Mengenal empat sosok pahlawan nasional baru

Ananda Nabila Setyani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengenal empat sosok pahlawan nasional baru
Pemberian gelar pahlawan nasional dilakukan oleh Presiden Jokowi kepada para ahli waris

JAKARTA, Indonesia – Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November 2017, Indonesia baru saja menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh yang dianggap turut berjuang untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Pengukuhan gelar ini diberikan langsung oleh Presiden Joko (Jokowi) Widodo di Istana Negara Jakarta, pada 9 November 2017.

Keempat tokoh tersebut adalah Almarhum TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari NTB, Almarhum Laksamana Malahayati dari Aceh, Almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kep. Riau, dan Almarhum Lafran Pane dari DI Yogyakarta.

Penganugerahan gelar pahlawan nasional ini diberikan kepada ahli waris, untuk memberikan apresiasi terhadap perjuangan para tokoh untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Para tokoh tersebut dianggap sudah mendedikasikan sepanjang hidupnya, untuk membela bangsa dan melahirkan gagasan-gagasan yang bermanfaat bagi negara.

Penganugerahan ini diatur melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/Tahun 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional. Berikut profil empat tokoh yang dianugerahi pahlawan nasional oleh pemerintah:

1. Almarhum TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dari Nusa Tenggara Barat (NTB)

Tuan Guru Kyai Hajji (TKGH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan ulama, nasionalis pejuang kemerdekaan sekaligus tokoh pendidikan emansipatoris yang mendirikan Nahdlatul Wathan di Lombok, NTB. Nahdlatul Wathan adalah organisasi massa Islam terbesar di NTB yang memiliki sejumlah madrasah dan pesantren dalam beberapa cabang.

Lahir pada 5 Agustus 1898, ia sudah diajarkan pendidikan agama Islam sejak berumur 5 tahun oleh ayahnya, yakni Luqmanul Hakim. Darah perjuangan juga mengalir dari ayahnya, lantaran ayahnya pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah dan terkenal sebagai seorang ahli agama yang juga pemberani.

Ketika berusia 15 tahun, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sudah menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu ke Mekah pada musim Haji pada tahun 1923 masehi. Ia menetap sembari menimba ilmu di Mekah dan Masjidil Haram selama 13 tahun dan mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.

Setelah selesai menimba ilmu agama, ia kembali ke atanah air untuk melakukan dakwah di seluruh penjuru pulau Lombok. Hingga pada 22 Agustus 1937, madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) bagi santri laki-laki dibentuk untuk pertama kalinya dan pada 21 April 1943, madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI) juga didirikan bagi santri perempuan.

Pada tahun 1997, kedua madrasah tersebut menjadi cikal bakal dari 747 lembaga pendidikan yang tersebar di pulau Jawa, Kalimantan hingga ke mancanegara, yakni Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura, yang masih dalam naungan organisasi Nahdlatul Wathan.

Penganugerahannya sebagai pahlawan nasional juga beralasan, lantaran Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai tokoh ulama yang arif dan bijaksana, terkhusus di pulau Lombok. Ia memberikan contoh kepemimpinan yang bijak dan loyalitasnya yang tinggi terhadap dunia pendidikan agama Islam.

Ia juga menjadikan NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan ketika melawan penjajah. Kedua madrasah tersebut dijadikan tempat penggemblengan yang siap bertempur untuk mengusir penjajah, dalam “Gerakan Al-Mujahidin”. Gerakan yang tergabung dari guru-guru NWDI dan NBDI ini juga bersatu dengan gerakan rakyat lainnya di pulau Lombok untuk bersama membela Indonesia.

Tak hanya itu, ia juga aktif menulis beberapa tulisan dalam bentuk kitab, kumpulan doa dan lagu-lagu perjuangan baik dalam bahasa Indonesia, Arab dan Sasak. Karena jasa-jasanya, ia dianugerahi Piagam Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah pada tahun 1995 dan telah dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional pada tahun 2017. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid meninggal di usianya yang ke-99 tahun pada 21 Oktober 1997 di Pancor, Selong, Lombok Timur, NTB.

2. Almarhum Laksamana Malahayati dari Aceh

Lahir dari Kesultanan Aceh, Laksamana Malahayati lahir dengan nama Keumalahayati. Ia putri dari Laksamana Mahmud Syah, sedangkan kakeknya, yakni Laksamana Muhammad Said Syah merupakan putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada 1530 – 1539 M.

Tak heran, Malahayati sudah akrab dengan dunia angkatan dan pertempuran di laut, karena ayah dan kakeknya adalah seorang laksamana, yakni gelar perwira tertinggi dalam angkatan laut. Ia juga pernah mengenyam pendidikan akademi militer dan ilmu kelautan di Baital Makdis (pusat pendidikan tentara Aceh).

Suami dari Malahayati gugur ketika masyarakat Aceh perang melawan Portugis di Teluk Haru, walaupun pada saat itu armada Aceh sukses menghancurkan Portugis.

Berangkat dari kesedihannya, Malahayati mengumpulkan 2000 orang pasukan Inong Balee (Armada Perempuan Janda), yakni kumpulan para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan Portugis dan beberapa gadis yang turut bergabung. Inong Balee berpangkal di Teluk Lamreh Krueng Raya dan memiliki 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang per kapal, yang dilengkapi dengan meriam.

Berdasarkan cerita perjuangannya bersama Inong Balee pada 11 September 1599, Malahayati berhasil membunuh penjelajah ekspedisi Belanda yang terkenal, yakni Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu dengan rencongnya di geladak kapal.

Aksi heroiknya ini, membuat Malahayati dianugerahi gelar Laksamana dan menjadi laksamana perempuan pertama yang memperjuangkan Aceh dari penjajah Belanda dan Portugis. Laksamana Malahayati meninggal di Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.

Atas jasanya, Laksamana Malahayati diabadikan namanya dalam penamaan jalan dan nama beberapa tempat. Pangkalan armada Inong Balee yang ia pimpin di Teluk Lamreh Krueng Raya, kini dinamakan menjadi Pelabuhan Malahayati. Selain itu, kapal TNI Angkatan Laut (AL) dinamakan KRI Malahayati dan beragam penamaan dari mulai Universitas Malahayati di Bandar Lampung, serta penamaan divisi wanita di Ormas Nasdem, yakni Garda Wanita Malahayati.

3. Almarhum Sultan Mahmud Riayat Syah dari Kepulauan Riau

Dilantik ketika masih berusia 2 tahun, Sultan Mahmud Riayat Syah atau Sultan Mahmud Syah III menjabat selama 26 tahun, yakni dari 1761 hingga 1787 masehi. Dalam kepemimpinannya, ia membuat sejumlah kebijakan strategis untuk berperang melawan penjajah pada masa itu.


Ia menjadi pemimpin Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang disegani di tanah Melayu. Seperti kebijakan strategisnya untuk memindahkan Ibu Kota Kesultanan ke Lingga, ketika melawan pasukan Belanda di Tanjungpinang.

Perpindahan ibu kota ini, membuat perdagangan Belanda di Selat Malaka semakin runtuh. Belanda dibuat panik dengan penghadangan lalu lintas perdagangan mereka dan taktik perang di Tanjungpinang. Saking kuatnya, pada tahun 1795, Inggris mengakui kedaulatan penuh Sultan Mahmud Riayat Syah. Belanda pada akhirnya mengikuti pula pengakuan tersebut.

Ibu kota kesultanan, yakni Lingga juga kemudian dirintis menjadi pusat peradaban Melayu. Sultan Mahmud Riayat Syah menggalakkan dunia baca tulis dalam kitab-kitab ajaran agama Islam dan sastra Melayu kepada masyarakatnya.

Ia bahkan membuat “sumpah setia” antara kedua suku besar di cakupan pemerintahannya serta ikatan pernikahan, antara suku Melayu dan Bugis. Ia menjadikan pulau Penyengat di Kepulauan Riau sebagai mas kawin pernikahannya dengan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji.

Berkat “sumpah setia” dan ikatan pernikahan tersebut, Lingga dan pulau Penyengat menjadi dua kota strategis dan maju yang dimiliki oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Lingga dikenal sebagai Bunda Tanah Melayu sedangkan pulau Penyengat dikenalk dengan Pulau Indera Sakti.

Tak hanya itu, ia memperkuat armada perang dan membangun pusat-pusat ekonomi dengan berkoalisi. Ia mempererat Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dengan beberapa kerajaan lain seperti di Jambi, Mempawah, Indragiri, Asahan, Selangor, Kedan dan Trenggano.

Sultan Mahmud Riayat Syah menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1812, setelah memimpin Kesultanan-nya selama 51 tahun.

4. Almarhum Lafran Pane dari Daerah Istimewa Yogyakarta

Lafran Pane merupakan seorang yang aktif di politik nasional ketika kemerdekaan, sekaligus pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia merupakan bungsu dari enam bersaudara dan lahir pada 5 Februari 1922 di Padang Sidempuan.

Keluarga Pane sebenarnya sudah cukup dikenal namanya sebagai keluarga sastrawan dan seniman, seperti kedua kakak kandung Lafran, yakni Sanusi Pane dan Armijn Pane. Namun Lafran sendiri berbeda dengan saudara-saudaranya yang memilih untuk aktif di himpunan dan politik nasional.

Pada Februari 1946, Lafran yang merupakan mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, kemudian mendirikan HMI disana bersama teman-temannya. Ditengah tarikan ideologi bangsa yang bermacam-macam, Lafran masih berpegang teguh kepada Pancasila, sebagai ideologi negara yang ia percayai.

Tujuan Lafran untuk mendirikan HMI juga untuk melegitimiasi penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara kepada umat Islam. Pemikiran Lafran yang maju, berprinsip bahwa ia dan HMI kokoh untuk berpijak pada Pancasila dalam membela Republik Indonesia.

Walaupun Lafran mempelajari Islam dari literatur bahasa Belanda dan Inggris dan bukan dari Kyai atau ulama, namun semangat belajar agamanya sangat tinggi sehingga ia bisa memimpin HMI.

Karena keterbukaanya, Lafran membuat HMI menjadi wadah berhimpunnya Islam yang beraneka ragam, dari mulai Islam mualaf, Islam kiri, Islam moderat, Islam kanan dan lainnya. Latar belakang Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah juga berhimpun di dalam HMI untuk berbagi ilmu, belajar saling bertoleransi dan memiliki semangat juang.

Lafran Pane meninggal pada 24 Januari 1991, hingga kini HMI masih menjadi organisasi yang hadir di dalam kegiatan kampus-kampus di Indonesia. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!