Akulturasi budaya kuliner Indonesia dalam semangkuk soto

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Akulturasi budaya kuliner Indonesia dalam semangkuk soto
Setidaknya terdapat lebih dari 70 jenis soto di Indonesia yang ditemukan dalam berbagai dokumen

YOGYAKARTA, Indonesia —Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mendaulat Soto sebagai ikon kuliner Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Festival Kuliner Indonesia di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada awal Oktober lalu.

Soto dipilih sebagai ikon kuliner yang mewakili keragaman kuliner Indonesia setelah melalui sejumlah riset dan penelitian yang dilakukan oleh Bekraf dan juga akademisi.

Semangkuk soto dengan kuah kuning gurih dan segar berisi irisan daging ayam, atau jerohan sapi, telur, taoge serta nasi, menjadi artefak akulturasi budaya India, Tionghoa dan potensi pangan lokal Nusantara.

“Ada survey dari CNN tentang Nasi Goreng dan Rendang yang masuk dalam the world best food. Tapi kemudian melalui riset, Bekraf kemudian bergerak di soto sebagai ikon kuliner seluruh Indonesia. Makanan yang mencerminkan Indonesia, bukan milik etnik tertentu,” kata Direktur Riset dan Pengembangan Bekraf Wawan Rusiawan.

Asal usul nama soto

Di tempat yang sama, sejarawan asal Universitas Padjajaran Fadly Rahman memaparkan asal usul nama soto di Nusantara. Dari sejumlah riset dokumen tertulis, akademisi itu menemukan adanya pengaruh budaya Tionghoa dalam nama soto serta digunakannya jerohan sapi sebagai salah satu isi dalam soto.

Dalam penelitiannya, Fadly menemukan kata “soto” merujuk pada catatan milik peneliti Belanda di awal abad 19. “Dalam buku C.L van der burg, Voeding in Nederlandsch- indische, ada kata ‘soto’ merujuk pada makanan pribumi, berupa babatan sapi terbaik direndam dalam kaldu,” katanya memaparkan penelitian dalam makalah berjudul Per-soto-an dan Ke-soto-an Mencicipi Rasa Indonesia dari “Kebhinneka Tunggal Ika”an-Soto. Tahun 1919 ditemukan pula pikulan dari kayu tempat penjual soto berjualan, di museum Tropen, Belanda.

Penyebutan soto menurutnya juga berasal dari berbagai kata, seperti chau-to, sio-to, shao du, dalam bahasa Hokian yang maknanya cao berarti rumput merujuk pada aneka rempah nusantara, shao proses  memasak dan du adalah perut bermakna jeroan sapi atau babat.

“Tidak ada bukti yang bisa menunjukkan kegemaran orang Tionghoa memakan jerohan. Tetapi ada sindiran dari orang Tionghoa Utara terhadap orang Kantong dari Gungazhao yang banyak berimigrasi ke Indonesia. Yaitu mereka memakan apapun yang berkaki empat kecuali meja dan apapun yang bersayap kecuali pesawat,” kata Fadli sambil mengutip asal sumber sindiran yang disebutnya menggelikan itu.

SOTO SULUNG. Mangkuk-mangkuk dengan isian soto sulung yang siap diguyur kuah panas. Foto oleh Dyah A. Pitaloka/Rappler

Selanjutnya, pada masa kolonial, soto sudah menjadi makanan pribumi yang juga dijual oleh pedagang Tionghoa. “Ada catatan dari Koran Bromartani bertahun 1892 di Surakarta yang menggambarkan perkelahian dua serdadu di kampung Krapyak dan akibatnya membuat lapak pedagang soto babat milik Tionghoa di sekitar lokasi tersebut berantakan,” tuturnya.

Dari catatan sejarah, penggunaan jerohan dan daging sapi juga dipengaruhi oleh besarnya potensi ternak sapi, kambing dan ayam di lokasi tersebut, misalnya seperti di Jawa Timur, Semarang, dan juga Makassar.

Di tahun 1960 an, banyak referensi tentang soto ayam ditemukan karena saat itu populasi ayam lebih stabil dibandingkan sapi akibat kondisi ekonomi yang kurang baik.

Sementara di Bandung, soto menggunakan lobak karena Bandung saat itu bukanlah kantong daerah ternak sapi. “Coto Makassar dan Soto Ambengan pakai cukup banyak daging karena daerahnya juga jadi basis peternakan sapi. Sedangkan Bandung menggunakan lobak karena tak banyak daging sapi di sana. Setidaknya terdapat sekitar 70 jenis soto yang ditemukan dalam berbagai dokumen,” katanya.

Kuah kuning pengaruh India

Tak hanya pengaruh Tionghoa, Murdijati Gardjito peneliti pada pusat studi pangan dan gizi Universitas Gadjah Mada menyebut ada pengaruh India disamping kekayaan khasanah kuliner masing-masing wilayah di Indonesia.

Dalam makalah yang disajikan di tempat yang sama, Murdijati menemukan terdapat 75 soto yang tersebar di 22 daerah kuliner dari 34 daerah yang diteliti, meliputi  Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Madura, Bali, NTB, NTT, Maluku dan Papua.

Menggunakan metode survei dan pengolahan data tertulis ditemukan 75 soto tersebar di 22 daerah kulinar di antara Jawa-Madura, Sumatera, NTB, Sulawesi dan Kalimantan.

Dari hasil tersebut, diketahui komposisi soto menggunakan bahan nabati dan hewani dengan lebih dari 60% adalah bahan hewani, terbanyak menggunakan ayam, telur, kemudian sapi dan beberapa bahan lain.

“Ragam kuah soto berdasarkan kondisi kuahnya, 64% berwarna 36% bening. Kuah berwarna kuning paling banyak dijumpai dan mendapatkan pengaruh dari kuah kuliner India. Sementara so’un pengaruh dari Tionghoa,’ katanya.

SOTO TANGKAR. Isi semangkuk soto tangkar dengan potongan tulang iga sapi. Foto oleh Dyah A. Pitaloka/Rappler

Pengaruh Nusantara dan khasanah setempat banyak terasa pada ragam isian serta bumbu yang digunakan. Rujak soto di Banyuwangi misalnya, menggunakan irisan aneka sayuran, irisan tahu tempe, siraman bumbu kacang, irisan ikan asin dan diguyur kuah soto.

Sementara soto tangkar dari Jawa Barat menggunakan jagung dan tulang iga. Ada pula soto Bandung menggunakan irisan lobak. Soto Padang dikenal memiliki kandungan rempah yang paling banyak, sekitar 16 ragam bumbu dari total 45 jenis bumbu yang ditemukan dalam 75 jenis soto.

Dari aneka bahan nabati taoge paling banyak dijumpai. “Enam bumbu paling penting adalah bawang putih, bawang merah, jahe, kunyit, serai. Pelengkap makan soto ada daun bawang, seledri, bawang merah goreng dan jeruk nipis,” tuturnya.

Sehingga soto pun disebut pantas menyandang makanan kuliner yang mewakili kebhinekaan di Indonesia. Di dalamnya terdapat pengaruh Tionghoa, budaya kuliner India, adopsi bahan Barat seperti pada irisan seledri, tomat, kol dan kentang, serta pengaruh tradisi boga Nusantara.

Sebanyak 75 jenis ragam soto yang tersebut dalam makalah Murdijati berjudul Profil Soto Indonesia: Fakta Pendukung Soto sebagai Representasi Kuliner Indonesia. 

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!