Bapak dan kami yang belum mengerti rasa sayangnya

Nasrawati N

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bapak dan kami yang belum mengerti rasa sayangnya
Tulisan ini adalah salah satu pemenang kompetisi menulis dalam rangka Hari Ayah Nasional yang Rappler adakan

 

Aku berjalan menelusuri lorong kecil menuju jalan raya besar. Aku sengaja keluar dengan alasan ingin jalan-jalan. Aku benci, kecewa, muak, dan lainnya. Aku yakin ada yang salah di rumah. Kacau. Semuanya berawal dari bibit padi Bapak. Ibu marah, karena uang yang tak banyak itu, Bapak ngotot mau beli bibit padi untuk ditanam di sawah, karena sekarang lagi musim tanam, dan semua petani di kampung sudah menanam, dan tinggal Bapak yang masih pusing karena belum memiliki bibit. 

Dari kesimpulan yang kudengar tiga minggu lalu, Ibu memberi saran membeli bibit murah. Ahasil, sore tadi rumah ribut, perdebatan hebat antara Bapak dan Ibu begitu mengganggu, belum lagi Nina, adikku yang membela-bela Ibu dan menyalahkan Bapak. 

Sebelumnya Bapak berjalan-jalan di sawahnya, melihat perkembangan bibit yang ia tabur di sana. Begitu sampai di rumah ia langsung duduk di ruang tamu, terdiam, namun menit berikutnya ia berdiri dan meninju lemari buku yang ada di ruang tamu. 

Aku yang ada di pintu terkejut. Ibu, Nina, dan Amir, adik bungsuku yang sedang berada did apur bergegas keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Mulailah keributan itu, Bapak marah karena bibit murah yang disarankan Ibu tidak bagus tumbuhnya. Ibu mengelak, ia menyuruh Bapak menunggu, mungkin karena memang belum tumbuh dengan baik. Tapi Bapak yang emosinya tinggi semakin marah, Nina yang memang pada dasarnya tak menyukai Bapak, karena alasan Bapak perokok lah, tukang marah lah, semakin membela Ibu dan memojokkan Bapak. aku yang menyaksikan itu semakin muak. Ada yang salah di rumah ini, ada yang salah di keluarga ini.

Adik-adikku membenci Bapak, semua berawal dari hasutan tak sengaja dari Ibu. Kami bersekolah jauh dari rumah, jadi kami tinggal secara terpisah. Kami berkumpul di rumah apabila libur tiba. Saat libur itulah, Ibu kadang bercerita kepada kami tentang kejelekan Bapak, mulai dari uang rokoknya yang menipiskan perbendaharaan keluarga, keluar malam hari hingga larut entah bercerita di mana, dengan siapa. 

Ibu jengkel karena pekerjaan Bapak tidak jelas, yang ia lakukan hanya mondar mandir di rumah tetangga. Dari cerita-cerita Ibu itu, adik-adikku secara perlahan mulai terhasut untuk membenci Bapak. 

Suatu hari saat Ibu sedang bercerita, ceritanya masih tentang Bapak, dan semakin menjadi-jadi, karena Ibu mengungkit semua hal, aku jadi emosi, kemudian aku berdiri dan berkata pada Ibu, “Bu, kenapa yang Ibu cerita hanya kejelekan Bapak, apa tidak ada hal lain? Apa belum cukup orang di luar sana menceritakan Bapak? Kenapa bahkan kita harus menambah-nambah cerita tentang Bapak? 

“Bapak itu keluarga kita, apa tidak ada yang ingat tentang kebaikan Bapak? Dulu Bapak juga pernah kerja keras untuk kita, masih ingat Bapak membelikan kita sepeda? Bapak membelikan kita kalung emas, tidak ada yang ingat? Sekarang Bapak tidak punya kerjaan tetap dan kita tidak lagi menghargai usahanya, Ibu mungkin jadi tumpuan keluarga untuk saat ini, tapi tolong hargai Bapak sekarang, biarkanlah dia mencari cara sendiri bagaimana memberi kita kehidupan yang layak.” 

Air mataku tak lagi bisa kutahan, tumpah, kulihat Ibu dan adik-adikku kulihat tertunduk dan menangis juga.

“Tidak ingat bagaimana Bapak mengolah sawahnya? Ia berusaha keras, tak kenal panas atau hujan, ia tetap kerja, kenapa? Karena aku yakin, ada semangat di hatinya untuk membahagiakan kita semua. Jadi tolong, janganlah lagi menjelekkan Bapak, telingaku panas. Cukup orang lain yang menjelekkan bapak, jangan kita tambah-tambah. Cukup keluarga Ibu yang benci Bapak, tidak usahlah kita tambah, siapa lagi yang akan Bapak percaya jika bukan kita, keluarganya?” tuturku tak lagi jelas karena tangisku makin pecah.

Kuingat saat itu, aku masih berumur 7 tahun dan Nina 6 tahun, karena usia kami yang hanya berjarak satu tahun maka kami seperti anak kembar dan manja kami hampir sama. Kala itu bapak baru saja selesai berwudhu dan siap melaksanakan salat Maghrib, akan tetapi aku dan Nina menangis minta digendong Bapak, akhirnya kami digendong berdua, dan Bapak menunda sejenak salatnya. Begitu sayangnya Bapak pada kami, bukan hanya dulu, bahkan sekarang, 

Bapak selalu mengabulkan permintaan kami yang mampu ia lakukan, seperti Amir yang minta dibuatkan perahu kecil. Karena Nina yang tak suka asap rokok, maka Bapak tak pernah merokok jika ada Nina. Aku minta dibuatkan sumpit sama Bapak. Ibu yang berprofesi sebagai guru seringkali kesulitan memeriksa pekerjaan anak sekolah di meja ruang tamu yang tinggi, jadi bapak membuatkan ia meja yang pendek.

Lantas kenapa kita hanya melihat hal-hal jelek dari Bapak? Padahal ia seringkali berbuat baik, meski tak banyak. Karena tak tahu lagi harus ke mana, kuputuskan pulang kembali ke rumah. Kulihat rumah sepi, aku masuk, kudapati Ibu menapis beras di dapur, Nina dan Amir membaca. Tak ingin mengganggu aktivitas mereka, aku langsung baring ditikar. 

Tiba-tiba aku terkejut, suara khas Bapak jika salam membangunkanku. Bapak lalu memanggil nama kami semua, aku bangun dan langsung menghampiri sebuah kantong hitam yang baru saja diletakaan bapak, rupanya itu adalah mangga matang. Ibu bangkit mengambil pisau, kami makan mangga bersama. 

Aku tersenyum, tak ada yang salah di rumah ini, hanya saja, kami belum saling memahami satu sama lain, kami belum mengerti Ibu yang resah dengan kebahagiaan kami, resah bapak belum punya kerjaan tetap, kami belum mengerti nyatanya Bapak sangat sayang pada kami. —Rappler.com

Bapak dan kami yang belum mengerti rasa sayangnya adalah pemenang kompetisi menulis dalam rangka Hari Anak Nasional yang Rappler adakan.    

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!