US basketball

Antropolog Amerika antusias dengan kebhinekaan di Indonesia

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Antropolog Amerika antusias dengan kebhinekaan di Indonesia
Dia optimistis Pilkada 2018 akan lebih damai dibanding Pilkada Jakarta

YOGYAKARTA, Indonesia — Antropolog Amerika Serikat Robert W Hefner optimistis melihat kondisi di Indonesia. Di tengah keadaan masyarakat yang terpecah terutama pasca Pilkada Jakarta, akademisi bergelar professor itu melihat hal positif yang kemudian menguat di antara masyarakat sipil di Indonesia dalam melawan sentimen rasial anti etnis atau anti agama tertentu. Hal yang menurutnya tidak tampak dalam masyarakat Amerika yang saat ini sedang berhadapan dengan gelombang setimen anti agama, ras, dan juga imigran, yang cukup kuat.

Professor dalam bidang Antropologi dari Universitas Boston itu mengaku optimistis pada Pilkada 2018 akan berlangsung secara demokratis. Menurutnya kondisi yang terjadi di Pilkada Jakarta mungkin saja akan direplikasi oleh peserta pilkada lain di wilayah Indonesia. Namun kemungkinan itu tidak akan muncul di banyak tempat. “Saya cenderung menganggap bahwa politisasi atau instrument isu etnis agama yang serupa di Jakarta akan terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Satu dua itu mungkin, tapi saya masih cukup optimistis tidak,” kata Robert W Hefner usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Religious Populism in the United States and Indonesia di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jumat petang 27 Oktober 2017. Diskusi tersebut menjadi bagian dari agenda diskusi bulanan Institute of International Studies (IIS), dari Departemen Hubungan Internasional UGM

Dilihat dari kacamata Antropoligi, akademisi yang pernah meneliti gerakan Islam di Indonesia pasca reformasi itu mengatakan bahwa masyarakat Indonesia cukup dewasa dalam melihat sebuah peristiwa. “Bahkan sangat dewasa dibandingkan banyak negara, salah satunya negara saya,” kata Rob yang tinggal di Amerika Serikat itu.

Menurutnya kedewasaan itu tampak dalam Pilkada Jakarta. Di mana hampir 30 persen pemilih dari komunitas muslim memberikan suara pada Ahok setelah muncul berbagai gelombang protes. “Umat Islam di Indonesia sangat majemuk. Di Pilkada Jakarta kemarin. Statemen Pak Ahok, jujur memang salah. Terus terang, dalam kondisi yang dipolitisir 27 persen atau lebih dari komunitas muslim yang dikotomis masih memilih orang Kristen dan Tionghoa, saya kira merncerminkan sebuah kedewasaan yang bagus,” kata Rob yang berbicara menggunakan Bahasa Indonesia yang fasih.

Selain kedewasaan, masyarakat sipil dari komunitas keagamaan juga memiliki pandangan yang sama dalam ide kebangsaan di Indonesia.  Rob menyebut sikap dua pilar masyarakat sipil di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sangat positif melawan tantangan kelompok yang tidak percaya pada nasionalisme kebangsaan Indonesia. 

“Meskipun mungkin sebagian besar dari mereka tidak memilih Ahok untuk alasan tertentu, tapi sebagian besar melihat fenomena yang sedikit menghawatirkan di Indonesia, menurut mereka. Setelah Pilkada itu, ada upaya di berbagai bidang untuk menghadapi tantangan intoleransi dan orang yang tidak percaya pada nasionalisme  kebangsaan Indonesia,” lanjut akademisi yang telah menulis sejumlah buku, diantaranya berjudul Civil Islam itu.

Akademisi yang juga pernah meneliti masyarakat Hindu Tengger di kaki gunung Semeru ditahun 1978 itu juga melihat semangat yang sama dari kelompok agama lain seperti, Hindu, Budha dan juga Kristen. Kondisi tersebut menurutnya akan menjadi modal untuk mencegah intoleransi serta sentiment negatif yang mungkin muncul kembali akibat digunakannya etnis dan agama sebagai alat mencapai kepentingan.

Di luar isu Pilkada, Rob melihat, saat ini ada upaya bersama dari masyarakat sipil untuk membangkitkan kebhinekaan serta semangat kebangsaan. Meskipun belum menjadi gelombang, tetapi keinginan itu juga terlihat kuat dari masyarakat sipil keagamaan mayoritas, seperti NU dan Muhammadiyah. “Bahwa dari komunitas yang mayoritas, yaitu muslim, ada keyaninan bahwa kita sebagai muslim harus kerja untuk negara kita . Jangan sampai ada orang luar seperti terorisme misalnya, atau orang dari dalam Indonesia, akan mengganti Indonesia,” katanya.

Keinginan dan gerakan dari masyarakat sipil itu menurut Rob menjadi kelebihan yang dimiliki oleh Indonesia, dibandingkan negara lain seperti negaranya Amerika, yang juga sedang dalam kondisi terpecah akibat sentimen ras, agama, etnis dan imigran. “Di Indonesia  menimbulkan sedikit lebih banyak optimisme (dibandingkan Amerika). Karena ada pilarcivil society yang melihat bahwa gagasan Indonesia sebagai sesuai yang ideal, yang boleh dicintai, yang tidak bertentangan dengan cita-cita agama yang benar,” lanjut Rob.

Namun di antara berbagai masalah perpecahan serta penyebabnya, Rob mengatakan belum menemukan solusi mencegah perpecahan yang ditimbulkan oleh media sosial. Teknologi yang disatu sisi dianggap sebagai sebuah alat untuk demokrasi yang lebih bermakna itu, ternyata juga dipakai untuk tujuan yang sangat bertentangan dengan demokrasi dan kebangsaan. 

“Saya tidak membicarakan Indonesia sebagai contoh utama, tapi negara saya dan timbulnya wacana anti muslim, anti imigran, anti orang meksiko, ini dari mana asalnya. Ini tidak muncul dari media massa yang konvensional , tapi dari kenyataan bahwa ada pengalaman segregasi media. Ini saya lihat serius, bahwa fake news juga ada sedikit terjadi di Jakarta. Ini tantangan terhadap demokrasi dan kebhinekaan yang harus dihadapi, dan saya sementara tidak tahu bagaimana caranya,” katanya.  —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!