meskipun berbagai ikhtiar sudah dilakukan.

“Secara ekonomi saya selalu kesulitan dan mengalami kegagalan, jauh dari sukses, meski sudah berusaha keras, seperti ada penghalangnya,” ujarnya.

Bagi Kemendikbud, ritual ruwatan digelar untuk melestarikan kebudayaan Indonesia agar terus hidup di masyarakat dan tetap menjadi milik bangsa Indonesia. Ini merupakan ruwatan massal gratis yang ketiga kalinya digelar oleh Kemendikbud setelah beberapa tahun sebelumnya di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, dan di Madiun, Jawa Timur.

“Jangan sampai ada negara lain yang melakukan atau mengklaim ruwatan, kita baru ribut-ribut belakangan,” ujar Inspektorat Jenderal Kemendikbud Daryanto.

Menurut ketua panitia ruwatan sukerta dari pihak keraton, KGPH Dipokusumo, ritual ini hanya dibatasi untuk 300 orang meskipun jumlah peminatnya cukup besar. Mereka tak hanya datang dari sekitar Kota Solo, tetapi juga dari kota lain, seperti Jakarta, Pekalongan, Banyumas, Semarang, dan Surabaya.—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!