Minat baca rendah, remaja Magelang gagas perpustakaan jalanan

Anang Zakaria

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Minat baca rendah, remaja Magelang gagas perpustakaan jalanan
Prihatin minat baca rendah, mereka enggan bergantung pada donatur

 

MAGELANG, Indonesia — Tekad Niat Dira Limpat (17 tahun) sudah bulat. Hujan tak berhenti mengguyur lapangan Pasturan Muntilan, Magelang, ketika ia dan dua teman sebaya, Arif Gilang (16) dan Galih Cipta Kusuma (18), tiba pada Minggu, 19 November, pagi.

Andai mereka tak berlari-lari kecil mencari tempat berteduh, melompat kesana-kemari menghindari genangan air, sekujur pakaian dan barang bawaannya pasti sudah basah kuyup. Hingga, di bawah barisan pohon pinus di sudut lapangan langkah mereka terhenti.

“Prinsipnya hujan atau tidak, harus tetap jalan meski hanya sebentar,” kata Dira, siswa kelas 2 SMK Pangudi Luhur Muntilan itu.

Dira, Arif, dan Galih adalah tiga dari belasan remaja pegiat perpustakaan jalanan Muntilan. Komunitas ini berdiri sejak dua bulanan lalu. Berbekal buku koleksi pribadi dan sumbangan, mereka melapak tiap Minggu pagi. Lapangan Pasturan dianggap menjadi lokasi yang tepat karena di sanalah pusat aktivitas warga di akhir pekan.

“Apa yang sudah susah payah ditulis orang kenapa tak kita baca, lagi pula membaca itu penting.”

Seperti hari itu, sekelompok bocah sekolah bola terlihat berlatih di tengah lapangan. Di tepi lapangan, tenda-tenda pedagang kaki lima tak sepi dikunjungi pembeli meski hujan tak berhenti mengguyur Magelang dan sekitarnya sejak dini hari.

Perpustakaan Jalanan Muntilan lazim buka sejak pukul 7:30 WIB. Tapi hari itu, karena hujan tak kunjung reda, Dira dan kedua rekannya baru siap melayani pembaca pada pukul 9:30. Selama setengah jam sebelumnya, mereka bertiga disibukkan dengan urusan menyiapkan lapak perpustakaan.

Spanduk bekas bakal alas buku basah dan kotor hingga harus dibersihkan. Buku-buku yang terciprat air dikeringkan. Untuk menahan guyuran air hujan, Dira mendapat tugas khusus, mencari pinjaman terpal untuk tenda darurat. 

“Untungnya tadi ada pedagang [kaki lima] meminjamkan terpal,” katanya.

Menurut dia, perpustakaan buka sesuai kunjungan pembaca. Seringkali perpustakaan buka hingga sore hari. “Pernah sampai pukul 3 [sore],” katanya.

Rata-rata, ia melanjutkan, ada 20 orang yang berkunjung. Kebanyakan di antara mereka adalah anak-anak. “Mereka suka membaca komik,” katanya.

Di atas selembar spanduk bekas, buku-buku terhampar. Komik Naruto, Doraemon, hingga Detektif Conan dari berbagai edisi terjajar rapi bersanding dengan dongeng pengantar tidur, Asal Mula Candi Roro Jonggrang. Buku biografi HOS Cokroaminoto, novel Sang Pencerah yang berkisah tentang kehidupan KH Ahmad Dahlan, dan novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi tergeletak di sekitarnya.

Saat ini, koleksi buku Perpustakaan Jalanan Muntilan setidaknya mencapai seratus eksemplar dengan beragam judul.

Bermula dari koleksi pribadi, tak ingin bergantung orang lain

Gagasan mendirikan perpustakaan jalanan ini bermula dari dua remaja, Arif dan Galih. Arif asal Sawangan, duduk di kelas 2 SMK Muhammadiyah Mungkid, dan Galih asal Mungkid, duduk di kelas 3 SMK Sanjaya Muntilan. Kedua remaja itu bersahabat dalam satu tongkrongan anak band. Mereka biasa berkumpul di satu tempat bersama remaja lain dari sekitar Muntilan.

Galih mengatakan, di sela nongkrong itulah terbesit gagasan mendirikan perpustakaan jalanan. Beberapa anak secara sukarela menyumbangkan beberapa buku koleksi pribadi sebagai modal. “Saya nyumbang tujuh buku misalnya,” kata Galih.

Alasan utama mendirikan perpustakaan jalanan itu, ia mengatakan, ingin mempromosikan niat baca masyarakat. “Minat baca kita ini kan rendah,” katanya.

Strategi itu terbukti ampuh. Setidaknya untuk para penggiat perpustakaan jalanan itu sendiri. Dira, misalnya. Ia mengatakan sebenarnya bukan tipe remaja yang gemar membaca. Tapi karena saban Minggu harus datang ke lapangan Pasturan untuk membuka lapak perpustakaan jalanan, kini ia merasa membaca buku adalah cara utama menambah pengetahuan. 

“Apa yang sudah susah payah ditulis orang kenapa tak kita baca, lagi pula membaca itu penting,” kata Dira.

Pada awalnya ada tujuh remaja yang sukarela bergabung untuk mengelola perpustakaan ini. Kini, jumlah mereka berkembang menjadi 13 orang. Tak ada kepengurusan atau sekadar koordinator di komunitas ini. Semua pekerjaan dilakukan secara sukarela dan didasarkan pada kesadaran pada tanggungjawab yang telah disepakati. Untuk memudahkan koordinasi, mereka berkomunikasi melalui grup WhatsApp.

Menurut Galih, mulanya memang tak banyak buku yang ditawarkan pada pembaca. Untuk menambah koleksi, mereka urunan. Uang yang terkumpul mereka belikan buku di sebuah event bazaar buku murah.

Selain berasal dari koleksi anggota dan urunan anggota, beberapa buku juga didapat dari sumbangan warga. Para donatur itu tergerak menyumbang setelah mengetahui kegiatan perpustakaan jalanan, baik dengan melihat langsung maupun melalui media sosial. Di jagad maya, aktivitas perpustakaan ini biasa dipromosikan melalui akun Instagram perpusjalanan_mtl.

Meski demikian, para remaja pengelola perpustakaan jalanan tak ingin menggantungkan penambahan koleksi buku dari para donatur. Setiap Minggu, pada waktu membuka layanan perpustakaan, Galih dan rekan-rekannya iuran sebesar Rp2 ribu per orang. Hasil yang terkumpul, mereka anggarkan untuk membeli buku baru. 

“Kami sebisa mungkin mandiri dan tak tergantung pada orang lain,” katanya.

Minat baca rendah 

Dalam satu kajian bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked pada 2016 lalu, Central Connecticut State University menempatkan Indonesia sebagai dengan negara dengan budaya membaca terendah. Dari 61 negara yang dirangking, Indonesia berada di urutan ke-60. Budaya membaca di negara ini hanya unggul di atas Botswana, negara di Afrika. 

Sekretaris Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Magelang Mashadi mengatakan koleksi perpustakaan daerah mencapai 18 ribu buku dengan 13 ribu judul. Selain membuka layanan membaca di gedung perpustakaan, ada 4 mobil perpustakaan keliling. Layanan perpustakaan mobile itu beroperasi tiap hari di tempat berbeda. Umumnya, kendaraan itu beroperasi di daerah-daerah lereng pegunungan.

Dengan model layanan itu, ia mengatakan, selama periode 2014-2016 tercatat rata-rata 55 ribu-60 ribu orang pengunjung tiap tahun. Mereka mengakses buku dengan cara datang langsung ke perpustakaan daerah maupun layanan perpustakaan keliling. 

“Minat baca memang masih rendah,” kata Mashadi.

Untuk meningkatkan minat baca, kata dia, pada 2017 ini perpustakaan daerah menerapkan program roll box. Layanan ini diberikan untuk sekolah-sekolah. Mereka bisa meminjam sejumlah buku dalam satu kota dengan masa peminjaman yang ditentukan. Setelah masa peminjaman pertama habis, sekolah bisa menukar dengan kotak baru. 

“Ada 10-15 roll box [yang dipinjam dalam sebulan],” katanya.

Menurut dia, upaya komunitas remaja mendirikan perpustakaan jalanan di Muntilan merupakan cara inovatif untuk meningkatkan minat baca di masyarakat. Aktivitas mereka diharapkan bisa bersinergi dengan rencana pemerintah membuka Pojok Baca di beberapa tempat yang direncanakan berlangsung pada 2018 nanti. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!