Benarkah warga Aceh tak bisa lepas dari ganja?

Habil Razali

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Benarkah warga Aceh tak bisa lepas dari ganja?
Sekitar tahun 1980-an, ganja perlahan mulai dihilangkan di Aceh. Tidak lagi ditanam di halaman rumah

BANDA ACEH, Indonesia — Pohon ganja memang tumbuh subur di tanah Aceh. Bahkan jenis tanaman yang kemudian diklasifikasikan sebagai narkotika ini sudah ada di Bumi Rencong sejak dahulu kala. 

Warga Aceh biasa menggunakan akar, daun dan batang ganja sebagai obat-obatan dan bumbu masak. Tak mengherankan jika ganja kemudian diidentikkan dengan Aceh. Namun benarkah warga Aceh tidak bisa dilepaskan dari ganja? 

Malam merambat perlahan. Angin sejuk terhembus menerpa pria berkacamata melalui celah dinding bambu Kantin Smea di Lampineung, Banda Aceh. Di tangannya, sebuah gadget hitam sesekali ia gesekkan. 

“Pesan kopi dulu,” kata Tarmizi A Hamid saat menerima Rappler di sudut sebuah warung kopi di Kota Banda Aceh, Selasa, 17 Oktober 2017 malam. Kolektor manuskrip kuno Aceh ini tampak ramah. Ia akrap disapa Cek Midi.

Darinya, Rappler bertanya tentang jejak ganja di bumi Serambi Mekkah. Apalagi, Aceh menerapkan hukum syariat Islam yang mengharamkan barang-barang yang memabukan seperti ganja.  

“Ratusan tahun lalu, biji ganja dibuat untuk rempah-rempah, kemudian batang dan akarnya sebagai obat-obatan,” Cek Midi mulai menceritakan kegunaan ganja di masa kerajaan Aceh Darussalam. Ia menyebutkan akar ganja sangat baik untuk penyakit darah manis. 

“Orang Aceh dahulu menanamnya untuk hal yang positif,” katanya. Saat Aceh beberapa kali terjadi peperangan, pohon ganja digunakan sebagai obat luka dan bius.

Dulu, kata Cek Midi, belum ada obat-obatan kimia. Orang Aceh bertahan dengan menggunakan obat herbal dari dedaunan, salah satunya ganja karena keterbatasan teknologi farmasi pada saat itu.

Cek Midi mengatakan pada sekitar tahun 1970-an, tanaman ganja masih bebas ditanam di pot-pot depan rumah. “Tujuannya untuk rempah-rempah bumbu masak dan obat-obatan,” kata pria berumur 48 tahun itu.

Ganja dipercaya ampuh untuk membuat daging empuk saat dimasak. Masakan khas Aceh yang dulunya sering ditaburi ganja adalah Kuah Beulangong dan beberapa masakan lainnya dari daging. 

Kemudian seiring perjalanan waktu, ganja di Aceh mulai disalahgunakan oleh generasi selanjutnya. Dari awalnya sebagai rempah dan obat herbal, tapi belakangan mulai dihisap seperti rokok.

Saat itu lah ganja perlahan ditinggalkan oleh warga Aceh karena dapat ditakutkan merusakkan generasi Aceh. Apalagi bumbu masakan pun sudah banyak yang lainnya untuk membuat daging empuk. Merasa tidak dibutuhkan lagi, tumbuhan yang ditanami di halaman depan rumah itu dibabat habis. Dan dikhawatirkan akan  dipersalahgunakan. 

Sekitar tahun 1980-an, tumbuhan ganja sudah perlahan mulai dihilangkan di Aceh. Tidak lagi ditanami di halaman rumah. 

Kemudian sekitar tahun 1997, keluarlah undang-undang yang secara resmi melarang peredaran tumbuhan ganja. Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, ganja termasuk dalam kategori narkotika golongan I.

“Sekarang ganja tidak lagi digunakan untuk obat atau pun bumbu masak, karena sudah banyak obat atau bumbu masak lain yang lebih baik dari ganja,” ujar Cek Midi sembari menghisap rokoknya perlahan. 

Matanya sesekali mengarah ke penjuru warung kopi. Gelas kopi hitamnya sudah kosong. Pertemuannya dengan Rappler saat malam hampir larut. Ia berkendara roda menorobos kesunyian menuju rumah.

Besoknya, Rabu 18 Oktober 2017, Rappler mengunjungi sebuah warung makan khas Aceh Besar di pinggir Kota Banda Aceh, Aceh. Di sana menyediakan masakan Kuah Beulangong. Kata Cek Midi, masakan Kuah Beulangong dulunya seringkali dibubuhi sedikit biji ganja. 

Warung masih sepi. Tiga orang di sana tampak keluar masuk bagian belakang warung. Di teras depan, seorang pria asik mengaduk sebuah belanga dengan api masih menyala. Masakan itulah Kuah Beulangong.

Uniknya, masakan khas Aceh itu dimasak oleh chef pria. Berbahan dasar daging sapi ataupun daging kambing dengan perpaduan rempah-rempah. Sehingga menciptakan rasa yang khas. 

Kuah Beulangong sering disajikan pada acara hajatan, acara-acara kebudayaan dan lainnya. Ia dibuat dengan bumbu khas Aceh seperti campli kleng (cabai kering), u neu lheu (kelapa gongseng), kayu mameh (kayu manis) dan bumbu-bumbu lainnya.

Nah, untuk mengempukkan daging sapi atau kambing itulah dulunya ganja seringkali digunakan.

“Saya tidak menggunakan ganja. Kalau dulu memang hampir semua masakan Aceh yang ada dagingnya pasti dibubuhi ganja,” kata Basri sang koki sembari terus mengaduk Kuah Beulangong yang hamir matang.

Sekarang, kata Basri, sudah ada bumbu lain yang juga membuat daging empuk. Meskipun begitu kalau ditaburi ganja rasanya menjadi lebih lezat.

“Saya kan sudah dari dulu masak Kuah Beulangong, dulu memang pernah saya taburi ganja dan rasanya pasti berbeda, keempukan dagingnya merata,” katanya sembari tersenyum. Ia telah delapan tahun membuka warung makan itu dan tidak pernah lagi menggunakan ganja ke dalam masakannya.

Di tempat terpisah, Rappler bertemu Fajar. Pemuda 23 tahun ini pernah menghisap ganja ketika masih duduk di bangku SMP. Namun kini ia telah berhenti mengonsumsi ganja. “Saya sudah nyaman menghisap rokok saja,” katanya.

Ganja yang dulunya merupakan rempah dan obat-obatan sekarang menjadi hal yang tabu untuk dipergunakan. Namun tidak bisa dipungkiri jika Aceh merupakan tanah tersubur untuk tumbuhan hijau ini. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!